Artikel ini berupaya menelaah secara ilmiah cacat logika di balik tuduhan-tuduhan tersebut. Dengan pendekatan historis, politis, dan etik, tulisan ini berargumen bahwa:
- Hamas lahir sebagai konsekuensi langsung dari penjajahan dan kegagalan solusi politik yang adil bagi rakyat Palestina.
- Menyalahkan Hamas atas kehancuran Gaza sama saja dengan mengabaikan akar struktural kolonialisme Israel dan politik impunitas yang menyertainya.
- Narasi yang menuding Hamas sebagai penyebab penderitaan warga sipil adalah bentuk logical fallacy jenis causal oversimplification dan victim blaming.
1. Latar Sejarah Kelahiran Hamas
Hamas bukanlah entitas yang muncul dari kekosongan sejarah. Ia lahir pada Desember 1987 di tengah gejolak Intifada Pertama—pemberontakan rakyat Palestina melawan pendudukan Israel yang telah berlangsung sejak 1967. Dalam konteks ini, Hamas merupakan kelanjutan dari tradisi panjang perlawanan rakyat Palestina terhadap kolonialisme, yang telah dimulai sejak awal abad ke-20, ketika Deklarasi Balfour (1917) membuka jalan bagi kolonisasi Zionis di tanah Palestina.
Pendiri Hamas, Syekh Ahmad Yasin, bukan seorang “ekstremis” dalam pengertian Barat, melainkan seorang ulama dan tokoh sosial yang sebelumnya memimpin jaringan amal, pendidikan, dan dakwah melalui Mujamma‘ al-Islami. Organisasi ini aktif dalam membantu rakyat Palestina yang tertindas di bawah pendudukan, membangun sekolah, masjid, dan rumah sakit—sesuatu yang gagal dipenuhi oleh otoritas kolonial maupun lembaga internasional.
Dengan demikian, lahirnya Hamas tidak dapat dilepaskan dari dua faktor utama:
- Kegagalan jalur diplomatik. Setelah dua dekade pendudukan, upaya perundingan yang dilakukan oleh PLO (Palestine Liberation Organization) tidak membawa hasil nyata dalam mengakhiri penjajahan.
- Kekerasan struktural Israel. Penjajahan, perampasan tanah, pembunuhan sipil, dan penghancuran rumah telah menciptakan kondisi sosial yang secara logis memunculkan perlawanan.
Dalam konteks teori politik perlawanan, Hamas dapat dikategorikan sebagai movement of resistance, bukan movement of aggression. Ini sejalan dengan teori Frantz Fanon dalam The Wretched of the Earth, yang menjelaskan bahwa kekerasan kolonial melahirkan kekerasan tandingan yang bersifat reaktif dan bertujuan memulihkan martabat manusia yang terjajah.
2. Hamas sebagai Respons terhadap Kolonialisme Modern
Hamas bukan sekadar kelompok bersenjata; ia merupakan ekspresi sosial dan politik dari trauma kolonial berkepanjangan. Israel bukanlah entitas “negara biasa”, melainkan proyek kolonial pemukim (settler colonial project) yang didirikan melalui pengusiran sistematis terhadap penduduk asli. Fakta sejarah menunjukkan bahwa pada tahun 1948, lebih dari 750.000 warga Palestina diusir dari tanah mereka dalam peristiwa Nakba (bencana).
Sejak saat itu, Gaza menjadi rumah bagi lebih dari dua juta pengungsi, dengan kepadatan penduduk tertinggi di dunia dan kondisi ekonomi yang dikontrol penuh oleh Israel. Blokade total sejak 2007 menjadikan Gaza sebagai “penjara terbuka terbesar di dunia”, sebagaimana diakui oleh berbagai lembaga HAM internasional.
Dalam kondisi seperti ini, kemunculan Hamas tidak bisa dipisahkan dari struktur penindasan yang diciptakan oleh negara pendudukan. Logika yang menyalahkan Hamas atas penderitaan Gaza mengabaikan prinsip dasar kausalitas: bahwa sebab utama kehancuran adalah pendudukan yang menolak kebebasan, bukan perlawanan terhadapnya.
3. Cacat Logika Para Pembenci Hamas
Banyak argumen aktivis pro-Israel atau pihak Barat yang menuding Hamas sebagai biang kehancuran Gaza sesungguhnya bertumpu pada beberapa kesalahan berpikir mendasar (logical fallacies), antara lain:
Fallacy of Causal Oversimplification (Penyederhanaan Sebab).
Mereka menganggap bahwa karena perang melibatkan Hamas, maka Hamas-lah penyebab penderitaan rakyat. Padahal, akar masalahnya adalah sistem pendudukan yang melanggar hukum internasional. Tanpa pendudukan Israel, tidak akan ada perlawanan bersenjata seperti Hamas.
Victim Blaming (Menyalahkan Korban).
Dengan menyalahkan Hamas, mereka sejatinya menyalahkan rakyat Palestina sendiri atas nasib mereka. Padahal, sejarah menunjukkan bahwa pendudukan, blokade, dan agresi Israel mendahului eksistensi Hamas.
Moral Equivalence Fallacy.
Mereka menyamakan tindakan perlawanan rakyat tertindas dengan kekerasan negara penjajah, seolah keduanya memiliki kedudukan moral yang sama. Dalam teori etika politik, hal ini keliru karena kekerasan yang dilakukan dalam konteks perlawanan terhadap penjajahan memiliki legitimasi moral yang berbeda.
Selective Humanitarianism.
Aktivis pro-Israel sering mengutip penderitaan warga sipil Gaza, tetapi menutup mata terhadap fakta bahwa sebagian besar korban adalah akibat bombardemen Israel, bukan aksi perlawanan Hamas. Empati mereka bersyarat: hanya muncul jika dapat digunakan untuk mendiskreditkan perlawanan.
4. Perspektif Hukum Internasional
Dalam hukum internasional, hak untuk melawan pendudukan adalah hak yang sah. Resolusi Majelis Umum PBB Nomor 37/43 tahun 1982 menegaskan bahwa “peoples under colonial and alien domination have the right to struggle by all available means, including armed struggle.”
Artinya, perlawanan terhadap pendudukan tidak dapat secara otomatis dikategorikan sebagai “terorisme”. Tuduhan bahwa Hamas adalah kelompok teroris sering kali bersandar pada definisi politik, bukan definisi hukum universal. Bahkan, banyak akademisi internasional seperti Richard Falk (mantan Pelapor Khusus PBB untuk Palestina) menilai bahwa klasifikasi semacam itu adalah bentuk kriminalisasi terhadap hak pembebasan nasional.
Dengan demikian, menyalahkan Hamas karena melawan pendudukan Israel berarti menolak legitimasi hukum dan moral dari perjuangan kemerdekaan bangsa Palestina itu sendiri.
5. Hamas dan Politik Realitas Gaza
Sejak memenangkan pemilu demokratis pada tahun 2006—yang diakui oleh pengamat internasional sebagai pemilu yang sah—Hamas menjadi otoritas pemerintahan di Gaza. Reaksi Israel dan sekutunya terhadap kemenangan ini justru berupa blokade total, yang menghukum seluruh penduduk Gaza secara kolektif.
Paradoksnya, pihak-pihak yang menuduh Hamas sebagai penyebab penderitaan rakyat Gaza justru mengabaikan fakta bahwa penderitaan itu diperparah oleh sanksi ekonomi, embargo, dan serangan militer yang dilancarkan oleh Israel dan didukung Barat. Ini menunjukkan bahwa penderitaan warga Gaza bukan konsekuensi dari Hamas, melainkan dari kebijakan collective punishment yang dilakukan Israel.
6. Dimensi Etika: Antara Perlawanan dan Kemanusiaan
Dalam etika politik, tidak semua kekerasan memiliki status moral yang sama. Kekerasan penindasan berbeda secara fundamental dengan kekerasan perlawanan. Fanon, Mandela, dan bahkan tokoh-tokoh anti-kolonial Asia-Afrika menegaskan bahwa dalam situasi penjajahan, perlawanan—baik sipil maupun bersenjata—adalah konsekuensi moral dari ketidakadilan yang sistemik.
Hamas, dalam kerangka ini, bukan entitas yang mencintai perang, melainkan entitas yang lahir dari situasi perang yang dipaksakan. Sementara Israel memiliki pilihan untuk menghentikan pendudukan, rakyat Palestina tidak memiliki pilihan selain bertahan atau menyerah. Dan dalam logika moral yang sehat, bertahan melawan ketidakadilan adalah tindakan yang lebih bermartabat.
7. Bias Media dan Pembentukan Persepsi Dunia
Salah satu faktor utama yang memperkuat stigma terhadap Hamas adalah dominasi media Barat dalam membentuk opini global. Dengan framing yang terus-menerus menampilkan Hamas sebagai pelaku kekerasan dan Israel sebagai korban, masyarakat dunia dikondisikan untuk melihat konflik Palestina-Israel secara terbalik.
Analisis konten terhadap media seperti CNN, BBC, dan The New York Times menunjukkan adanya asymmetric framing: ketika warga Israel terbunuh, digunakan kata “murder” atau “attack”, tetapi ketika warga Palestina dibunuh, digunakan istilah “clashes” atau “airstrike response”. Ini bukan sekadar masalah bahasa, melainkan bagian dari perang narasi yang berupaya menghapus konteks kolonial dari konflik.
8. Kesimpulan: Menolak Reduksi, Mengembalikan Konteks
Menyalahkan Hamas atas penderitaan Gaza adalah bentuk pengingkaran terhadap sejarah dan logika moral perlawanan. Hamas bukan penyebab konflik, melainkan gejala dari ketidakadilan yang berakar jauh lebih dalam: kolonialisme, pendudukan, dan pelanggaran hak asasi manusia sistemik oleh Israel.
Aktivis pro-Israel yang menuding Hamas sebagai biang kehancuran Gaza gagal memahami tiga hal fundamental:
Bahwa perlawanan muncul karena pendudukan, bukan sebaliknya.
Bahwa hak melawan penjajahan diakui secara hukum dan moral internasional.
Bahwa empati terhadap korban tidak boleh menghapus konteks struktural penindasan.
Hamas mungkin tidak sempurna—sebagaimana setiap entitas politik manusia tidak pernah sempurna—namun menjadikannya kambing hitam atas penderitaan Palestina adalah tindakan intelektual yang tidak jujur. Kritik yang adil seharusnya tidak memulai dari demonisasi, tetapi dari pengakuan atas ketimpangan kekuasaan yang nyata.
Pada akhirnya, seperti kata Edward Said, “Keadilan bagi Palestina bukanlah hadiah, melainkan hak.” Dan selama hak itu terus ditolak, maka setiap bentuk perlawanan—termasuk yang dilakukan Hamas—harus dipahami bukan sebagai kejahatan, melainkan sebagai jeritan manusia yang menuntut kebebasan.