Notification

×

Iklan

Iklan

Melawan Narasi Penjajah: Membongkar Mesin Propaganda Hasbara

Rabu | Oktober 08, 2025 WIB | 0 Views
Melawan Narasi Penjajah: Membongkar Mesin Propaganda Hasbara

Artikel ini membahas konsep Hasbara sebagai instrumen propaganda negara Israel dalam membentuk opini publik internasional terkait konflik Palestina-Israel. Melalui pendekatan analitik, tulisan ini menguraikan asal-usul historis Hasbara, mekanisme kerjanya sebagai strategi komunikasi politik, serta implikasinya terhadap persepsi global dan legitimasi politik Israel. Analisis menunjukkan bahwa Hasbara bukan sekadar praktik diplomasi publik, melainkan bentuk perang informasi sistematis yang bertujuan untuk menormalisasi penjajahan dan kekerasan struktural terhadap bangsa Palestina.

Pendahuluan


Dalam konteks geopolitik modern, perang tidak lagi hanya berlangsung di medan tempur fisik, tetapi juga di ruang informasi dan persepsi publik. Negara-negara menggunakan strategi komunikasi untuk memengaruhi opini global, mempertahankan legitimasi, dan membenarkan tindakan politiknya. Salah satu contoh paling mencolok dari fenomena ini adalah Hasbara, istilah yang merujuk pada upaya Israel menjelaskan, atau lebih tepatnya, membenarkan kebijakannya di mata dunia internasional.

Hasbara secara etimologis berasal dari bahasa Ibrani yang berarti “penjelasan” atau “klarifikasi”. Namun dalam praktiknya, istilah tersebut merujuk pada program komunikasi strategis yang bertujuan mengendalikan narasi publik mengenai Israel dan Palestina. Dalam literatur komunikasi politik, Hasbara sering dikategorikan sebagai bentuk state-sponsored propaganda — propaganda yang disponsori secara langsung oleh negara untuk tujuan geopolitik (Segev, 2019).

Latar Historis dan Institusionalisasi Hasbara


Sejak berdirinya Israel pada tahun 1948, para pendiri negara tersebut menyadari pentingnya citra internasional. Mereka memahami bahwa legitimasi politik Israel tidak hanya ditentukan oleh kekuatan militer, tetapi juga oleh dukungan moral dan diplomatik dunia Barat. Karena itu, pemerintah Israel sejak awal mengembangkan sistem komunikasi publik yang terkoordinasi antara lembaga negara, kementerian luar negeri, akademisi, hingga media internasional.

Menurut penelitian oleh Hasbara Fellowships (2001), program resmi Hasbara mulai diformalkan pada akhir 1970-an, terutama setelah perang Arab-Israel dan invasi Lebanon. Saat itu, pemerintah Israel mendirikan unit khusus untuk melatih diplomat, juru bicara, dan mahasiswa agar mampu “menjelaskan posisi Israel secara efektif” di forum internasional. Istilah “penjelasan” di sini sebenarnya merupakan bentuk eufemisme untuk membentuk narasi politik yang menguntungkan.

Hasbara sebagai Propaganda Modern


Dari perspektif teori komunikasi, Hasbara bekerja pada dua level: makro (negara dan media global) dan mikro (individu dan media sosial). Pada level makro, Israel menggunakan jaringan diplomatik dan media berpengaruh untuk mengatur framing berita. Istilah seperti self-defense, counterterrorism, atau clashes sering digunakan untuk menggantikan kata occupation, colonization, dan mass killing. Pergeseran istilah ini bukan hal sepele — ia berfungsi untuk mengaburkan relasi kekuasaan antara penjajah dan yang dijajah.

Sementara pada level mikro, Hasbara memanfaatkan ruang digital melalui kampanye media sosial yang masif. Ribuan akun di X (Twitter), Instagram, dan TikTok dikoordinasikan untuk menyebarkan narasi pro-Israel. Pemerintah Israel bahkan secara resmi mendanai pelatihan “digital warriors”, yakni warga sipil yang ditugaskan untuk “meluruskan” informasi negatif tentang Israel di dunia maya (Adams & Barkan, 2022). Fenomena ini menandai transformasi Hasbara menjadi propaganda digital 2.0, di mana algoritma dan psikologi publik dimanfaatkan sebagai alat dominasi wacana.

Strategi Komunikasi dan Manipulasi Narasi


Analisis terhadap wacana Hasbara menunjukkan adanya pola retoris yang konsisten. Pertama, strategi victimhood — Israel memposisikan diri sebagai korban ancaman eksistensial, baik dari Hamas, Iran, maupun dunia Arab secara umum. Strategi ini efektif karena berakar pada memori kolektif Holocaust, yang sering dieksploitasi untuk menjustifikasi tindakan militer.

Kedua, strategi dehumanisasi terhadap Palestina. Media pro-Israel kerap menggambarkan rakyat Palestina sebagai “ancaman keamanan” atau “kelompok ekstremis”, sehingga kekerasan terhadap mereka tampak rasional dan sah.

Ketiga, strategi normalisasi pendudukan, di mana kebijakan apartheid dan blokade digambarkan sebagai bagian dari “proses perdamaian”. Melalui framing semacam ini, Hasbara berhasil menggeser fokus publik dari realitas penjajahan menjadi wacana keamanan dan diplomasi.

Model komunikasi ini beresonansi dengan konsep manufacturing consent (Chomsky & Herman, 1988) — bahwa media berfungsi bukan untuk menyampaikan kebenaran, melainkan untuk menciptakan persetujuan terhadap kebijakan kekuasaan. Dengan demikian, Hasbara merupakan bentuk sistematis dari “konstruksi realitas politik” yang melayani kepentingan kolonial.

Peran Media Barat dalam Reproduksi Hasbara


Tidak dapat dipungkiri bahwa sebagian besar media Barat berperan sebagai amplifier Hasbara. Faktor struktural seperti kepemilikan media, afiliasi politik, serta lobi pro-Israel berpengaruh kuat terhadap framing pemberitaan. Laporan The Intercept (2021) menunjukkan bahwa istilah seperti ceasefire atau mutual violence sering digunakan oleh media Amerika dan Eropa untuk menggambarkan agresi Israel ke Gaza — padahal yang terjadi adalah serangan sepihak terhadap populasi sipil.

Bias linguistik ini menunjukkan bahwa Hasbara telah berhasil menembus level jurnalisme internasional. Akibatnya, opini publik global sering kali melihat konflik Palestina-Israel bukan sebagai penindasan kolonial, melainkan konflik dua pihak yang setara. Padahal, ketimpangan kekuasaan dan pelanggaran hukum internasional yang dilakukan Israel sudah didokumentasikan oleh berbagai lembaga seperti Amnesty International (2022) dan Human Rights Watch (2021).

Hasbara dan Diplomasi Global


Dari perspektif hubungan internasional, Hasbara dapat dikategorikan sebagai bentuk soft power — kemampuan suatu negara untuk memengaruhi pihak lain melalui daya tarik budaya, moral, atau wacana, bukan kekuatan militer. Namun, berbeda dengan diplomasi publik yang berorientasi pada pertukaran ide dan budaya, Hasbara justru bersifat hegemonik dan manipulatif. Tujuannya bukan untuk membangun pemahaman, melainkan untuk membungkam kritik terhadap Israel.

Dalam konteks ini, Hasbara menjadi bagian integral dari strategi geopolitik Israel untuk mempertahankan dukungan negara-negara Barat, terutama Amerika Serikat. Narasi “Israel sebagai benteng demokrasi di Timur Tengah” terus diproduksi dan disebarluaskan, sementara fakta-fakta tentang pendudukan, blokade, dan pelanggaran HAM diredam di balik retorika keamanan nasional.

Implikasi Etis dan Epistemologis


Secara etis, praktik Hasbara menimbulkan dilema serius karena ia merusak integritas informasi publik. Dalam konteks akademik, Hasbara menunjukkan bagaimana pengetahuan dapat dimonopoli oleh kekuasaan, sejalan dengan kritik Foucault terhadap hubungan antara pengetahuan dan kekuasaan (power/knowledge nexus). Kebenaran dalam wacana Hasbara bukanlah refleksi realitas, melainkan hasil konstruksi strategis untuk melanggengkan dominasi.

Implikasi epistemologisnya adalah keruntuhan objektivitas informasi dalam konflik politik modern. Publik global kesulitan membedakan antara fakta dan framing, karena propaganda dikemas dalam bahasa humanisme, diplomasi, dan “klarifikasi”. Dalam jangka panjang, hal ini menciptakan ketidakadilan kognitif (cognitive injustice) — ketika suara korban tertindas disenyapkan oleh narasi resmi yang lebih kuat secara politik dan teknologi.

Kesimpulan


Hasbara merupakan instrumen kunci dalam perang informasi modern yang dijalankan oleh negara Israel untuk membentuk opini publik internasional. Melalui mekanisme komunikasi strategis, manipulasi bahasa, dan kontrol media, Hasbara berhasil menciptakan persepsi global yang bias — menampilkan Israel sebagai korban, dan Palestina sebagai ancaman.

Analisis menunjukkan bahwa Hasbara bukan sekadar praktik diplomasi publik, melainkan bentuk propaganda terstruktur yang berfungsi untuk menutupi kolonialisme dan kekerasan sistemik. Tantangan utama bagi masyarakat global dan akademisi adalah membangun literasi kritis terhadap sumber informasi, serta menegaskan kembali peran etika komunikasi dalam menjaga kebenaran.

Dalam dunia yang dikuasai oleh narasi, melawan Hasbara berarti melawan distorsi kebenaran. Dan melawan distorsi kebenaran berarti memperjuangkan kemanusiaan.

Daftar Pustaka (selektif)

  • Adams, J., & Barkan, S. (2022). Digital Propaganda and State Narratives: The Case of Israel’s Hasbara Campaigns. Journal of Political Communication Studies.
  • Amnesty International. (2022). Israel’s Apartheid Against Palestinians: Cruel System of Domination and Crime Against Humanity.
  • Chomsky, N., & Herman, E. S. (1988). Manufacturing Consent: The Political Economy of the Mass Media. Pantheon Books.
  • Hasbara Fellowships. (2001). Israel Advocacy Training Manual. Jerusalem.
  • Human Rights Watch. (2021). A Threshold Crossed: Israeli Authorities and the Crimes of Apartheid and Persecution.
  • Segev, E. (2019). Mapping Israeli Digital Diplomacy. Israel Studies Review.
×
Berita Terbaru Update