Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Sikap Moderat Ibnu Taimiyah Terkait Peringatan Maulid Nabi

Minggu | September 07, 2025 WIB | 0 Views
Sikap Moderat Ibnu Taimiyah Terkait Peringatan Maulid Nabi

Fikroh.com - Bagi Ibnu Taimiyah peringatan Maulid Nabi itu bid’ah yang terlarang. Tapi ingat, Maulid Nabi SAW yang betul-betul bid’ah itu manakala rutin setiap tahun dilakukan dan itulah syiar Islam yang diada-adakan. Menurut Ibnu Taimiyah jika peringatan Maulid Nabi SAW tersebut tidak rutin diadakan setiap tahun, kadang ada kadang tidak ada “permasalahannya” lebih ringan.

Mari kita simak uraian lengkap pandangan Ibnu Taimiyah tentang Maulid Nabi di bawah ini:

مسألةٌ في الاجتماعِ في شهرِ ربيعٍ الأوَّلِ على عملِ المولدِ؛ إمَّا قراءةٍ، أو ذكرٍ، أو سماعِ حديثٍ، أو
أو إنشادِ مديحٍ، أو عملِ سماعاتٍ بالغناء والشَّبَّاباتِ والدُّفوفِ :
▪هل سنَّ ذلك رسولُ الله أو أحدٌ مِنْ خلفائهِ الرَّاشدينَ؟
▪أو فعلَهُ أحدٌ مِنَ الصَّحابةِ والتَّابعينَ؟

Permasalahan kumpul-kumpul di bulan Rabi’ul Awwal dalam rangka Maulid yang diisi dengan kegiatan membaca al-Qur’an, dzikir, mendengar pembacaan hadis, pembacaan syair pujian atau mendengarkan nyanyian dan alat musik dawai atau rebana.

Apakah peringatan Maulid Nabi ini diajarkan oleh Nabi SAW atau salah seorang Khulafaur Rasyidin atau minimal dilakukan oleh salah seorang shahabat Nabi atau tabiin?


▪أو استحَبَّهُ أحدٌ مِنْ علماء الإسلامِ كأبي حنيفةَ ومالكٍ والشَّافعيِّ وأحمدَ وغيرِهِمْ؟
▪أو رُوِيَ في فضلِ ذلك شيءٌ مِنَ الأحاديثِ والآثارِ؟
▪وهل كان معروفًا في زمانِ السَّلفِ أو حدثَ بعدَهُم؟ وما أوَّلُ مَنْ أحدَثَهُ؟


Apakah peringatan Maulid Nabi ini dianjurkan oleh salah seorang ulama Islam seperti Abu Hanifah, Malik, asy-Syafii, Ahmad dan sebagainya? Apakah ada keutamaan/pahala mengadakan peringatan Maulid Nabi dalam hadis atau riwayat dari salaf?

Apakah peringatan Maulid Nabi itu dikenal di masa Salaf ataukah baru muncul pada masa setelahnya? Siapakah yang pertama kali mengadakan acara Maulid Nabi?

الجوابُ:
لم يسنَّ ذلك رسول الله ولا أحدٌ منْ خلفائهِ الراشدين، ولا فعله أحد مِنَ الصحابةِ والتابعينَ لهم بإحسانٍ ، ولا ذكرَ أنَّه مستحب أحد منْ أئمة المسلمينَ المذكورين ولا غيرِهم، ولا روي في فضل ذلك شي ء من الأحاديث والآثارِ ، ولا كان معروفا في السلفِ .

Jawaban Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah:

Peringatan Maulid Nabi itu tidak diajarkan oleh Rasulullah ataupun salah seorang Khulafaur Rasyidin, tidak pula dilakukan oleh salah seorang shahabat Nabi atau pun Tabiin.

Empat ulama yang namanya tadi disebutkan tidak ada satu pun yang mengatakan bahwa peringatan Maulid Nabi itu dianjurkan. Demikian pula para ulama lain yang sezaman dengan mereka berempat.

Tidak ada hadis Nabi atau pun atsar dari salaf yang menyebutkan pahala atau keutamaan menyelenggarakan Maulid Nabi. Peringatan Maulid Nabi juga tidak dikenal oleh salaf.

ويُقال: أوَّلُ مَنْ فعلَهُ مُظَفَّرُالدِّينِ صاحبُ إربلَ مِنْ أقلَّ مِنْ مائةِ سنةٍ ، وفعلَهُ أيضًا بعضُ أهلِ سبتةَ بالمغربِ قريبً ا مِنْ هذا الزَّمانِ ، فهذانِ أقدمُ مَنْ بلغَنا أنَّّم فعلوهُ .

Ada info yang mengatakan bahwa orang pertama yang menyelenggarakan Maulid Nabi adalah Muzhaffaruddin, raja Irbil selama kurang dari seratus tahun. Juga dilakukan oleh sebagian penduduk Sabtah di wilayah Spanyol pada waktu yang berdekatan dengan penyelenggaraan Maulid yang dilakukan oleh Raja Irbil. Inilah orang-orang yang paling terdahulu menyelenggarakan Maulid Nabi berdasarkan informasi yang kami dapatkan.

(Peringatan Maulid Nabi dilihat dari isi acaranya ada beberapa macam:)

فأما الاجتماع على غناء ورقصٍ ونحو ذلك ، واتخاذه عبادة فلا يرتاب أحد من أهل العلم والإيمان أن هذا مِن المنكراتِ التي يُنهى عنها، ولا يَستَحب ذلك إلا جاهل أو زنديقٌ .

Pertama, peringatan Maulid Nabi berisi kumpul-kumpul untuk nyanyi-nyanyi, joget-joget dan lain-lain lantas kegiatan ini dijadikan sebagai ibadah (baca: diyakini berpahala di sisi Allah). tidaklah diragukan oleh orang yang memiliki ilmu dan iman bahwa acara semacam itu termasuk kemungkaran yang terlarang.

Tidak ada yang menganjurkan acara Maulid semisal ini kecuali orang bodoh atau zindiq (penyusup ke tengah-tengah umat Islam).

وأمَّا الاجتماعُ على قراءةٍ وذِكْرٍ ، وذكرِ فضائلِ النبيِّ فهذا إذا فعلَه منْ لْم يكنْ عارفًا بالسُّنَّة، قاصدا لتعظيمِ الرَّسولِ ومحبته؛ فإنهُ يُثاب على قصدهِ الحسن ونِيَّتِهِ لفعل الخير، و يغْفر له قلةُ علمِه

Kedua, peringatan Maulid Nabi dalam bentuk berkumpul untuk membaca al-Qur’an, dzikir dan menyebutkan keutamaan-keutamaan Nabi. (Peringatan Maulid Nabi dengan model semisal ini perlu dirinci melihat pelakunya).

1. Jika dilakukan oleh orang yang tidak mengenal sunnah dengan niat mengagungkan dan mencintai sang Rasul maka orang tersebut mendapatkan pahala atas maksudnya yang bagus dan atas niatnya mau melakukan kebaikan sedangkan ketidaktahuannya karena keterbatasan ilmu yang dimiliki itu dimaafkan.

وأمَّا مَنْ كان عالمًا بالسُّنَّةِ مُتَحَرِّيا لاتباعِ الرَّسولِ فلا ينبغي له أنْ يفعلَ ذلك؛ فإنَّ تعظيم الرسول ومحبَّتهُ تكون بموافقةِ أمره ودينِهِ وشرعِه، لا بإحداثِ بدعٍ لْم يشْرَعها، ولو كان هذا خيرا لكان السَّابقون الأولونَ أولى به منَّا .

2. Jika dilakukan oleh orang yang mengetahui sunnah, semangat untuk mengikuti sang Rasul tidak patut baginya melakukan hal tersebut. Mengagungkan dan mencintai Rasul itu diwujudkan melalui usaha menyelaraskan diri dengan perintah, ajaran dan syariat Nabi, bukan dengan mengada-adakan bid’ah yang tidak pernah Nabi ajarkan.

Andai peringatan Maulid Nabi itu baik tentu para shahabat adalah orang yang paling berhak melakukannya dibandingkan kita.

وأمَّا الأوقاتُ التي لْم يَُخصَّها النَّبيُّ بفضلِ عبادةٍ فيها، فليسَ لأحدٍ أنْ يقصدَ تخصيصَها بعبادةٍ يَرَى أنَّهاّ أفضلُ منها في غيِرها، إذا كان الشَّارعُ لْم يشرعْ ذلك؛ فإنَّ هذا مخالفةٌ للنَّبيِّ

Selanjutnya Ibnu Taimiyah mengatakan, “Untuk waktu-waktu tertentu yang tidak Nabi SAW tegaskan adanya pahala khusus bagi ibadah pada waktu itu maka tidak boleh bagi siapa pun untuk bersengaja mengkhususkan ibadah pada waktu tersebut dan berkeyakinan bahwa ibadah pada waktu itu lebih besar pahalanya dibandingkan jika dilakukan pada kesempatan yang lain manakala syariat tidak mengajarkan demikian.

Hal ini dikarenakan hal tersebut menyelisihi ajaran Nabi”.

وإنْ كان فاعلُ ذلك يقصدُ الخيرَ والعبادةَ لله، وهو لا يعلمُ أنَّ هذا مخالف السُّنَّةَ ، فاللهُ يُثيبُهُ على حسنِ قصدِهِ وعملهِ الخيرَ ، ويغفرُ له خَطَئَهُ ، لكنْ إذا عر ف السنَّةَ فينبغي له اتباعُ ها؛

Demikian tadi ketentuan terkait perbuatan, sedangkan terkait pelaku perbuatan Ibnu Taimiyah mengatakan,

“Jika pelaku hal tersebut bermaksud baik dan berniat untuk ibadah kepada Allah dan dia tidak tahu bahwa perbuatan tersebut menyelisihi ajaran Nabi SAW maka Allah akan memberikan pahala atas niatnya yang terpuji dan perbuatannya yang baik. Sedangkan kesalahannya dimaafkan.

Akan tetapi jika orang tersebut sudah mengenal sunnah sepatutnya dia mengikuti sunnah yang sudah dia ketahui”.

ومِنْ هذا البابِ تخصيصُ شهرِ ربيعٍ الأوَّلِ بعباداتٍ مِنَ الاجتماعِ على قراءةٍ وحديثٍ ومدحِ النَّبيِّ والإنفاقِ في ذلك، وهو مِنْ جنسِ العباداتِ لكنْ ليس لأحدٍ أنْ يتَّخِذَ ذلك عادةً راتبةً؛ فإنَّ هذا مخالفٌ لسُنَّتِهِ، فإنَّه هو لْم يشرعْ تخصيصَ هذا الشَّهرِ بذلك، ومِنَ الباطلِ أنْ يُعَظَّمَ بمخالفتِهِ، بل إنَّما يُعَظَّمُ بموافقتِهِ وطاعتِهِ.

Ibnu Taimiyah mengatakan, “Termasuk dalam hal ini adalah mengkhususkan sejumlah aktivitas ibadah pada bulan Rabi’ul Awwal berupa kumpul-kumpul untuk membaca al-Qur’an, hadis atau syair pujian kepada Nabi dan mengeluarkan uang untuk membiayai itu semua.

Itu bagian dari ibadah namun tidak boleh bagi siapa pun menjadikan kegiatan tersebut sebagai kebiasaan yang bersifat rutin. Menjadikan kegiatan tersebut bersifat rutin itu menyelisihi sunnah Nabi SAW.

Nabi SAW tidaklah mengajarkan untuk mengkhususkan bulan Rabi’ul Awwal dengan kegiatan tersebut. Satu hal yang sama sekali tidak benar, mengagungkan Nabi dengan melakukan hal yang menyelisihi ajarannya. Nabi SAW itu hanya diagungkan dengan mencocoki perintahnya dan mentaatinya.

لكنْ مَنْ فعلَ ذلك بحُسْنِ قصدِهِ ومحبَّتِهِ للنَّبيِّ، غيَر عالٍم بأنَّه مخالفٌ للسُّنَّةِ أُثيبَ على ذلك، وإذا عَلِمَ السُّنَّةَ فاتِّباعُها أَوْلَى، وإذا فعلَ ذلك أحيانًا مِنْ غيِر أنْ يجعلَ ذلك سُنَّةً راتبةً فإنَّ هذا أيسُر، فأمَّا جعلُ ذلك سُنَّةً راتبةً يُحافظُ عليها كلَّ عامٍ فهذا إحداثُ شِعارٍ في الإسلامِ.

Akan tetapi siapa saja yang menyelenggarakan peringatan Maulid Nabi dengan niat yang baik dan karena cinta kepada Nabi SAW dalam kondisi tidak mengetahui bahwa hal tersebut menyelisihi sunnah diberi pahala atas niat baik dan rasa cinta tersebut.

Akan tetapi jika orang tersebut sudah mengetahui yang sesuai dengan sunnah maka mengikuti sunnah itu yang lebih utama.

Jika seorang itu menyelenggarakan peringatan Maulid Nabi tidak rutin setiap tahun hanya kadang-kadang maka “permasalahannya” itu lebih ringan. Sedangkan menjadikan peringatan Maulid Nabi sebagai agenda rutin tahunan itu tergolong mengada-adakan syiar baru dalam Islam.

وأمَّا الاجتماعُ على الغناءِ والتَّصفيقِ ونحوِ ذلك في هذا الشَّهرِ وغيِرهِ، واتِّخاذُ ذلك دينًا فهذا مِنَ العظائِمِ التي فيها مخالفةٌ لِله ولرسولهِ مِنْ وجوهٍ متعدِّدَةٍ، وفيها تبديلٌ لدينِهِ وشريعتِهِ؛ إذ جعلَ ما هو عندَهُ مكروهًا محبوبًا إليه

Sedangkan kumpul-kumpul untuk menyimak nyanyian, tepuk tangan dan lain-lain di bulan Rabi’ul Awwal atau bulan selainnya lantas kegiatan tersebut dijadikan sebagai agama (baca: cari pahala dengannya), ini tergolong tindakan yang mengerikan, tindakan yang menyelisihi aturan Allah dan Rasul-Nya dari banyak aspek.

Dalam perbuatan tersebut terkadung unsur mengganti agama dan syariat Allah. Yaitu mengganti sesuatu yang senyatanya dibenci oleh Allah menjadi sesuatu yang diyakini dicintai oleh Allah.

وشهرُ ربيعٍ الأوَّلِ ليس لأحدٍ أنْ يُْدِثَ فيه اجتماعًا راتبًا؛ لا على قراءةٍ، ولا ذكرٍ، ولا صلاةٍ، ولا مدحٍ، فضلًا عنِ الاجتماعِ على غناءٍ أو رقصٍ أو غيِر ذلك.

Tidak boleh bagi siapa pun mengada-adakan acara kumpul-kumpul yang bersifat rutin pada bulan Rabi’ul Awwal baik untuk baca al-Qur’an, dzikir, shalat ataupun syair pujian, lebih tidak boleh lagi jika acara tersebut diisi nyanyi-nyanyi, joget-joget dan lain-lain”. Sekian kutipan perkataan Ibnu Taimiyah.

Refleksi:

Bagi Ibnu Taimiyah peringatan Maulid Nabi itu benar-benar bid’ah manakala dirutinkan setiap tahun. Peringatan Maulid Nabi yang rutin tiap tahun itu berstatus syiar Islam yang diada-adakan. Demikian pandangan Ibnu Taimiyah.

Jika peringatan Maulid Nabi itu tidak bersifat rutin permasalahan status Maulid Nabi “lebih ringan”. Demikian pula semestinya jika acara peringatan Maulid Nabi itu tidak “disiplin” pada tanggal 12 Rabi’ul Awwal namun berganti-ganti tanggal permasalahannya juga “lebih ringan” lagi.

Orang yang menghadiri atau menyelenggarakan peringatan Maulid Nabi itu ada dua jenis menurut Ibnu Taimiyah.

Pertama, orang-orang awam, sekedar ikut-ikutan (baca: taqlid) dan tidak punya ilmu tentang duduk permasalahan status hukum Maulid. Orang semisal ini menurut Ibnu Taimiyyah mendapatkan pahala atas niat baiknya dan kegiatan positif yang menjadi isi kegiatan Maulid Nabi tersebut.

Kedua, orang yang berilmu tentang duduk permasalahan status hukum peringatan Maulid Nabi. Inilah orang yang tercela menyelenggarakan peringatan Maulid Nabi.

Akan tetapi yang unik dan sangat menarik, pilihan kata yang dipakai oleh Ibnu Taimiyah untuk orang jenis kedua itu sangat lembut. “Yanbaghi”, sepatutnya orang tersebut mengikuti dan mengamalkan sunnah Nabi yang dia yakini, demikian bahasa Ibnu Taimiyah.

Bandingkan bahasa Ibnu Taimiyah di atas dengan bahasa dan narasi yang dipakai oleh orang-orang yang mengaku-aku sebagai pengikut Ibnu Taimiyah. Nampak sekali perbedaannya bagaikan antara langit dan bumi.

Kepada orang jenis kedua Ibnu Taimiyah sama sekali tidak menggunakan diksi dan narasi memaksakan pendapat apalagi serangan dan hujatan.

Perkataan seorang ulama semisal Ibnu Taimiyah itu tidak bisa dipakai untuk menyerang dan memaksa ulama lain yang tidak sepakat dengan Ibnu Taimiyah. Perkataan seorang ulama itu hanya berlaku untuk orang-orang yang sepakat dan setuju dengan ulama tersebut.

Inilah kaidah penting dalam memahami dan mendudukkan pendapat ulama pada tempatnya.

Oleh: Ustadz Aris Munandar
Sumber: Buku/risalah khusus karya Ibnu Taimiyah tentang Maulid Nabi bisa didownload pada link yang ada di kolom komentar.
×
Berita Terbaru Update