Fikroh.com - Setiap Muslim tentu merasa dirinya mencintai Allah. Kalimat itu sering terucap dalam doa, lantunan zikir, bahkan menjadi pengakuan yang melekat di hati. Namun, pertanyaannya: apakah cukup dengan perasaan dan pengakuan itu saja? Ibnul Qayyim al-Jauziyyah rahimahullah pernah menyampaikan sebuah kalimat yang sangat dalam, beliau berkata:
ليس الشأن أن تُحب ولكن الشأن أن تُحَب
“Perkaranya bukanlah bagaimana engkau mengaku mencintai Allah, tetapi perkaranya apakah engkau dicintai Allah.” (Raudhatul Muhibbin, hal. 266).
Ungkapan ini menyadarkan bahwa cinta seorang hamba kepada Allah bisa saja sebatas klaim. Yang lebih penting adalah balasan dari Allah berupa cinta-Nya kepada hamba tersebut. Sebab, cinta Allah-lah yang melahirkan rahmat, pertolongan, serta ampunan-Nya. Adapun cinta hamba, seringkali bercampur dengan kelemahan, kelalaian, bahkan hawa nafsu.
Allah ﷻ sendiri menguji klaim cinta manusia dalam firman-Nya:
“Katakanlah (wahai Muhammad): Jika kamu mencintai Allah, maka ikutilah aku. Niscaya Allah akan mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu.” (QS. Ali ‘Imran: 31).
Ayat ini dikenal oleh para ulama sebagai Ayatul Imtihan, yaitu ayat ujian. Dengan ayat inilah Allah menyingkap siapa yang benar-benar jujur dalam cintanya kepada-Nya. Ukuran kejujuran itu jelas: mengikuti Rasulullah ﷺ dalam aqidah, ibadah, akhlak, dan seluruh ajarannya.
Ibnu Katsir rahimahullah dalam tafsirnya menegaskan bahwa ayat ini menjadi hakim atas orang-orang yang mengaku cinta kepada Allah. Bila pengakuan itu tidak diiringi dengan ittiba’ kepada Rasulullah ﷺ, maka klaim tersebut hanyalah kedustaan. Bahkan, beliau menambahkan, cinta Allah kepada hamba jauh lebih agung daripada sekadar cinta hamba kepada Rabb-nya. Sebab, dengan mengikuti Rasul, seorang hamba bukan hanya membuktikan cintanya, melainkan memperoleh sesuatu yang lebih tinggi: balasan cinta Allah serta ampunan dosa-dosa.
Al-Hasan al-Bashri rahimahullah menuturkan bahwa ayat ini turun untuk menguji suatu kaum yang mengaku mencintai Allah. Maka Allah berfirman kepada mereka: “Jika kalian benar-benar mencintai Allah, ikutilah Nabi Muhammad ﷺ, niscaya Allah mencintai kalian.” Inilah ukuran sejati cinta yang tidak bisa dipalsukan.
Lebih jauh lagi, Rasulullah ﷺ mengabarkan dalam hadits shahih bahwa apabila Allah mencintai seorang hamba, maka Allah memanggil Jibril dan memerintahkannya untuk mencintai hamba tersebut. Jibril pun menyeru kepada penghuni langit agar mencintainya, hingga kecintaan itu turun kepada penduduk bumi. Dicintai Allah berarti dimuliakan di langit dan di bumi, serta mendapat tempat istimewa di sisi-Nya.
Tanda seorang hamba dicintai Allah antara lain adalah kemudahan dalam menjalankan ketaatan, keikhlasan dalam ibadah, hati yang condong kepada kebaikan, kesabaran dalam menghadapi ujian, serta istiqamah dalam mengikuti sunnah Nabi Muhammad ﷺ. Semua itu bukan hasil usaha manusia semata, melainkan karunia dari Allah karena cinta-Nya.
Dari sini kita memahami, mencintai Allah adalah kewajiban, tetapi dicintai Allah adalah anugerah yang jauh lebih besar. Maka, seorang Muslim hendaknya tidak cukup berhenti pada pengakuan, melainkan bersungguh-sungguh membuktikan cintanya dengan amal dan ittiba’. Dengan itulah cinta Allah akan kembali kepadanya, membawa rahmat dan ampunan yang tiada tara.
Semoga Allah menjadikan kita termasuk hamba-hamba yang bukan hanya mengaku mencintai-Nya, tetapi juga benar-benar dicintai oleh-Nya, diridhai, dan kelak dikumpulkan bersama orang-orang yang dicintai-Nya di surga.
Ungkapan ini menyadarkan bahwa cinta seorang hamba kepada Allah bisa saja sebatas klaim. Yang lebih penting adalah balasan dari Allah berupa cinta-Nya kepada hamba tersebut. Sebab, cinta Allah-lah yang melahirkan rahmat, pertolongan, serta ampunan-Nya. Adapun cinta hamba, seringkali bercampur dengan kelemahan, kelalaian, bahkan hawa nafsu.
Allah ﷻ sendiri menguji klaim cinta manusia dalam firman-Nya:
قُلْ إِن كُنتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ ۗ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
“Katakanlah (wahai Muhammad): Jika kamu mencintai Allah, maka ikutilah aku. Niscaya Allah akan mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu.” (QS. Ali ‘Imran: 31).
Ayat ini dikenal oleh para ulama sebagai Ayatul Imtihan, yaitu ayat ujian. Dengan ayat inilah Allah menyingkap siapa yang benar-benar jujur dalam cintanya kepada-Nya. Ukuran kejujuran itu jelas: mengikuti Rasulullah ﷺ dalam aqidah, ibadah, akhlak, dan seluruh ajarannya.
Ibnu Katsir rahimahullah dalam tafsirnya menegaskan bahwa ayat ini menjadi hakim atas orang-orang yang mengaku cinta kepada Allah. Bila pengakuan itu tidak diiringi dengan ittiba’ kepada Rasulullah ﷺ, maka klaim tersebut hanyalah kedustaan. Bahkan, beliau menambahkan, cinta Allah kepada hamba jauh lebih agung daripada sekadar cinta hamba kepada Rabb-nya. Sebab, dengan mengikuti Rasul, seorang hamba bukan hanya membuktikan cintanya, melainkan memperoleh sesuatu yang lebih tinggi: balasan cinta Allah serta ampunan dosa-dosa.
Al-Hasan al-Bashri rahimahullah menuturkan bahwa ayat ini turun untuk menguji suatu kaum yang mengaku mencintai Allah. Maka Allah berfirman kepada mereka: “Jika kalian benar-benar mencintai Allah, ikutilah Nabi Muhammad ﷺ, niscaya Allah mencintai kalian.” Inilah ukuran sejati cinta yang tidak bisa dipalsukan.
Lebih jauh lagi, Rasulullah ﷺ mengabarkan dalam hadits shahih bahwa apabila Allah mencintai seorang hamba, maka Allah memanggil Jibril dan memerintahkannya untuk mencintai hamba tersebut. Jibril pun menyeru kepada penghuni langit agar mencintainya, hingga kecintaan itu turun kepada penduduk bumi. Dicintai Allah berarti dimuliakan di langit dan di bumi, serta mendapat tempat istimewa di sisi-Nya.
Tanda seorang hamba dicintai Allah antara lain adalah kemudahan dalam menjalankan ketaatan, keikhlasan dalam ibadah, hati yang condong kepada kebaikan, kesabaran dalam menghadapi ujian, serta istiqamah dalam mengikuti sunnah Nabi Muhammad ﷺ. Semua itu bukan hasil usaha manusia semata, melainkan karunia dari Allah karena cinta-Nya.
Dari sini kita memahami, mencintai Allah adalah kewajiban, tetapi dicintai Allah adalah anugerah yang jauh lebih besar. Maka, seorang Muslim hendaknya tidak cukup berhenti pada pengakuan, melainkan bersungguh-sungguh membuktikan cintanya dengan amal dan ittiba’. Dengan itulah cinta Allah akan kembali kepadanya, membawa rahmat dan ampunan yang tiada tara.
Semoga Allah menjadikan kita termasuk hamba-hamba yang bukan hanya mengaku mencintai-Nya, tetapi juga benar-benar dicintai oleh-Nya, diridhai, dan kelak dikumpulkan bersama orang-orang yang dicintai-Nya di surga.