Fikroh.com - Fenomena meningkatnya konsumsi konten dangkal atau “konten receh” di media sosial telah menjadi gejala sosial yang kompleks dalam era digital. Artikel ini menganalisis dampak neuropsikologis, sosial, dan etis dari budaya hiburan instan tersebut. Melalui pendekatan analitik berbasis kajian psikologi media dan neurosains, ditemukan bahwa paparan berlebihan terhadap konten dangkal memengaruhi sistem dopamin otak, menurunkan kapasitas kognitif, serta melemahkan empati sosial. Di sisi lain, algoritma media sosial memperkuat siklus konsumsi ini melalui mekanisme ekonomi perhatian (attention economy). Fenomena ini menciptakan masyarakat yang hiperaktif secara digital namun kehilangan kedalaman berpikir.
Pendahuluan
Era digital telah mengubah cara manusia berinteraksi, berkomunikasi, dan memaknai hiburan. Kini, hampir setiap detik kehidupan publik direkam, diproduksi, dan dikonsumsi dalam bentuk konten. Di tengah derasnya arus informasi, muncul satu tren menonjol: maraknya konten dangkal atau “receh” — video singkat, drama buatan, debat palsu, atau humor absurd tanpa substansi. Fenomena ini tampak sepele, namun mencerminkan perubahan besar dalam struktur kesadaran kolektif masyarakat modern.
Ironinya, semakin dangkal isi konten, semakin tinggi pula tingkat interaksi dan popularitasnya. Fenomena tersebut menunjukkan bahwa media sosial tidak hanya merepresentasikan perilaku sosial, tetapi juga membentuk ulang cara manusia berpikir dan merasakan. Pertanyaannya: mengapa konten semacam itu begitu memikat, dan apa konsekuensinya terhadap fungsi otak, perilaku sosial, dan kesehatan mental masyarakat?
1. Mekanisme Neuropsikologis di Balik Kecanduan Konten
Media sosial didesain bukan untuk sekadar menghubungkan manusia, melainkan untuk mempertahankan perhatian manusia selama mungkin. Dalam konteks neurosains, hal ini berkaitan dengan sistem dopamin di otak — zat kimia yang berperan dalam rasa senang dan motivasi.
Setiap notifikasi, komentar, atau tayangan lucu berfungsi seperti “suntikan dopamin mikro” (Zhao et al., 2021). Efeknya singkat namun kuat: menciptakan sensasi senang instan. Ketika efek itu hilang, otak menuntut dosis baru. Siklus inilah yang menjelaskan mengapa seseorang bisa tanpa sadar terus menggulir layar selama berjam-jam.
Fenomena ini disebut loop dopaminik (dopaminergic loop). Ia bekerja mirip mekanisme kecanduan pada perjudian atau konsumsi zat adiktif. Dalam jangka panjang, paparan berulang terhadap stimulus instan membuat otak kehilangan sensitivitas terhadap kesenangan yang lebih kompleks dan bermakna (Volkow & Morales, 2015). Akibatnya, aktivitas seperti membaca, belajar, atau refleksi diri terasa membosankan dan tidak memuaskan.
2. Degradasi Fungsi Kognitif dan Konsentrasi
Penelitian dari University of California (2020) menunjukkan bahwa paparan berlebihan terhadap konten emosional dan dangkal menurunkan kemampuan otak dalam memilah informasi penting dari yang tidak penting. Otak yang terus menerus menerima stimulus cepat cenderung mengabaikan proses berpikir mendalam (deep thinking).
Kondisi ini menciptakan apa yang disebut Nicholas Carr (2010) sebagai the shallows — keadaan di mana manusia modern kehilangan kapasitas untuk fokus dan merenung. Otak menjadi seperti komputer dengan memori penuh oleh file tak berguna: lambat, mudah terganggu, dan cepat panas.
Lebih jauh lagi, kemampuan reflektif — yaitu kemampuan menilai, menganalisis, dan menimbang nilai moral dari informasi — ikut menurun. Akibatnya, masyarakat menjadi rentan terhadap simplifikasi, sensasi, dan misinformasi. Dalam konteks pendidikan dan budaya berpikir kritis, ini adalah kemunduran yang serius.
3. Aktivasi Amygdala dan Krisis Emosional
Selain memengaruhi sistem dopamin, konten negatif seperti gosip, provokasi, atau drama emosional juga mengaktifkan amygdala, bagian otak yang berperan dalam respon emosional seperti marah dan takut. Ketika amygdala terlalu sering distimulasi, otak masuk dalam kondisi amygdala hijack, di mana emosi menguasai nalar (Goleman, 1996).
Kondisi ini menjelaskan mengapa warganet kerap bereaksi impulsif: cepat marah, mudah tersinggung, dan sulit berdiskusi rasional. Ketika emosi menjadi bahan bakar utama interaksi digital, maka ruang publik kehilangan sifat deliberatifnya. Diskusi berubah menjadi pertarungan ego, dan empati tergantikan oleh agresi simbolik.
4. Hilangnya Empati dan Normalisasi Kekerasan Simbolik
Empati adalah kemampuan untuk merasakan apa yang dirasakan orang lain. Namun, dalam ekosistem media yang dipenuhi konten merendahkan atau mempermalukan, bagian otak yang mengatur empati (anterior insula dan cingulate cortex) jarang diaktifkan (Decety & Cowell, 2015).
Ketika empati tidak lagi dilatih, manusia menjadi kebal terhadap penderitaan. Tertawa atas kesalahan orang lain, menertawakan aib, atau menikmati kejatuhan seseorang menjadi hal biasa. Secara sosial, ini menandakan terjadinya desensitisasi moral, yaitu menurunnya kepekaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan.
Lebih dari itu, algoritma media sosial justru memperkuat kondisi ini. Bagi sistem algoritmik, emosi negatif seperti marah atau benci dianggap “interaksi bernilai tinggi” karena meningkatkan waktu tayang dan jumlah klik. Dengan kata lain, emosi manusia dikomodifikasi menjadi data ekonomi, dan penderitaan menjadi sumber keuntungan.
5. Ekonomi Perhatian dan Krisis Identitas Digital
Dalam kerangka ekonomi digital, perhatian manusia adalah komoditas paling berharga. Platform seperti TikTok, Instagram, atau YouTube tidak menjual produk, melainkan menjual perhatian penggunanya kepada pengiklan. Untuk mempertahankan atensi, algoritma mempelajari perilaku pengguna dan menyajikan konten yang paling memicu respons emosional.
Fenomena ini memunculkan apa yang disebut “kecanduan validasi”. Individu merasa eksis hanya jika mendapat like, komentar, atau views. Identitas diri bergeser dari proses internal menuju pengakuan eksternal. Kita merasa “ada” hanya ketika dilihat. Secara psikologis, kondisi ini berpotensi melahirkan kekosongan eksistensial (Turkle, 2016) — perasaan hampa di tengah keterhubungan digital yang semu.
6. Implikasi Sosial dan Etis
Fenomena konten dangkal tidak hanya persoalan selera hiburan, tetapi juga masalah etika sosial dan kesehatan kognitif masyarakat. Dalam jangka panjang, paparan terhadap budaya instan ini menciptakan generasi dengan rentang perhatian pendek, emosi reaktif, dan empati rendah.
Hal ini berimplikasi pada kehidupan sosial: meningkatnya polarisasi opini, menurunnya kualitas dialog publik, dan melemahnya solidaritas sosial. Dalam konteks pendidikan, tantangan terbesar bukan lagi kurangnya akses informasi, melainkan kemampuan memilah dan mencerna informasi secara mendalam.
Secara etis, pembuat konten memiliki tanggung jawab moral karena setiap produksi digital ikut membentuk struktur kesadaran publik. Dalam perspektif etika media, viralitas seharusnya tidak menjadi ukuran tunggal nilai sebuah konten. Kualitas, refleksi, dan manfaat sosial perlu dikembalikan sebagai orientasi utama.
Kesimpulan
Fenomena konten receh mencerminkan krisis yang lebih dalam daripada sekadar persoalan hiburan. Ia menunjukkan bagaimana mekanisme dopaminik, algoritma ekonomi perhatian, dan degradasi empati berinteraksi membentuk masyarakat yang hiperaktif secara digital namun miskin makna.
Jalan keluar dari siklus ini bukanlah menolak media sosial, melainkan menumbuhkan kesadaran digital (digital mindfulness): menyadari apa yang dikonsumsi, membatasi paparan, dan memberi ruang bagi konten yang menumbuhkan wawasan serta ketenangan batin.
Di tengah kebisingan digital, kemampuan untuk fokus, tenang, dan berpikir jernih bukan lagi kemewahan — melainkan bentuk kebebasan kognitif terakhir yang masih bisa kita perjuangkan.
Daftar Pustaka (selektif)
- Carr, N. (2010). The Shallows: What the Internet Is Doing to Our Brains. W.W. Norton & Company.
- Decety, J., & Cowell, J. M. (2015). Empathy, Justice, and Moral Behavior. AJOB Neuroscience, 6(3), 3–14.
- Goleman, D. (1996). Emotional Intelligence. Bantam Books.
- Turkle, S. (2016). Reclaiming Conversation: The Power of Talk in a Digital Age. Penguin Press.
- University of California (2020). Emotional Content and Cognitive Fatigue: The Cost of Digital Overload. UC Media Studies Report.
- Volkow, N. D., & Morales, M. (2015). The Brain on Dopamine: From Reward to Addiction. Cell, 162(4), 712–725.
- Zhao, Y., et al. (2021). Neurochemical Responses to Social Media Notifications. Journal of Behavioral Neuroscience, 34(2), 102–118.