Ukuran Kain Kafan Untuk Jenazah Laki-Laki Dan Perempuan

Kain Kafan Untuk Jenazah Laki-Laki Dan Perempuan

Fikroh.com - Kain kafan adalah beberapa helai kain yang biasa digunakan untuk menutup dan membungkus jenazah laki-laki dan perempuan. Ada beberapa ketentuan yang harus diperhatikan terkait bentuk, ukuran dan model kain kafan.

Pertama: Bentuk Kain Kafan Untuk Laki-Laki

Diriwayatkan dari Aisyah radhiallahu 'anha ia berkata:

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كُفِّنَ فِي ثَلاَثَةِ أَثْوَابٍ يَمَانِيَةٍ بِيضٍ، سَحُولِيَّةٍ[1] مِنْ كُرْسُفٍ[2] لَيْسَ فِيهِنَّ قَمِيصٌ وَلاَ عِمَامَةٌ

“Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam dikafani menggunakan tiga helai kain dari Negeri Yaman yang berwarna putih bersih berbahan katun dan bukan berupa pakaian maupun surban.[3]

Dari pemahaman hadits ini dan lainnya bahwa disunnahkan dalam kain kafan sebagai berkut :

1. Berwarna putih. Berdasarkan hadits rasul Shallallahu 'alaihi wasallam :

الْبَسُوا مِنْ ثِيَابِكُمُ الْبَيَاضَ فَإِنَّهَا مِنْ خَيْرِ ثِيَابِكُمْ، وَكَفِّنُوا فِيهَا مَوْتَاكُمْ

“Pakailah pakaian berwarna putih, karena itulah sebaik-baiknya pakaian, dan jadikan itu sebagai kafan bagi mayit kalian ”.[4]

2. Bagi pria kafan sebanyak tiga lapis

Jumlah kain kafan untuk jenazah laki-laki sebanyak 3 helai atau lapis.

3. Kain katun

Sangat dianjurkan menggunkan kain yang berbahan katun. 

4. Bukan pakaian atau surban dan boleh mengkafani menggunakan surban namun lebih utama ditinggalkan.

Diriwayatkan dari Ibnu Umar radhiallahu 'anhu

أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ أُبَيٍّ لَمَّا تُوُفِّيَ، جَاءَ ابْنُهُ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَعْطِنِي قَمِيصَكَ أُكَفِّنْهُ فِيهِ، وَصَلِّ عَلَيْهِ، وَاسْتَغْفِرْ لَهُ، فَأَعْطَاهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَمِيصَهُ

“Bahwa ketika Abdullah bin Ubay meninggal, anaknya datang menemui nabi Shallallahu 'alaihi wasallam dan berkata, wahai rasulullah, berikanlah gamismu kepadaku untuk aku kafankan kepadanya. Shalatkanlah dan mintakanlah ampunan untuknya. Rasulullahpun memberikan gamisnya”.[5]

Imam Syafi’i berkata dalam al-Umm (1/236), “jika dikafani dengan gamis, maka gamis tersebut diletakan pada bagian dalam, kemudian dilapisi dengan kain kafan di atasnya”.

5. Salah satu dari kainnya berupa kain hibarah, yaitu bergaris dan berwarna. Diriwayatkan dari jabir dari nabi Shallallahu 'alaihi wasallam ia bersabda:

إِذَا تُوُفِّيَ أَحَدُكُمْ فَوَجَدَ شَيْئًا فَلْيُكَفَّنْ فِي ثَوْبٍ حِبَرَةٍ

“Apabila diantara kalian meninggal dan menemukan sesuatu maka kafanilah dengan menggunakan kain hibarah.”[6]

6. Kain kafan diberi wewangian

Diriwayatkan dari jabir radhiallahu 'anhu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:

اذا أجمرتم الميت , فأجمروه ثلاثا

“Apabila kalian memberikan wewangian kepada mayit, maka berikanlah tiga kali”[7]

Sebagian golongan ulama membolehkan, dikarenakan kebiasaan semasa hidupnya ketika sehabis mandi, memakai pakaian baru dan memakai wewangian, begitu pula mayit.

Bagaimana Jika Kain Kafan Tidak Cukup Menutupi Seluruh Tubuh Mayit?

Diriwayatkan dari Khabbab:

قتل يوم أحد فلم نجد ما نكفنه الا بردة اذا غطينا بها رأسه خرجت رجله, و اذا غطينا رجليه خرج رأسه , فأمرنا النبى صلى الله عليه و سلم أن نغطى رأسه و أن نجعل على رجليه من الاذخر "

“Bahwa Mush’ab bin Umair terbunuh dalam perang Uhud, dan kami tidak menemukan kain untuk mengkafaninya selain kain Burdah. [8] Apabila kami menutup bagian kepalanya maka bagian kakinya terbuka. Dan apabila kami menutup bagian kakinya maka bagian kepalanya terbuka. Kemudian nabi Shallallahu 'alaihi wasallam memerintahkan kami untuk menutupi kepalanya dan menutupi bagian kakinya dengan daun Idzkhir.”.[9]

Mengkafani Orang Yang Sedang Ihram Dengan Pakaian Ihramnya Tanpa Menutup Kepalanya

Diriwayatkan dari Ibnu 'Abbas radliallahu 'anhuma bahwa ada seorang laki-laki ketika sedang ihram bersama Nabi shallallahu 'alaihi wasallam tiba-tiba terlempar dari untanya sehingga meninggal. Kemudian Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:

" اغْسِلُوهُ بِمَاءٍ وَسِدْرٍ، وَكَفِّنُوهُ فِي ثَوْبَيْنِ أَوْ قَالَ: ثَوْبَيْهِ، وَلاَ تُحَنِّطُوهُ، وَلاَ تُخَمِّرُوا رَأْسَهُ، فَإِنَّ اللَّهَ يَبْعَثُهُ يَوْمَ القِيَامَةِ يُلَبِّي "

"Mandikanlah ia dengan air dan daun bidara, kafanilah dengan dua helai kain dan janganlah diberi wewangian dan jangan pula diberi tutup kepala (serban) karena ia nanti dibangkitkan pada hari kiamat dalam keadaan bertalbiyyah".[10]

Mengkafani Orang Yang Mati Syahid Karena Terbunuh Dengan Pakaiannya Saat Terbunuh Atau Dengan Pakaian Yang Lain

Diriwayatkan dari Abdullah bin Tsa’labah bin Shufair bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam berkata pada hari perang Uhud

زملوهم فى ثيابهم

“Selimutilah mereka dengan pakaian mereka”.[11]

Ulama sepakat boleh mengkafani orang yang mati syahid dengan mengikut sertakan pakaiannya saat terbunuh.

Mayoritas ulama mengatakan agar melepaskan pakaian mereka jika itu bukan sejenis pakaian yang tidak biasa digunakan, misal dari kulit, besi ataupun tembaga.

Dalil yang menunjukan bahwa mengkafani Syuhada menggunakan pakaiannya dibolehkan tapi bukanlah hal yang wajib. Sebagaimana yang diriwayatkan dari az-Zubair radhiallahu 'anhu :

أن صفية أرسلت الى النبى صلى الله عليه و سلم ثوبين ليكفن فيهما حمزة رضى الله عنهو فكفنه فى أحدهما , وكفن فى الآخر الا نصارى الذى لم يكن له كفن

“Bahwa shafiyah mengirim dua helai kain kepada nabi Shallallahu 'alaihi wasallam untuk mengkafani Hamzah, kemudian beliau mengkafani dengan salah satu dari keduanya. Dan mengkafani dengan satunya lagi kepada sahabat anshar yang tidak memiliki kain kafan.”[12]

Hadits tersebut menceritakan pengkafanan Mus’ab bin Umair yang telah terbunuh dalam Perang Uhud.”

Kedua: Kain Kafan Untuk Wanita

Mengkafani wanita seperti halnya mengkafani seorang laki-laki, hal ini disunnahkan, menurut pendapat para ulama, sebanyak lima lapis. Dalil tentang hal ini adalah hadits dhaif:

Bahwa Laili binti Qaif As-Saqafiyah berkata:

كُنْتُ فِيمَنْ غَسَّلَ أُمَّ كُلْثُومٍ بِنْتَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عِنْدَ وَفَاتِهَا، فَكَانَ أَوَّلُ مَا أَعْطَانَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْحِقَاءَ، ثُمَّ الدِّرْعَ، ثُمَّ الْخِمَارَ، ثُمَّ الْمِلْحَفَةَ، ثُمَّ أُدْرِجَتْ بَعْدُ فِي الثَّوْبِ الْآخَرِ»، قَالَتْ: «وَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جَالِسٌ عِنْدَ الْبَابِ مَعَهُ كَفَنُهَا يُنَاوِلُنَاهَا ثَوْبًا ثَوْبًا» "

“Aku adalah salah seorang yang memandikan Ummu Kulsum putri Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam ketika wafatnya. Kain pertama yang diberikan rasulullah kepada kami adalah kain sarung, baju kurung, jilbab, selimut, lalu dibungkus beserta kain yang lainnya. Ia melanjutkan.[13]

Sedangkan Rasulullah duduk di depan pintu. Beliau membawa kain kafan dan memberikannya kepada kami satu persatu”

Ibnu Mundzir berkata, “Para ulama berpendapat bahwa jumlah kain kafan wanita adalah lima lembar dan hal itu disunnahkan karena memang wanita dikhususkan selalu lebih dalam berpakaian untuk menutupi auratnya dibanding laki-laki, begitu pula setelah meninggal dalam mengkafani.

Mengkafani Wanita Dengan Kain Sutera

Hukumnya boleh, karena hal ini disamakan seperti semasa hidupnya dan makruh apabila ada unsur berlebihan seperti menyia-nyiakan harta. Sangat berbeda sekali ketika masih hidup yang hanya diperuntukan bagi suaminya.[14]


Footnote:

[1] Kain warna putih bersih, yang dinisbatkan pada sebuah daerah Sahul di negara Yaman

[2]  Berbahan katun

[3] Hadits Riwayat: Al-Bukhari (1264), Muslim (941)

[4]  Hadits Riwayat: Abu Daud (3878), At-Tirmidzi (994), Ibnu Majah (1472). Shahih li ghairihi

[5] Hadits Riwayat:. Al-Bukhari (1269), Muslim (2774)

[6] Hadits Riwayat:. Abu Daud (3150), Al-Baihaqi (3/403), Ibnu Muin telah membenarkan hadits tersebut, dan keterangan ini terdapat pada Ahmad (3/335), Ibnu Syaibah (3/266), dari dua arah yang berbeda, maka hadits ini disahkan, dan ada dalam Shahih Al-jami’. Shahih

[7] Hadits Riwayat: Ahmad (3/331), Ibnu Abi Syaibah (3/265), Hakim (1/355),  Al-Baihaqi (3/405). Hasan

[8] Hadits Riwayat: Al-Bukhari (1267)

[9] Fath Al bari (3/142)

[10] Hadits Riwayat: Al-Bukhari (1849)

[11] Hadits Riwayat: Ahmad (5/431) dengan sanad lemah, dan sebagian ulama mendhaifkan hadis ini karena perawinya berbeda dengan Imam Ahmad (5/431), An-Nasa`i (4/6-78/28) dengan lafaz “zamiluhum bi kulumihim wa dimaihim” dikatakan bahwa tidak ada perbedaan , karena dua lafaz ini sudah jelas, dan hadits yang diriwayatkan oleh Syahid dari haditsnya Jabir, Abu Daud (3133) dan dari Ibnu Abbas (3134) , Ibnu Majah (1515) dan selain dari perawi tersebut. Hasan dengan berbagai jalur.

[12] Hadits Riwayat: Ahmad (1/165), Al-Baihaqi (3/401), dan selain keduanya. Shahih dengan jalurnya

[13] Hadits Riwayat: Abu Daud (3157) dengan sanad Dhaif

[14] Al-Majmu' An-Nawawi (5/197)

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama