Kesabaran dan Keteguhan Imam Malik Menghadapi Fitnah Penguasa

Kesabaran dan Keteguhan Imam Malik Menghadapi Fitnah Penguasa

Fikroh.com - Sejarah para ulama besar Islam tidak hanya diwarnai dengan lembaran-lembaran emas ilmu pengetahuan, tetapi juga penuh dengan ujian, cobaan, dan fitnah dari penguasa. Salah satu kisah yang paling terkenal adalah ujian yang dialami oleh Imam Malik bin Anas—sosok yang dikenal sebagai pendiri Mazhab Maliki, seorang imam besar ahli hadis dan fikih Madinah. Kisah beliau menjadi pelajaran berharga tentang kesabaran, keteguhan, dan komitmen terhadap kebenaran meski harus berhadapan dengan kekuasaan yang zalim.
 

Imam Malik: Ulama Madinah


Imam Malik lahir di Madinah pada tahun 93 H. Beliau tumbuh di tengah kota Nabi, sebuah lingkungan yang sarat dengan tradisi ilmu dan hadis. Dari kecil, beliau telah menunjukkan ketekunan luar biasa dalam menuntut ilmu. Diriwayatkan, Imam Malik belajar kepada lebih dari 900 guru, dan mayoritas dari mereka adalah tabi’in, generasi yang masih sempat berguru langsung kepada para sahabat Rasulullah ﷺ.

Madinah pada masa itu merupakan pusat ilmu Islam, dan Imam Malik menjelma menjadi salah satu tokoh utama yang menjaga, menyaring, dan meriwayatkan hadis Nabi. Karya monumentalnya, Al-Muwaththa’, dianggap sebagai kitab hadis pertama yang disusun secara sistematis dan menjadi rujukan penting dalam fikih. Tidak heran jika kemudian beliau digelari “Imam Darul Hijrah”, imam dari kota Madinah, tempat hijrahnya Rasulullah ﷺ.

Fitnah di Masa Kekuasaan


Meskipun Imam Malik lebih memilih menjauh dari urusan politik, sejarah mencatat bahwa beliau tetap terseret dalam fitnah besar di masa pemerintahan Daulah Abbasiyah, tepatnya pada masa Khalifah Abu Ja’far al-Manshur.

Fitnah itu berawal dari hadis yang diriwayatkan Imam Malik:

“Tidak ada talak bagi orang yang dipaksa.”

Hadis ini secara syariat membahas tentang keabsahan hukum talak jika dilakukan dalam kondisi paksaan. Namun, para provokator politik memelintir maknanya. Mereka menjadikannya sebagai dalih bahwa baiat (sumpah setia) yang diberikan kepada Khalifah al-Manshur di bawah tekanan juga tidak sah.

Kabar ini merebak ketika Muhammad bin Abdullah bin al-Hasan an-Nafsuz Zakiyyah, seorang keturunan Nabi yang menentang kekuasaan Abbasiyah, berada di Madinah. Imam Malik memang melarang dirinya masuk dalam konflik politik, tetapi riwayat hadis tersebut dijadikan bahan untuk menyerangnya.

Al-Manshur bahkan sempat melarang Imam Malik meriwayatkan hadis tersebut. Namun, fitnah itu dirancang sedemikian rupa. Suatu hari, ada seseorang yang datang bertanya di hadapan khalayak ramai. Imam Malik, sesuai amanah ilmu, tidak bisa menyembunyikan hadis Nabi. Maka beliau pun meriwayatkannya. Inilah yang kemudian dijadikan alasan oleh gubernur Madinah, Ja’far bin Sulaiman, untuk menghukum Imam Malik.
 

Dera dan Siksaan


Sejarah mencatat, Imam Malik dicambuk di depan umum hingga pundaknya patah akibat ditarik dengan keras. Hukuman ini menjadi tamparan besar bagi masyarakat Madinah, sebab seorang ulama yang dikenal wara’, alim, dan menjauhi politik justru diperlakukan dengan zalim.

Namun, di balik siksaan itu, tampaklah keteguhan hati Imam Malik. Beliau tidak melawan, tidak pula memprovokasi massa untuk bangkit. Beliau memilih menanggung sakit dengan sabar, karena yang beliau perjuangkan bukan kekuasaan, melainkan kebenaran ilmu yang diwarisi dari Rasulullah ﷺ.
 

Permintaan Maaf Khalifah


Menariknya, menurut beberapa riwayat, setelah peristiwa itu, Khalifah Abu Ja’far al-Manshur sendiri merasa bersalah. Disebutkan bahwa beliau tidak mengetahui secara langsung perlakuan gubernurnya terhadap Imam Malik. Maka ia pun mengirimkan permintaan maaf kepada Imam Malik. Bahkan, dalam riwayat lain, al-Manshur menunjukkan rasa hormat kepada Imam Malik dengan memintanya untuk menulis kitab fikih yang kemudian dikenal sebagai Al-Muwaththa’.

Peristiwa ini menunjukkan bahwa meskipun fitnah bisa datang dari siapa saja, kemuliaan ilmu dan akhlak seorang ulama tetap akan mengangkat derajatnya di hadapan masyarakat dan bahkan penguasa itu sendiri.
 

Pelajaran dari Kisah Imam Malik


Kisah ini bukan hanya sekadar catatan sejarah, tetapi juga mengandung hikmah yang relevan sepanjang zaman. Beberapa pelajaran yang dapat diambil antara lain:
 

1. Menjaga Amanah Ilmu


Imam Malik tidak mau menyembunyikan hadis Nabi meskipun tahu konsekuensinya bisa berat. Beliau lebih memilih mempertahankan amanah ilmu daripada tunduk kepada tekanan penguasa. Ini menjadi teladan bagi para ulama sepanjang masa bahwa ilmu harus dijaga dari intervensi politik.
 

2. Fitnah Bisa Datang dari Penyalahgunaan Ilmu


Hadis yang beliau riwayatkan sesungguhnya tidak terkait dengan politik, tetapi dipelintir oleh kelompok tertentu demi kepentingan kekuasaan. Hal ini menjadi pelajaran bahwa kebenaran sering kali disalahgunakan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab.
 

3. Kesabaran dalam Menghadapi Kezaliman


Imam Malik menerima deraan fisik yang berat, namun beliau tetap sabar. Kesabaran beliau bukanlah kelemahan, melainkan kekuatan moral yang mengangkat martabatnya. Beliau tidak menjadikan penderitaan itu sebagai alasan untuk melakukan pemberontakan, tetapi sebagai ujian keimanan.
 

4. Ilmu yang Ikhlas Akan Dijaga Allah


Meskipun sempat dipukul dan dihina, nama Imam Malik justru semakin harum. Mazhab Maliki tersebar luas hingga ke berbagai penjuru dunia Islam, terutama Afrika Utara, Andalusia, dan sebagian Timur Tengah. Hal ini menjadi bukti bahwa ilmu yang disampaikan dengan ikhlas akan selalu dijaga Allah dan diberkahi sepanjang masa.
 

5. Relasi Ulama dan Penguasa


Sejarah Imam Malik menunjukkan bahwa hubungan ulama dan penguasa sering kali penuh ketegangan. Ulama adalah penjaga agama, sementara penguasa kadang terjebak dalam kepentingan politik. Ketika keduanya berjalan harmonis, umat mendapat manfaat besar. Namun, ketika penguasa menekan ulama, umat justru merugi.
 

Relevansi untuk Zaman Sekarang


Di era modern, kisah Imam Malik tetap relevan. Banyak orang menghadapi tekanan untuk mengubah kebenaran demi kepentingan kelompok tertentu. Ada yang dipaksa untuk mendiamkan suara nurani, ada pula yang ditekan agar memutarbalikkan fakta. Dalam kondisi seperti itu, teladan Imam Malik mengajarkan:
 
  • Jangan pernah menukar amanah dengan kenyamanan.
  • Kebenaran tetaplah kebenaran meski dihadapkan pada risiko besar.
  • Sabar adalah senjata utama menghadapi fitnah.
  • Lebih jauh, kisah ini juga mengingatkan para penguasa untuk menghormati ulama. 
Kekuasaan adalah sementara, tetapi nama baik akan dikenang selamanya. Imam Malik yang pernah dicambuk tetap dikenang sebagai ulama besar, sedangkan para penguasa yang menzaliminya hanya menjadi catatan sejarah yang kering dari kemuliaan.
 

Penutup


Kisah Imam Malik bin Anas ketika menghadapi fitnah dari penguasa adalah cermin bahwa jalan ilmu tidak selalu mudah. Ada siksaan, fitnah, bahkan ancaman jiwa. Namun, siapa yang teguh, sabar, dan ikhlas, akan Allah angkat derajatnya.

Imam Malik tidak pernah mencari kekuasaan, tetapi beliau membela kebenaran. Beliau tidak pernah menuntut balas, tetapi justru Allah membalas dengan mengabadikan namanya sebagai salah satu imam besar umat Islam.

Hari ini, ketika kita menyebut Mazhab Maliki, yang terlintas adalah keilmuan, keteguhan, dan warisan luhur Imam Malik. Sedangkan cambuk-cambuk penguasa yang pernah menimpa pundaknya hanya menjadi jejak sejarah yang mengingatkan kita akan kezaliman yang fana.