Fikroh.com - Pertanyaan tentang keberadaan Surat Musa dalam Al-Qur’an sempat mencuat, terutama setelah disebutkan oleh Habib Luthfi bin Yahya. Sebagian masyarakat mungkin bingung, karena dalam daftar mushaf Al-Qur’an yang kita kenal sehari-hari, tidak terdapat surat dengan nama “Musa”. Hal ini mengundang diskusi: benarkah ada surat yang dinamakan demikian?
Untuk menjawab pertanyaan ini, kita perlu menelusuri ilmu tafsir dan sejarah penamaan surat dalam Al-Qur’an. Sebab, penamaan surat tidak selalu tunggal; banyak surat yang dikenal dengan lebih dari satu nama. Di sisi lain, persoalan ini juga memberi pelajaran penting tentang bagaimana seharusnya kita bersikap terhadap ulama, baik dalam hal cinta maupun kritik.
Nama-Nama Surat dalam Al-Qur’an
Al-Qur’an terdiri dari 114 surat, dan masing-masing surat memiliki nama tertentu. Nama-nama surat yang kita kenal sekarang merupakan hasil kesepakatan yang ditetapkan sejak masa sahabat Nabi dan diwariskan turun-temurun hingga masuk ke dalam mushaf standar.
Namun, para ulama menegaskan bahwa satu surat bisa memiliki lebih dari satu nama. Hal ini karena nama surat biasanya diambil dari:
- Kata yang menonjol dalam surat tersebut
- Misalnya, Surat Al-Baqarah dinamai demikian karena memuat kisah sapi betina (baqarah).
- Tokoh utama yang kisahnya dominan
- Surat Yusuf, misalnya, dinamai karena banyak menceritakan kisah Nabi Yusuf.
- Tema atau peristiwa penting dalam surat tersebut
Dengan alasan ini, tidak mengherankan jika satu surat mempunyai beberapa nama. Bahkan, ada surat yang dikenal dengan lebih dari dua atau tiga nama dalam kitab tafsir.
Surat Al-Qashash dan Julukan “Surat Musa”
Salah satu contoh surat yang memiliki lebih dari satu nama adalah Surat Al-Qashash (سورة القصص). Secara resmi, nama surat ini adalah Al-Qashash, yang berarti “kisah-kisah”, karena di dalamnya terdapat narasi panjang tentang perjalanan Nabi Musa sejak lahir hingga masa kerasulannya.
Dalam Tafsir Ash-Shawi dan beberapa kitab tafsir lainnya, disebutkan bahwa Surat Al-Qashash juga dikenal dengan nama lain, yaitu Surat Musa. Alasan penamaan ini jelas: kisah Nabi Musa menjadi tema dominan dalam surat tersebut. Bahkan, detail kehidupan Musa yang diceritakan di sini tergolong paling panjang dan lengkap dibandingkan surat lainnya.
Karena itu, ketika Habib Luthfi menyebut adanya “Surat Musa”, hal itu tidak keliru. Beliau merujuk pada penamaan alternatif dalam tradisi tafsir. Namun, tentu saja, dalam mushaf yang kita baca sehari-hari, nama yang digunakan adalah Al-Qashash.
Contoh Surat Lain dengan Banyak Nama
Fenomena penamaan lebih dari satu ini bukan hanya terjadi pada Surat Al-Qashash. Beberapa surat lain juga memiliki nama alternatif, misalnya:
- Surat Al-Fatihah: dikenal juga dengan nama Ummul Kitab, As-Sab’ul Matsani, dan Al-Hamd.
- Surat Al-Isra’: sering disebut juga sebagai Surat Bani Israil.
- Surat Al-Insan: disebut pula Surat Ad-Dahr.
- Surat At-Taubah: ada yang menyebutnya Al-Bara’ah.
Hal ini menunjukkan bahwa penamaan surat bukan hal yang kaku, melainkan bagian dari kekayaan tradisi keilmuan Islam.
Sikap terhadap Ulama: Cinta dan Benci yang Proporsional
Pembahasan mengenai Surat Musa ini juga mengingatkan kita pada adab dalam menyikapi ulama. Habib Luthfi, sebagai salah satu tokoh karismatik, tidak terlepas dari sorotan. Ada yang sangat mencintai beliau, tetapi ada juga yang mengkritik.
Dalam Islam, mencintai ulama adalah bagian dari penghormatan terhadap ilmu. Namun, cinta itu seharusnya bersifat wajar dan proporsional. Ulama adalah manusia biasa yang bisa benar dan bisa salah. Ketika mereka benar, kita ikuti dengan penuh hormat. Ketika mereka keliru, kita luruskan dengan adab dan tetap menjaga kehormatan mereka.
Rasulullah SAW pernah bersabda bahwa cinta dan benci seorang mukmin hendaknya selalu karena Allah. Artinya, kita tidak boleh mencintai tokoh secara buta tanpa mempertimbangkan kebenaran, dan juga tidak boleh membenci secara berlebihan hingga menutup mata dari kebaikan yang pernah mereka lakukan.
Pentingnya Keseimbangan
Jika terlalu mencintai, seseorang bisa terjatuh dalam pengkultusan yang berbahaya.
Jika terlalu membenci, seseorang bisa menutup pintu kebaikan dan merendahkan ulama tanpa adab.
Sikap yang benar adalah berada di tengah: menghormati ulama, mengambil ilmunya, namun tetap menyadari bahwa mereka bukan makhluk ma’shum (terjaga dari kesalahan) seperti para nabi.
Pelajaran yang Bisa Diambil
- Dari persoalan penamaan “Surat Musa” ini, kita bisa mengambil beberapa pelajaran penting:
- Ilmu tafsir sangat kaya: Penamaan surat bukan hal sederhana, melainkan bagian dari khazanah panjang tradisi Islam.
- Jangan tergesa-gesa menilai salah: Apa yang terdengar asing bagi kita, bisa jadi memiliki dasar dalam kitab tafsir atau riwayat ulama terdahulu.
- Adab terhadap ulama sangat penting: Menghormati tidak berarti menutup mata dari kekeliruan, dan mengkritik tidak berarti merendahkan secara membabi buta.
- Cinta dan benci harus proporsional: Sebab manusia bisa berubah, dan hanya Allah yang Maha Benar.
Kesimpulan
Meski tidak ada surat resmi bernama “Musa” dalam mushaf Al-Qur’an, penyebutan itu bukan keliru. Surat Al-Qashash dalam beberapa tafsir memang dikenal juga dengan julukan Surat Musa, karena isinya banyak menceritakan kisah Nabi Musa secara panjang dan detail.
Habib Luthfi, ketika menyebut nama tersebut, sesungguhnya merujuk pada tradisi tafsir klasik, bukan menciptakan sesuatu yang baru.
Pada saat yang sama, kasus ini menjadi pengingat bahwa sikap kita terhadap ulama harus seimbang. Mencintai dengan sewajarnya akan membuat kita tetap hormat sekalipun mereka melakukan kesalahan. Sebaliknya, membenci secara buta akan menutup hati dari kebaikan yang mereka miliki.
Dengan demikian, memahami “Surat Musa” tidak hanya soal pengetahuan tafsir, tetapi juga soal bagaimana kita menjaga adab dalam menyikapi perbedaan dan kedudukan ulama di tengah umat.
