Notification

×

Iklan

Iklan

Negara Mafia? Menelisik Peran Gelap Emirat dalam Konflik Sudan dan Yaman

Rabu | Oktober 29, 2025 WIB | 0 Views
Negara Mafia? Menelisik Peran Gelap Emirat dalam Konflik Sudan dan Yaman


Fikroh.com - “Negara Mafia.” Begitulah ungkapan tegas yang dilontarkan Asisten Panglima Angkatan Bersenjata Sudan, Letnan Jenderal Yasser Al-Atta, untuk menggambarkan peran Uni Emirat Arab (UEA) dalam konflik yang berkepanjangan di Sudan. Pernyataan singkat namun tajam itu mencerminkan kemarahan Al-Atta terhadap dugaan campur tangan Abu Dhabi dalam memperkeruh situasi di negaranya.

Kemarahan tersebut bukan tanpa alasan. Di balik dalih pengiriman bantuan kemanusiaan, UEA disebut-sebut turut menyuplai senjata kepada milisi Janjaweed — kini dikenal sebagai Rapid Support Forces (RSF) — melalui jalur Uganda, Republik Afrika Tengah, hingga Chad. Dugaan inilah yang memicu ketegangan diplomatik antara Khartoum dan Abu Dhabi.

Situasi memanas pada Desember 2023. Pada 9 Desember, UEA mengusir duta besar Sudan beserta dua diplomat lainnya dari Abu Dhabi. Sehari berselang, Kementerian Luar Negeri Sudan membalas dengan mengultimatum 15 diplomat Emirat agar meninggalkan Sudan dalam waktu 48 jam, dengan alasan mereka telah berstatus persona non grata atau individu yang tidak diinginkan.

Ketegangan tak berhenti di situ. Pada 29 April 2024, majalah The Times melaporkan bahwa UEA membatalkan empat pertemuan tingkat menteri dengan Inggris. Langkah itu diduga sebagai bentuk protes atas tuduhan London yang menuding Abu Dhabi mendukung RSF di Sudan — tuduhan yang secara konsisten dibantah pihak Emirat. Amerika Serikat pun dikabarkan telah memperingatkan negara-negara di kawasan, termasuk UEA, untuk tidak mencampuri konflik internal Sudan.

Hubungan antara Abu Dhabi dan RSF sendiri bukan hal baru. Pasukan paramiliter itu pernah menjadi bagian dari koalisi Saudi–Emirat dalam menghadapi pemberontak Houtsi di Yaman. RSF, yang sebagian besar beranggotakan eks-milisi Janjaweed berpengalaman dalam konflik Darfur, dianggap memiliki kemampuan tempur yang lebih mumpuni dibandingkan tentara reguler UEA. Selain itu, RSF menguasai sejumlah tambang emas di Sudan dengan nilai ekspor mencapai 16 miliar dolar AS per tahun — sebagian besar dijual ke UEA sebelum beredar di pasar global.

Namun, pola campur tangan serupa juga terlihat di Yaman. Keterlibatan UEA yang semula dilakukan atas nama koalisi militer anti-Houtsi, lambat laun berubah menjadi upaya memperluas pengaruh di kawasan strategis seperti Pelabuhan Aden, Selat Bab al-Mandab — pintu gerbang menuju Laut Merah dan Terusan Suez — serta Pulau Socotra di selatan Yaman.

Dukungan UEA terhadap milisi lokal melahirkan Southern Transitional Council (STC), kelompok separatis di wilayah selatan yang kini berseteru dengan Pemerintah Yaman yang sah — pemerintah yang didukung Arab Saudi dan diakui komunitas internasional. Alhasil, Yaman kini terbelah menjadi tiga wilayah kekuasaan: Yaman Utara yang dikuasai Houtsi (proksi Iran), wilayah selatan seperti Aden dan Mukalla di bawah kendali STC (proksi UEA), serta wilayah tengah seperti Ma’rib dan Ta’iz yang tetap berada di bawah pemerintah resmi Yaman.

Ironisnya, sikap UEA yang aktif mencampuri urusan internal negara lain jarang mendapatkan kecaman terbuka dari forum-forum Islam internasional. Pada Mei 2020, Muslim World League (MWL) yang bermarkas di Makkah mengecam keras intervensi Turki dalam konflik Libya — namun tidak melakukan hal serupa terhadap langkah Emirat di Sudan, Yaman, maupun Libya. Forum perdamaian yang didirikan oleh Abu Dhabi, Abu Dhabi Forum for Peace, juga memilih diam terhadap isu-isu tersebut.

Fenomena ini menimbulkan pertanyaan besar: apakah “perdamaian” yang diserukan oleh Abu Dhabi benar-benar bermakna penghentian konflik di dunia Arab, atau sekadar langkah politis untuk menormalisasi hubungan dengan Israel dan memperluas pengaruh regionalnya?

(Sumber: Al Jazeera, Al Arabiya, The Times, dan sumber internasional lainnya.)
×
Berita Terbaru Update