Biografi Gus Baha, Sosok Alim yang Dikaruniai Banyak Kelebihan

Biografi Gus Baha, Sosok Alim yang Dikaruniai Banyak Kelebihan

Fikroh.com - KH. Ahmad Bahauddin Nursalim, yang lebih dikenal dengan sebutan Gus Baha, merupakan salah satu ulama kontemporer Indonesia yang paling berpengaruh dalam bidang tafsir Al-Qur'an, hadis, dan fiqih. Lahir pada 29 September 1970 di Narukan, Krangan, Rembang, Jawa Tengah, Gus Baha telah menjadi panutan bagi jutaan umat Islam, khususnya di kalangan Nahdlatul Ulama (NU). Dengan gaya dakwah yang sederhana, santun, dan mendalam, beliau berhasil menyentuh hati berbagai lapisan masyarakat, dari santri hingga generasi muda yang aktif di media sosial. Meskipun tidak memiliki akun pribadi di platform digital, ceramah-ceramahnya sering viral dan meraup jutaan penonton, menjadikannya sebagai "dai milenial" yang autentik. Biografi ini akan mengupas perjalanan hidupnya secara mendalam, mulai dari latar belakang keluarga hingga kontribusi beliau dalam dunia keagamaan.

Latar Belakang Keluarga dan Masa Kecil


Gus Baha lahir dari keluarga yang kental dengan tradisi keulamaan. Ayahnya, KH. Nursalim al-Hafizh, adalah seorang ulama pakar Al-Qur'an dan pengasuh Pondok Pesantren Tahfidzul Qur'an LP3IA di Narukan, Kragan, Rembang. KH. Nursalim sendiri merupakan murid dari ulama ternama seperti KH. Arwani Kudus dan KH. Abdullah Salam dari Kajen, Pati. Dari garis ayah, Gus Baha merupakan generasi keempat ulama ahli Al-Qur'an, yang menunjukkan warisan ilmu yang kuat dalam keluarganya. Sementara itu, ibunya, Hj. Yuchanidz Nursalim, berasal dari keluarga besar ulama Lasem, keturunan Mbah Abdurrahman Basyaiban atau Mbah Sambu, yang juga dikenal sebagai bani ulama berpengaruh.

Sejak kecil, Gus Baha dididik secara ketat oleh ayahnya dalam menghafal dan memahami Al-Qur'an. Dengan metode tajwid dan makhorijul huruf yang disiplin, beliau mampu menghafal 30 juz Al-Qur'an beserta qira'ah-nya pada usia muda. Pendidikan awal ini membentuk fondasi keilmuan yang solid, di mana Al-Qur'an bukan hanya dibaca, tetapi juga dihayati sebagai pedoman hidup. Masa kecil beliau dihabiskan di lingkungan pesantren, di mana nilai-nilai kesederhanaan dan pengabdian kepada ilmu agama menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari. Keluarga Gus Baha juga aktif dalam gerakan dakwah, seperti Jantiko (Jamaah Anti Koler) yang kemudian berkembang menjadi Mantab (Majelis Nawaitu Topo Broto) dan Dzikrul Ghafilin, yang fokus pada kajian Al-Qur'an secara keliling bersama KH. Hamim Jazuli (Gus Miek).

Pendidikan dan Pengembangan Ilmu


Menginjak usia remaja, Gus Baha dikirim ayahnya untuk mondok di Pondok Pesantren Al-Anwar Karangmangu, Sarang, Rembang, di bawah bimbingan Syaikhina KH. Maimoen Zubair (Mbah Moen). Di sini, keilmuan beliau mulai menonjol. Beliau tidak hanya mempelajari tafsir, hadis, dan fiqih, tetapi juga menghafal kitab-kitab klasik secara mendalam. Misalnya, beliau mengkhatamkan Sahih Muslim lengkap dengan matan, rawi, dan sanadnya, serta hafal isi Fathul Mu'in dan kitab gramatika bahasa Arab seperti 'Imrithi dan Alfiah Ibnu Malik. Rekor hafalan terbanyak di pesantren membuat beliau dijuluki sebagai santri pertama Al-Anwar dengan prestasi luar biasa.

Gus Baha sering dianggap "tidak biasa" oleh teman-temannya karena kedalaman ilmu dan wawasannya. Dalam forum bahtsul masa'il, rekan-rekannya bahkan menolak keikutsertaannya karena dianggap berada di level yang berbeda. Kedekatan beliau dengan Mbah Moen juga legendaris; beliau sering mendampingi gurunya dalam berbagai kegiatan, mulai dari diskusi santai hingga mencari ta'bir untuk persoalan kompleks. Mbah Moen pernah memuji kecerdasan beliau dengan berkata, "Iya Ha'... Kowe pancen cerdas tenan" (Betul Ha'... Kamu memang cerdas sekali). Pendidikan nonformal ini membentuk Gus Baha menjadi ulama yang tidak hanya hafal teks, tetapi juga mampu mengaplikasikannya dalam konteks kehidupan modern.

Pernikahan dan Kehidupan Pribadi


Setelah menyelesaikan pendidikan di Sarang, Gus Baha menikah pada 2003 dengan Ning Winda, putri kyai dari Pondok Pesantren Sidogiri, Pasuruan, Jawa Timur. Pernikahan ini penuh cerita menarik; sebelum lamaran, beliau meyakinkan calon mertuanya tentang gaya hidup sederhananya, agar tidak ada kekecewaan di kemudian hari. Mertuanya hanya tersenyum dan menjawab "klop" (sama saja dengan saya). Saat akad nikah, Gus Baha berangkat sendirian ke Pasuruan dengan bus ekonomi, mencerminkan kesederhanaan yang menjadi ciri khasnya.

Pasca-menikah, pasangan ini menetap di Yogyakarta, di mana Gus Baha menyewa rumah sederhana. Beberapa santri dari Al-Anwar menyusulnya dan patungan menyewa rumah terdekat hanya untuk terus mengaji dengannya. Mereka dikaruniai tiga anak: Tasbiha Mahmida (putri sulung), Hassan Tasbiha, dan Mila Tasbiha. Nama "Tasbiha" dipilih karena keutamaan tasbih dan sujud dalam Islam. Keluarga Gus Baha hidup jauh dari kemewahan, fokus pada pengabdian dan pendidikan agama.

Karir sebagai Ulama dan Pengasuh Pesantren


Gus Baha mewarisi kepemimpinan Pondok Pesantren Tahfidzul Qur'an LP3IA setelah ayahnya wafat pada 2005. Beliau juga menjabat sebagai Rois Syuriyah NU Cabang Rembang dan Ketua Lajnah Mushaf di Lembaga Tafsir Al-Qur'an Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta. Sejak 2006, beliau mengasuh pengajian tafsir Al-Qur'an di Bojonegoro, Jawa Timur. Dalam PBNU, beliau adalah satu-satunya ulama dengan latar belakang nonformal yang duduk di Dewan Tafsir Nasional sebagai Mufassir Faqih.

Beliau pernah menolak gelar Doktor Honoris Causa dari UII, menegaskan komitmen pada kesederhanaan. Pada 2020, beliau meraih penghargaan Dai Of The Year dari Asosiasi Dai-Daiyah Indonesia (ADDAI) sebagai dai moderat berwawasan wasathiyyah.

Kontribusi dan Pengaruh


Kontribusi Gus Baha terbesar adalah dalam penyebaran ilmu tafsir yang kontekstual. Ceramahnya, sering diunggah di YouTube, menarik jutaan penonton dengan gaya ndeso tapi ilmu tingkat dunia. Beliau mengintegrasikan ajaran Islam dengan isu sosial, seperti toleransi dan moderasi beragama. Pengaruhnya meluas di kalangan NU, di mana beliau aktif dalam penguatan tradisi intelektual pesantren. Nama beliau pernah muncul dalam survei calon Ketua Umum PBNU pada 2021, meraih 12,4% suara, menunjukkan popularitasnya di kalangan nahdliyin.

Beliau juga dikenal sebagai "Manusia Qur'an" oleh Ustadz Adi Hidayat, karena penguasaannya atas ayat-ayat Al-Qur'an. Karya-karyanya, meskipun lebih banyak dalam bentuk ceramah, telah diabadikan dalam buku dan video, menjadi rujukan bagi umat.

Karakter dan Gaya Dakwah


Gus Baha dikenal santun, rendah hati, dan menghargai semua kalangan, tanpa membedakan status sosial. Beliau tidak menggunakan smartphone, hanya ponsel jadul untuk SMS dan telepon, menjaga fokus pada ilmu daripada dunia maya. Dakwahnya moderat, bijaksana, dan penuh humor, membuatnya mudah diterima generasi muda. Sikap ini kontras dengan kontroversi di media sosial, di mana beliau sering dibandingkan dengan ulama lain karena pendekatannya yang inklusif.

Ringkasan Biografi Gus Baha

Profil Singkat Gus Baha

  • Nama lengkap: KH Bahauddin Nursalim
  • Tempat & tanggal lahir: Rembang, 29 September 1970
  • Latar belakang keluarga pesantren Narukan
  • Julukan: “Kutu Al-Qur’an Nusantara”

Masa Kecil dan Perjalanan Menghafal Al-Qur’an

Khatam 30 Juz di Usia Belia

  • Konsistensi tajwid dan makharijul huruf
  • Kedisiplinan belajar sejak kecil
  • Peran ayahnya, KH Nursalim, dalam pendidikan awal

Menimba Ilmu di Pesantren Al-Anwar Sarang

Guru Utama: KH Maimoen Zubair

  • Kedekatan Gus Baha dengan Mbah Moen
  • Kisah Mbah Moen memuji kecerdasannya

Penguasaan Kitab dan Hadis

  • Hafal Shahih Muslim dengan matan dan sanad
  • Mendalami gramatika Arab melalui Alfiyah Ibn Malik dan ‘Imrithi

Peran Gus Baha di Dunia Pesantren

Pernikahan dan Hidup di Yogyakarta

  • Menikahi Neng Winda dari keluarga Pesantren Sidogiri
  • Mengisi pengajian rutin di Yogyakarta

Kembali ke Narukan

  • Wafatnya KH Nursalim (2005)
  • Gus Baha menggantikan posisi ayah sebagai pengasuh pesantren

Keilmuan Gus Baha

Sebagai Mufassir Faqih

  • Diakui Prof. Quraish Shihab
  • Keahlian dalam tafsir ayat hukum

Karya-Karya Gus Baha

  • Kitab Hafadzana li Hadzal Mushaf li Bahauddin Nur Salim
  • Tafsir Al-Qur’an versi UII
  • Karakteristik tafsir bernuansa Indonesia

Kesederhanaan yang Membekas

Gaya Dakwah Gus Baha

  • Kajian penuh guyonan khas NU
  • Tetap berbobot dan ilmiah

Konsistensi Membawa Kitab Kuning

  • Sebagai referensi
  • Sebagai penghubung sanad keilmuan

Pengaruh dan Warisan Ilmu Gus Baha

  • Posisi penting di dewan tafsir nasional
  • Inspirasi bagi generasi muda santri
  • Julukan “Kutu Al-Qur’an Nusantara” sebagai simbol dedikasi

Kesimpulan

Gus Baha adalah teladan ulama modern yang memadukan kedalaman ilmu dengan kesederhanaan hidup. Dari masa kecil di pesantren hingga menjadi pengasuh dan dai nasional, perjalanan beliau menginspirasi banyak orang untuk mendalami agama dengan hati. Di usianya yang ke-55 pada 2025, pengaruhnya terus berkembang, membuktikan bahwa ilmu sejati adalah yang bermanfaat bagi umat. Biografi ini mengajak kita untuk meneladani semangat beliau dalam menjaga warisan ulama Nusantara.

Posting Komentar untuk "Biografi Gus Baha, Sosok Alim yang Dikaruniai Banyak Kelebihan"