Fikroh.com - Dewan Revolusi Mesir telah mengeluarkan putusan berat terhadap para pemimpin Ikhwanul Muslimin: satu orang dihukum kerja paksa seumur hidup, dan enam orang lainnya dijatuhi hukuman gantung. Kabar-kabar menyebar bahwa Ikhwan diduga merencanakan pemberontakan, dengan senjata-senjata gelap disita di berbagai tempat. Pengaruh Ikhwan ternyata cukup besar, terutama di kalangan Angkatan Laut dan Darat. Akibatnya, organisasi ini dibubarkan, markas besarnya dibakar bersama arsip-arsipnya, dan aset-asetnya disita untuk digabungkan ke dalam harta negara. Rezim militer di bawah kepemimpinan Jamal Abdul Nasser membentuk “Barisan Revolusi” untuk menggembleng rakyat Mesir guna mencapai tujuan politik mereka.
Sikap Terakhir Rezim Militer
Tindakan keras terhadap Ikhwanul Muslimin merupakan langkah terakhir setelah rezim militer menyingkirkan pihak-pihak yang dianggap menghalangi ambisi mereka untuk memegang kekuasaan penuh. Rasjad Mahna, tokoh populer di kalangan militer, dipenjara. Jenderal Nadjib disingkirkan. Kekuasaan di Mesir kini sepenuhnya berada di tangan rezim militer. Kebebasan pers sangat dibatasi, semua suara oposisi dibungkam. Siapa pun yang berani mengkritik pemerintah, meski sekadar melalui khutbah di masjid seperti di Masjid Raudhah, akan menghadapi represi keras. Revolusi Mesir yang awalnya membawa harapan kini berubah menjadi pemerintahan diktator yang kejam, membuat Mesir semakin jauh dari simpati umat Islam dan negara-negara Islam lainnya.
Dampak Hukuman terhadap Ikhwan
Hukuman gantung terhadap enam pemimpin Ikhwan mengguncang hati umat Islam di seluruh dunia. Reaksi keras dari komunitas Islam global menunjukkan betapa besar pengaruh ajaran Ikhwan dalam membangkitkan semangat kebangkitan Islam modern. Selama 25 tahun, Ikhwan telah bekerja keras menyebarkan cita-cita Islam. Jika bukan karena visi besar mereka, Ikhwan tidak akan bertahan dan berkembang di tengah berbagai pengorbanan yang mereka hadapi.
Pengorbanan pertama datang dari pendiri Ikhwan, Syaikh Hasan Al Banna, yang dibunuh pada 1949 di masa pemerintahan Raja Farouk. Setelah pembunuhan itu, Ikhwan dibubarkan, ribuan pengikutnya ditangkap dan dikirim ke kamp konsentrasi di Thur. Ketika Buya HAMKA mengunjungi Mesir pada 1950, ia melihat sendiri rumah-rumah Ikhwan yang disegel. Baru pada 1952, di bawah pemerintahan Wafd, Ikhwan dibebaskan dan dinyatakan tidak bersalah. Ketika Revolusi Mesir terjadi, Ikhwan memberikan dukungan besar, namun mereka tidak pernah ragu mengkritik jika melihat penyimpangan dalam revolusi tersebut.
Ikhwan Tetap Bersuara
Ikhwan tidak bisa diam melihat kesalahan dalam jalannya revolusi. Beberapa kali mereka menegur Dewan Revolusi, termasuk melalui Syaikh Al Abaquri, salah satu pemimpin Ikhwan yang sempat duduk di kabinet revolusi. Meski semua partai politik dibubarkan, Ikhwan tetap bertahan karena mereka bukan sekadar organisasi politik, melainkan gerakan keagamaan Islam yang tidak memisahkan antara urusan sosial dan politik. Cita-cita mereka adalah menegakkan kebenaran Islam dan hukum-hukum Allah di muka bumi.
Bagi Dewan Revolusi yang dikuasai militer muda, Ikhwan dianggap sebagai ancaman besar. Dengan pers yang dibungkam dan kebebasan berbicara dikekang, sulit untuk menekan pengaruh Ikhwan yang telah mengakar di kalangan pelajar, tentara, petani, dan buruh. Ketegangan mencapai puncaknya ketika Mesir menandatangani perjanjian dengan Inggris terkait penarikan pasukan dari Terusan Suez. Perjanjian itu menyebutkan bahwa Inggris berhak kembali menduduki Terusan Suez jika terjadi perang dunia ketiga, sebuah klausul yang ditentang keras oleh Ikhwan karena dianggap merusak kedaulatan Mesir dan menunjukkan pengaruh Barat, terutama Inggris dan Amerika.
Tuduhan dan Represi terhadap Ikhwan
Di tengah situasi di mana pers dibungkam, parlemen tidak berfungsi, dan suara rakyat dikekang, hanya Ikhwan yang berani mengkritik perjanjian tersebut sebagai representasi aspirasi rakyat Mesir. Akibatnya, mereka dituduh anti-revolusi, berkolusi dengan komunis, nasionalis, dan lain-lain. Propaganda negatif terhadap Ikhwan disebarkan untuk mencoreng citra mereka. Tuduhan puncaknya adalah bahwa Ikhwan berencana menggulingkan pemerintahan dan menyimpan senjata gelap. Bahkan, sebuah insiden di mana seseorang dituduh mencoba membunuh Jamal Abdul Nasser dengan delapan tembakan—yang semuanya meleset—dikatakan sebagai ulah Ikhwan.
Kesempatan ini dimanfaatkan untuk menangkap para pemimpin Ikhwan dan mengadili mereka di pengadilan yang dikendalikan oleh Dewan Revolusi sendiri. Hasilnya, tujuh orang awalnya dijatuhi hukuman gantung, meski hukuman Syaikh Hudaiby, Mursyid Ikhwan, diubah menjadi kerja paksa seumur hidup setelah reaksi keras dari dunia Islam. Ikhwan kembali dibubarkan, anggotanya diburu, ditangkap, dan diadili tanpa saksi. Bahkan, ulama Al-Azhar mengeluarkan fatwa bahwa Ikhwan adalah murtad, memberikan pembenaran bagi tindakan represi tersebut. Dengan demikian, Dewan Revolusi merasa bebas bertindak tanpa hambatan, karena siapa pun yang menentang bisa dituduh sebagai bagian dari Ikhwan dan dihukum sesuka hati.
Cita-cita Ikhwan yang Tak Padam
Namun, apakah represi ini akan memadamkan cita-cita Ikhwan? Sebuah visi besar selalu menuntut pengorbanan. Ketika Abdul Kadir Audah menerima hukuman gantung, ia tersenyum, karena baginya, kematian fisik bukanlah akhir dari perjuangan. Ikhwan adalah simbol kebangkitan Islam setelah berabad-abad umat Islam terpuruk di bawah dominasi Barat. Mereka menjadi pelopor penggalian kembali cita-cita Islam di tengah dunia yang penuh ideologi-ideologi asing.
Meski di Mesir Ikhwan dapat dilumpuhkan oleh kekuatan militer dan kediktatoran, sebagai sebuah cita-cita, Ikhwan telah menyebar ke seluruh dunia. Gagasan mereka terdapat dalam karya-karya Hasan Al Banna, Hasan Al Hudaiby, Abdul Kadir Audah, Muhammad Al Ghazali, Sayyid Qutb, dan lainnya, yang telah dibaca oleh umat Islam di berbagai belahan dunia, dari Suriah, Irak, Palestina, hingga Indonesia. Cita-cita Ikhwan menginspirasi perjuangan umat Islam di Thailand, Filipina, Burma, Pakistan, Tunisia, Maroko, Aljazair, dan banyak lagi. Bahkan di Indonesia, semangat Ikhwan terasa dalam perjuangan organisasi seperti Masyumi, NU, Partai Syarikat Islam, dan Muhammadiyah.
Ikhwan bukanlah partai politik, melainkan gerakan kebangkitan Islam yang telah menanamkan semangat baru di hati umat. Meski di Mesir mereka dihancurkan, itu hanya menghancurkan simbol, bukan esensi cita-cita mereka. Jamal Abdul Nasser dan Dewan Revolusinya mungkin berhasil untuk sementara, tetapi sebuah gerakan yang tidak berlandaskan cita-cita sejati akan runtuh, sementara visi besar Islam akan terus tumbuh. Satu langkah pun tidak akan mampu menghentikan kebangkitan ini. Pada waktunya, Tuhan akan menunjukkan kebesaran-Nya, dan cita-cita Ikhwan akan kembali hidup di hati setiap umat Islam di Mesir dan dunia.
*)Ditulis ulang berdasarkan catatan Buya HAMKA di Majalah Hikmah, 11 Desember 1954, rubrik Luar Negeri – Dunia Islam. Sumber: JejakIslam. net.
Posting Komentar