Fikroh.com - Kitab Ad-Diba’, atau yang lebih dikenal dengan sebutan Maulid Diba’, merupakan salah satu karya klasik yang berisi untaian syair indah penuh pujian kepada Nabi Muhammad SAW. Di dalamnya tidak hanya disajikan kisah perjalanan hidup Rasulullah, tetapi juga doa-doa dan ungkapan cinta umat kepada beliau.
Menariknya, Maulid Diba’ tidak hanya berisi syair semata. Kitab ini juga memuat sejumlah hadits serta ayat-ayat Al-Qur’an yang relevan. Karena itu, pembacaan kitab ini menghadirkan banyak keutamaan: umat Islam tidak hanya memperoleh pahala shalawat, tetapi juga pahala membaca Al-Qur’an dan hadits Nabi.
Namun, tahukah Anda siapa ulama besar yang menyusun karya monumental ini? Mari kita simak bersama biografi singkat sang penulis Maulid Diba’.
Aku dilahirkan di kota Zabid al-Mahrûsah pada hari Kamis, tanggal 4 bulan Allah al-Haram (Muharram), tahun 866 H, di rumah ayahku di kota tersebut. Ayahku meninggalkan kota Zabid pada akhir tahun kelahiranku, dan Aku tidak pernah melihatnya sama sekali. Aku kemudian dibesarkan dalam asuhan kakekku dari pihak ibu, al-‘Allamah ash-Shalih, arif billah Ta‘ala, Syarafuddin Abu al-Ma‘ruf Ismail bin Muhammad Mubaariz asy-Syafi‘i –semoga Allah merahmatinya.
Aku mendapatkan banyak manfaat dari doa-doanya untukku, baik di waktu-waktu mustajab maupun lainnya. Dialah yang mencurahkan kasih sayang kepadaku, mendidikku, memberiku makan dan minum, memberiku pakaian, menolongku, mengajariku, serta memberi wasiat kepadaku. Semoga Allah membalas kebaikannya kepadaku dengan sebaik-baik balasan, melimpahkan rahmat serta keridhaan kepadanya.
Beliau adalah seorang yang menempuh jalan ibadah kepada Allah ‘Azza wa Jalla, menjaga qiyamullail, menghidupkan waktu antara Magrib dan Isya, senantiasa melazimi shalat berjamaah pada shalat-shalat fardhu, selalu membaca Kitab Allah Ta‘ala, serta mengetahui Sunnah Rasulullah ﷺ.”
Beliau menimba ilmu dari banyak guru di negerinya dan dari luar, seperti al-‘Allāmah Nuruddin al-Fakhri, al-Khatib Kamaluddin ad-Dhajjami, an-Nafis al-‘Alawi, Syekh Abu al-Fath al-Marfi, al-Muqri Syamsuddin al-Jazwi, al-Qadhi Zainuddin al-Makki, dan lainnya –semoga Allah merahmati mereka.
Beliau juga bersahabat dengan syekh yang saleh, Syarafuddin Abu al-Ma‘ruf, serta Ismail bin Abi Bakr al-Jabarti as-Shufi –semoga Allah memberi manfaat dengan beliau. Beliau membaca kitab-kitab kaum sufi dan menghafalnya, serta memiliki kemampuan besar dalam membuka makna-makna yang sulit dari kitab-kitab tersebut. Syekh ini –rahimahullah– sangat mengutamakanku bahkan melebihi anak-anak kandungnya sendiri. Allah telah menganugerahkanku kecintaan dan kedekatan dengannya.
Kemudian aku mulai mempelajari al-Qur’an al-Karim kepada guruku, al-Faqih Nuruddin ‘Ali bin Abi Bakr Khattab –semoga Allah menjaganya– hingga aku mencapai Surah Yasin. Aku banyak mendapat manfaat darinya, dan kecerdasanku tampak jelas di hadapannya.
Setelah itu, aku berpindah belajar kepada guruku sekaligus pamanku, al-Faqih al-‘Allamah Jamaluddin Abu an-Nujaba Muhammad ath-Thayyib bin Ismail Mubāriz –semoga Allah membalasnya dengan sebaik-baik balasan. Tatkala beliau melihat kecerdasanku, beliau memerintahkanku untuk menyalin al-Qur’an al-‘Azim, dari awal Surah al-Baqarah hingga akhir, lalu aku membacanya di hadapannya dalam satu majelis hingga aku menamatkannya dan menghafalnya seluruhnya di luar kepala. Saat itu usiaku baru sepuluh tahun, walhamdulillah.
Kemudian Allah mewafatkan ayahku –semoga Allah melimpahkan rahmat kepadanya– di Bandar ad-Diyu bagian negeri India pada akhir tahun 876 H. Dan aku tidak memperoleh warisan darinya kecuali delapan dinar emas.
Setelah menamatkan al-Qur’an, aku belajar kepada pamanku yang mulia itu ilmu qira’at sab‘ah (tujuh bacaan). Aku menyalin matan asy-Syathibiyyah, lalu membaca qira’at kepadanya, baik secara mufrad (per riwayat) maupun majmu‘ (gabungan). Maka dengan karunia Allah, aku pun menyelesaikannya.
Dan hal itu pun sempurna bagiku dengan puji syukur kepada Allah dan pertolongan-Nya. Kemudian aku memulai mempelajari ilmu bahasa Arab kepada pamanku yang telah disebutkan, juga kepada selainnya. Khusus darinya, aku mempelajari ilmu hisab, al-jabr wal-muqābalah (aljabar), ilmu ukur, ilmu faraidh, dan fiqih, sehingga aku mendapatkan manfaat dari setiap ilmu tersebut.
Lalu aku membaca kitab az-Zubad dalam fiqih karya Imam Syarfuddin al-Bazari kepada guru kami, al-Imam al-‘Allāmah, orang saleh yang berusia panjang, Taqiyuddin, mufti kaum Muslimin, Abu Hafs ‘Umar bin Muhammad al-Fatā bin Mu‘aybid al-Asy‘ari –rahimahullah– dengan cara pembacaan yang disertai bahs (diskusi), tahqiq (penelitian), fahm (pemahaman), dan tadqiq (ketelitian), pada tahun 883 H.
Kemudian aku menunaikan ibadah haji ke Baitullah al-Haram pada akhir tahun itu, dan aku menginfakkan delapan dinar emas yang kuwarisi dari ayahku –rahimahullah– untuk biaya haji tersebut.
Setelah haji, aku kembali menuju kota Zabid. Pada saat itu kakekku yang telah disebutkan wafat di kota tersebut ketika aku sedang bepergian. Ia wafat pada waktu dhuha, hari Rabu, pertengahan Muharram tahun 884 H, dalam usia delapan puluh tahun kurang empat bulan –semoga Allah Ta‘ala merahmatinya.
Aku tiba di Zabid pada hari keempat setelah wafatnya, lalu aku tinggal bersama pamanku yang telah disebutkan dalam kehidupan yang paling baik dan dengan kebahagiaan yang sempurna. Aku terus bersamanya hingga aku berangkat haji kedua pada akhir tahun 885 H. Kemudian aku kembali ke kota Zabid dalam keadaan selamat dan penuh keberkahan.
Setelah itu Allah menganugerahkan kepadaku kebersamaan dengan guru kami, al-Imam al-‘Allāmah, ahli hadis, sisa dari ulama Yaman, Zainuddin Abu al-‘Abbās Ahmad bin Ahmad bin ‘Id al-Latif asy-Syarji. Semoga Allah menjaganya. Maka aku belajar darinya ilmu hadis Rasulullah ﷺ, dan dialah yang membimbingku ke arah itu. Semoga Allah membalasnya dariku dengan sebaik-baik balasan.
Aku membaca di hadapannya Shahih al-Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abi Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasa’i, al-Muwaththa’ karya Imam Malik, asy-Syifa karya Qadhi ‘Iyadh, ‘Amal al-Yaum wal-Laylah karya Ibn as-Sunni, asy-Syamā’il karya at-Tirmidzi, ar-Risalah karya al-Qusyairi, beserta seluruh karya dan tulisan beliau, serta banyak sekali kitab dan bagian-bagian kecil (ajza’) yang tak terhitung jumlahnya.
Melalui beliau aku lulus (takharruj), dan dari beliau aku memperoleh manfaat yang besar. Bahkan di masa hidupnya, aku menyusun kitabku yang bernama Ghāyat al-Matlūb wa A‘zham al-Minnah fīmā Yaghfirullāhu bihidz-Dzunūb wa Yūjibu bihil-Jannah. Dari beliaulah aku belajar cara menyusun kitab dan menyusun karya ilmiah.
Atas isyarat beliau, aku kemudian melakukan rihlah ke Bait al-Faqih Ibn ‘Ujail untuk menziarahi para fuqaha dari keluarga Bani Jughman. Di sana aku mempelajari fiqih kepada guru kami, al-Imam ash-Shalih, al-Muqri, wali Allah Ta‘ala, Jamaluddin Abu Ahmad ath-Thahir bin Ahmad ‘Umar bin Jughman.
Aku membaca kepadanya kitab Minhāj ath-Thālibīn karya an-Nawawi hingga selesai seluruhnya. Dan dari al-Hāwi as-Shaghir serta at-Taysir karya al-Bazari dan nadhamnya karya Ibn al-Wardi, aku membaca hingga sepertiga bagian dari masing-masing kitab.
Aku juga mempelajari hadis di sana kepada guru kami, al-Imam al-Awhad, seorang saleh, yang menguasai berbagai macam disiplin ilmu
Dan kepada al-Ma’āthir al-Hamīdah, Burhānuddin Abu Ishāq Ibrāhīm bin Abi al-Qāsim bin Jughman, aku membaca kitab al-Adzkār karya Imam an-Nawawi, asy-Syamā’il karya at-Tirmidzi, ‘Uddat al-Hisn al-Hasin karya al-Jazari, dan selain itu. Aku juga mendengarkan darinya—melalui pembacaan orang lain—majlis dari Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim, sebagian dari kitab al-Irsyād Mukhtashar al-Hāwi karya al-‘Allāmah Syarfuddin Ibn al-Muqri, dan lainnya. Aku mendapatkan manfaat dari doa seluruh guru-guruku yang telah disebutkan dan dari kecintaan mereka kepadaku. Semoga Allah merahmati mereka semuanya dan membalas jasa mereka dengan sebaik-baik balasan.
Kemudian aku menunaikan haji yang ketiga pada tahun 896 H. Setelah haji, aku berziarah ke makam junjungan kita, Rasulullah ﷺ, pada akhir bulan Dzulhijjah tahun itu. Lalu aku kembali ke Makkah al-Mukarramah pada bulan Muharram tahun 897 H.
Di sana Allah menganugerahkan kepadaku pertemuan dengan Syekh al-Imam, Hafizh pada masanya, Musnid dunia, satu-satunya pada zamannya, Syamsuddin Abu al-Khair Muhammad bin ‘Abdurrahman as-Sakhāwi al-Mishri asy-Syafi‘i. Aku bersahabat dengannya, memperoleh banyak manfaat darinya, dan belajar kepadanya ilmu hadis nabawi.
Aku mendengar darinya banyak bagian dari Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim, dari kitab Mishkāt al-Masābīh karya at-Tabrizi, sejumlah bagian dari Alfiyyah al-Hadith, dan aku membaca kepadanya kitab Bulūgh al-Marām min Adillati al-Ahkām karya al-Hafizh Abu al-Fadl Ibn Hajar, sebagian dari kitab Sirah Ibn Sayyid an-Nās al-Ya‘muri yang berjudul ‘Uyūn al-Atsar, sebagian dari kitab Riyādh as-Shālihīn karya an-Nawawi, Tsulāthiyyāt al-Bukhari, dan banyak sekali kitab, ajza’, serta musalsalāt yang tak terhitung.
Beliau sangat memuliakanku, menunjukku, menasihatiku, mendahulukanku di atas para penuntut ilmu lainnya, mengutamakanku, serta berbuat banyak kebaikan kepadaku. Semoga Allah membalasnya dengan sebaik-baik balasan.
Kemudian, ketika aku kembali dari haji ke tanah airku, aku menyusun kitabku yang bernama Kasyf al-Kurbah fī Syarh Du‘ā’ al-Imām Abī Hubwah. Setelah itu aku menyusun kitab ini, Bughyat al-Mustafīd fī Akhbār Madīnat Zabīd.
Ketika kitab itu sampai kepada junjungan kami, Sultan al-Malik adh-Dhāfir ‘Āmir bin ‘Abd al-Wahhāb bin Dāwud Thāhir –semoga Allah memperbaharui kejayaannya dan menolong bala tentaranya– beliau memanggilku ke majelisnya yang mulia nan tinggi, beliau mengagumi kitab itu, menyukainya, memanggilku, menegurku agar menambahkan hal-hal yang terlewat, serta menambahkan faidah-faidah yang jarang yang belum kusebutkan.
Kemudian aku meringkas kitab tersebut dalam bentuk kitab lain yang kunamakan al-‘Iqd al-Bāhir fī Tārīkh Dawlat Banī Thāhir, di mana aku sebutkan sejarah dua kakeknya dari Bani Thāhir, ayahnya, beserta peninggalan-peninggalan mereka yang terpuji, serta tanda-tanda keberkahan dan kebahagiaan mereka yang penuh kemuliaan.
Maka ketika junjungan kami, sang Sultan, melihat kitab tersebut, beliau menambahkan kepadaku berbagai anugerah kedermawanan dan kebaikan. Beliau memberiku hadiah yang agung lagi penuh keberkahan dari karunia yang mulia. Kemudian kitab sejarah ini memperoleh kedudukan yang besar, lalu aku persembahkan kepada junjungan kami, sang Sultan, yang ketika itu sedang menetap di kota mahrūsah al-Muqranah.
Maka beliau memberiku balasan yang agung, mencurahkan kepadaku dari karunia dan kemurahannya sesuatu yang bahkan derasnya hujan tak mampu menyamai limpahannya.
Aku senantiasa berada di sisinya, dalam taman kemurahan yang luas dan limpahan kebaikan yang melimpah, hingga beliau mengizinkanku untuk kembali ke tanah airku. Beliau memakaikan kepadaku pakaian kehormatan yang sangat berharga, memuliakanku, serta menghadiahkanku sebuah rumah istana kerajaan di kota Zabid untuk dijadikan tempat tinggal. Beliau juga memberiku sebidang kebun kurma di lembah Zabid.
Dengan kebaikannya, beliau memperkuatku setelah kelemahanku, menolongku setelah kekuranganku, dan menganugerahkan kepadaku kedudukan untuk mengajarkan hadis di Masjid Jami‘ Zabid, di atas mimbar yang penuh berkah.
Maka aku pun kembali ke tanah airku dengan penuh kegembiraan, dalam limpahan nikmat yang luas, keadaan yang baik, seraya bersyukur atas kemurahan dan kebaikannya, serta mengakui karunia dan anugerahnya seraya memohon kepada Allah Ta‘ala agar menyatukan manusia untuk mematuhinya, memperpanjang masa pemerintahan beliau, memuliakan setiap pengikutnya yang sabar dan bersyukur, menghinakan setiap penentangnya yang pengkhianat dan kafir, menyatukan bagi beliau antara pertolongan-Nya yang perkasa dan kemenangan-Nya yang nyata, serta menjadikan kalimat kebenaran tetap tegak padanya dan pada sepeninggalnya hingga hari kiamat.
Amin, amin, amin. Aku tidak rela hanya dengan satu "amin" … hingga aku tambahkan padanya seribu "amin.
بغية المستفيد في أخبار مدينة الزبيد ص ٢١٧-٢٢١