Notification

×

Iklan

Iklan

Viral! Gaji Guru 3 Bulan Rp 409.000: Potret Buram Kesejahteraan Para Pendidik

Selasa | September 16, 2025 WIB | 0 Views
Viral! Gaji Guru 3 Bulan Rp 409.000: Potret Buram Kesejahteraan Para Pendidik

Fikroh.com - Beberapa hari terakhir jagat maya diramaikan oleh unggahan seorang guru honorer yang menunjukkan slip gaji dengan angka yang mencengangkan: Rp 409.000 untuk tiga bulan kerja. Ada juga versi lain yang menyebut Rp 459.000. Apapun variannya, jumlah tersebut setara dengan sekitar Rp 136 ribu per bulan, angka yang bahkan tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup harian paling dasar.

Unggahan ini sontak memicu gelombang simpati sekaligus kemarahan publik. Bagaimana mungkin, di negara yang bangga dengan jargon “Pendidikan sebagai pilar peradaban”, masih ada guru—yang seharusnya disebut pahlawan tanpa tanda jasa—dibayar dengan upah yang tak layak?

Kasus ini bukan sekadar kisah pribadi seorang guru. Ia adalah cermin buram dari wajah kesejahteraan tenaga pendidik di Indonesia, khususnya mereka yang berstatus honorer atau non-ASN.
 

Realita Guru Honorer: Antara Dedikasi dan Ketidakpastian


Menurut data Kementerian Pendidikan, masih ada ratusan ribu guru honorer yang tersebar di berbagai daerah. Mereka adalah tulang punggung sekolah, terutama di pelosok, tetapi status mereka rapuh. Gaji yang diterima sangat bergantung pada kebijakan sekolah atau pemerintah daerah, seringkali jauh di bawah Upah Minimum Regional (UMR).

Dalam kasus viral ini, disebutkan guru tersebut sudah mengajar lebih dari 10 tahun, dengan beban sekitar 27 jam dalam tiga bulan. Angka jam mengajar yang sedikit inilah yang kerap dijadikan alasan kecilnya honor. Namun, apakah jam mengajar yang terbatas cukup menjadi pembenaran untuk membayar guru hanya Rp 136 ribu per bulan?

Seorang guru bukan sekadar hadir di kelas. Ada waktu untuk menyiapkan materi, memberi penilaian, mendampingi siswa, bahkan membimbing kegiatan ekstrakurikuler. Semua itu seringkali tidak dihitung dalam jam resmi, tetapi nyata menguras tenaga.
 

Ketidakadilan Struktural


Kisah gaji Rp 409 ribu ini menyoroti ketidakadilan struktural yang sudah lama menghantui sistem pendidikan Indonesia. Guru ASN atau PPPK menikmati gaji pokok, tunjangan profesi, dan berbagai fasilitas lain. Sebaliknya, guru honorer bergantung pada anggaran seadanya, yang kadang dibayarkan tidak tepat waktu.

Ironisnya, banyak guru honorer justru lebih rajin hadir dan terlibat aktif di sekolah dibandingkan sebagian guru ASN yang sudah mapan. Dedikasi mereka tidak kalah, tetapi penghargaan yang diterima jauh berbeda.

Pertanyaan kritisnya: mengapa negara masih membiarkan ketimpangan ini berlangsung puluhan tahun? Bukankah anggaran pendidikan di Indonesia setiap tahun mencapai 20% APBN, atau setara ratusan triliun rupiah? Lalu, ke mana sebenarnya dana itu mengalir jika guru masih digaji dengan angka memalukan?
 

Dampak terhadap Kualitas Pendidikan


Mereka yang membela kondisi ini sering berkilah: “Kalau tidak mau, cari pekerjaan lain.” Namun, argumen itu dangkal. Guru adalah kunci kualitas pendidikan. Jika guru diperlakukan tidak manusiawi, bagaimana mungkin kita berharap mereka mendidik anak-anak bangsa dengan sepenuh hati?

Dengan gaji yang minim, guru terpaksa mencari pekerjaan sampingan. Ada yang berjualan, menjadi buruh, bahkan bekerja serabutan untuk menutup kebutuhan rumah tangga. Waktu, tenaga, dan fokus untuk siswa pun terbagi. Akibatnya, kualitas pembelajaran terancam turun.

Lebih jauh lagi, kondisi ini bisa menimbulkan krisis regenerasi. Anak muda yang cerdas dan idealis mungkin enggan menjadi guru jika melihat fakta bahwa profesi ini tidak menjamin kesejahteraan. Dalam jangka panjang, hal ini bisa menjadi bumerang besar bagi masa depan pendidikan Indonesia.
 

Kebijakan yang Setengah Hati


Pemerintah memang sudah berusaha memperbaiki keadaan, misalnya melalui program rekrutmen Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Namun, prosesnya lambat, penuh syarat administratif, dan kuotanya terbatas. Banyak guru honorer senior yang sudah puluhan tahun mengajar gagal lolos karena terbentur aturan.

Sementara itu, sekolah tetap membutuhkan tenaga pengajar. Akibatnya, status honorer dipertahankan. Pemerintah daerah dan sekolah pun kerap berdalih bahwa anggaran terbatas, sehingga honorarium guru non-ASN tidak bisa dinaikkan.

Padahal, jika pemerintah serius, setidaknya ada standar gaji minimum untuk semua guru, apapun statusnya. Jangan biarkan ada guru yang digaji lebih rendah daripada buruh harian lepas.
 

Krisis yang Terus Berulang


Kasus gaji Rp 409 ribu sejatinya bukan cerita baru. Beberapa tahun lalu, kisah serupa juga viral: guru honorer yang hanya menerima Rp 300 ribu per bulan, atau yang bekerja puluhan tahun tanpa kepastian status. Setiap kali viral, pemerintah sibuk memberi klarifikasi, menjanjikan perbaikan, tetapi kenyataan di lapangan tidak banyak berubah.

Krisis ini terus berulang karena politik pendidikan di Indonesia lebih banyak bicara soal kurikulum, ujian, dan proyek digitalisasi, sementara nasib guru honorer dibiarkan menggantung. Padahal, sehebat apapun kurikulum, tanpa guru yang sejahtera, hasilnya akan jauh dari maksimal.
 

Tuntutan Publik


Viralnya kasus ini menunjukkan bahwa publik sudah semakin jengah. Ada beberapa tuntutan yang mengemuka:
  • Pemerintah pusat dan daerah wajib menetapkan standar honor minimum bagi guru honorer, yang setidaknya setara dengan UMR.
  • Transparansi anggaran pendidikan, agar jelas kemana larinya dana 20% APBN.
  • Percepatan pengangkatan PPPK dengan aturan yang lebih manusiawi, sehingga guru senior tidak tersisih oleh syarat administratif yang kaku.
  • Reformasi manajemen sekolah, termasuk distribusi anggaran yang adil untuk kesejahteraan tenaga pendidik.
 

Penutup: Saatnya Jujur pada Pendidikan


Kasus gaji Rp 409 ribu untuk tiga bulan hanyalah satu contoh, tetapi ia mengguncang kesadaran publik. Betapa timpang kondisi pendidikan kita: di satu sisi kita bangga dengan jargon “Generasi Emas 2045”, tetapi di sisi lain masih memperlakukan guru dengan upah yang tidak manusiawi.

Jika guru—orang yang kita percayakan mendidik generasi penerus—tidak dihargai secara layak, maka cita-cita membangun bangsa cerdas hanyalah mimpi kosong.

Pemerintah perlu berhenti mengobral janji dan mulai menunjukkan keberpihakan nyata. Karena ketika seorang guru dipaksa bertahan hidup dengan Rp 136 ribu per bulan, sebenarnya bukan hanya ia yang dirugikan, tetapi juga masa depan anak-anak bangsa.

Sumber artikel: Fikroh.com
×
Berita Terbaru Update