Notification

×

Iklan

Iklan

Untuk Madridistas Muslim, Ingatlah Sejarah Ini

Minggu | September 14, 2025 WIB | 0 Views
Untuk Madridistas Muslim, Ingatlah Sejarah Ini

Fikroh.com - Di tengah gegap gempita dunia olahraga, khususnya sepak bola, kita sering mendengar ungkapan sederhana namun penuh fanatisme: “Saya pendukung Real Madrid!” atau “Saya pendukung Barcelona!”. Sebuah pernyataan yang sekilas tampak biasa, sebatas hiburan, bahkan mungkin terasa wajar di kalangan anak muda. Akan tetapi, jika kita mau merenung lebih dalam, ungkapan tersebut menyimpan persoalan besar terkait identitas, arah hati, dan keberpihakan seorang Muslim.
 

Luka Andalusia dan Ingatan Sejarah


Sejarah panjang kaum Muslimin di Andalusia (Spanyol) adalah salah satu catatan paling menyedihkan dalam perjalanan peradaban Islam. Setelah berabad-abad Islam membawa cahaya ilmu, peradaban, dan kedamaian di semenanjung Iberia, akhirnya wilayah itu jatuh ke tangan kekuatan Kristen pada akhir abad ke-15. Tragedi itu tidak hanya berupa kehilangan wilayah, tetapi juga disertai penyiksaan yang amat kejam terhadap kaum Muslimin.

Salah satu bentuk penyiksaan paling mengerikan di masa Mahkamah Inkuisisi Spanyol adalah penggunaan gergaji sebagai alat penyiksa. Korban digantung terbalik dengan kaki terentang, lalu tubuhnya digergaji pelan-pelan dari bawah ke atas. Posisi terbalik itu dipilih agar darah terkumpul di kepala sehingga korban tetap sadar penuh, merasakan setiap detik penderitaan saat tubuhnya terbelah dua.

Bayangkan, terkadang gergaji itu sudah menembus perut, namun korban masih hidup, masih sadar, masih melihat tubuhnya sendiri perlahan dipisahkan menjadi dua bagian. Inilah bukti betapa kejamnya perlakuan terhadap kaum Muslimin saat itu.

Mengingat kembali sejarah kelam ini seharusnya membuat kita lebih berhati-hati dalam memandang budaya Barat modern, termasuk dunia sepak bola yang kini menjadi tontonan global.
 

Hiburan atau Kekaguman Buta?


Sepak bola pada dasarnya hanyalah sebuah olahraga. Tidak ada yang salah dengan berolahraga atau menikmati pertandingan sebagai hiburan. Namun persoalan muncul ketika hiburan berubah menjadi kekaguman buta dan fanatisme terhadap klub-klub asing, yang sejatinya berdiri di atas nilai-nilai yang bertentangan dengan Islam.

Banyak klub sepak bola besar di Eropa yang menjadikan salib sebagai bagian dari identitas mereka. Logo, seragam, bahkan yel-yel kemenangan kerap sarat dengan simbol agama lain. Ketika seorang Muslim dengan bangga mengenakan atribut itu, sejatinya ia sedang membawa simbol keyakinan yang tidak sesuai dengan aqidahnya.

Lebih dari itu, sering kita lihat bagaimana para pemain non-Muslim melakukan simbol trinitas di depan kamera, berulang kali, di hadapan dunia. Lalu jutaan penggemar Muslim bersorak gembira, mendukung penuh, bahkan merasa bangga atas kemenangan mereka. Bukankah ini bentuk kontradiksi besar dalam identitas keislaman kita?
 

Sikap Para Ulama Salaf


Para ulama terdahulu sangat menjaga kejernihan hati dan pandangan mereka dari sesuatu yang berpotensi melemahkan iman. Diriwayatkan bahwa Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah, seorang ulama besar, ketika melihat seorang Yahudi atau Nasrani, beliau menutup matanya seraya berkata:

"Janganlah kalian mengambil dariku dalam hal ini. Aku tidak mendapatkannya dari seorang pun sebelumku. Akan tetapi aku tidak sanggup memandang wajah orang yang berdusta atas nama Allah."

Lihatlah bagaimana keteguhan iman para ulama. Mereka bukan sekadar menolak perilaku yang jelas haram, tetapi bahkan menjaga hati dari sekadar rasa simpati yang berlebihan kepada pemeluk agama lain. Maka bagaimana dengan kondisi kita sekarang, yang justru berjuang keras mendukung orang kafir agar mereka menang, entah dalam Liga Champions, Piala Eropa, atau bahkan dalam perebutan Ballon d’Or (Bola Emas)?
 

Fanatisme Buta, Normalisasi Terselubung


Mendukung klub-klub besar Eropa dengan dalih sekadar hobi sepak bola, tanpa memikirkan nilai-nilai yang dibawanya, sejatinya merupakan bentuk normalisasi terselubung. Kita membiarkan diri larut dalam sistem hiburan global yang sedikit demi sedikit mengikis kecintaan kita terhadap identitas Islam.

Apalagi jika dukungan itu berubah menjadi fanatisme. Berteriak histeris, menangis saat tim kalah, bersorak gembira berlebihan saat tim menang, hingga rela menghabiskan banyak harta demi membeli jersey asli yang sarat dengan simbol asing. Semua ini menunjukkan bagaimana hati kita mulai condong, bukan lagi kepada kemuliaan umat Islam, tetapi kepada popularitas dunia Barat.
 

Lalu, Di Mana Letak Jalan Kemenangan?


Allah telah mengajarkan kepada kita sebab-sebab kemenangan. Ia tidak akan diraih dengan meniru gaya hidup orang kafir, apalagi dengan memuliakan mereka. Kemenangan akan datang bila kita kembali kepada agama, memperbaiki ibadah, menegakkan syariat, dan menjaga aqidah dari segala bentuk penodaan.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِذَّا ضَنٌ النَّاسُ بِالدِّنَارِ وَالدِّرْهَمِ وَتَبَايَعُوا بِلعِيْنَةِ وَتَبِعُوآ اَذْبَابَ البَقَرِ وَتَرَكُوا الجِهَادَ فِيْ سَبِيلِ اللٌهِ، اَدْخَلَ اللّهُ تَعَالَي عَلَيْهِمْ ذُلّاً لَايَرْفَعُهُ عَنْهُمْ حَتَّي يُرَاجِعُ دِيْنَهُمْ

"Jika kalian melakukan transaksi riba, mengikuti ekor sapi (sibuk dengan dunia), dan meninggalkan jihad, maka Allah akan menimpakan kehinaan kepada kalian. Dan kehinaan itu tidak akan dicabut hingga kalian kembali kepada agama kalian." (HR. Abu Dawud)

Hadis ini jelas menggambarkan bahwa kemenangan tidak bisa diperoleh dengan mengidolakan dunia Barat. Justru kita akan semakin terpuruk jika terus larut dalam budaya mereka yang seringkali bertentangan dengan syariat.
 

Jalan Tengah: Boleh Menikmati, Tapi Jangan Terseret


Bukan berarti seorang Muslim sama sekali tidak boleh menonton sepak bola. Hiburan tetap dibolehkan selama tidak melalaikan ibadah dan tidak membawa kepada hal-hal haram. Namun yang perlu digarisbawahi adalah sikap hati kita.

Jika menonton sekadar hiburan, sekadar mengagumi keindahan permainan, tanpa fanatisme berlebihan, tanpa mengenakan simbol-simbol asing, dan tanpa mengorbankan waktu ibadah—maka insya Allah tidak masalah. Tetapi jika sudah sampai tahap fanatik membabi buta, membela mati-matian klub asing, hingga melupakan identitas Islam, maka saat itulah kita harus berhenti dan bermuhasabah.
 

Kembali ke Identitas Sejati


Umat Islam memiliki identitas yang jauh lebih mulia daripada sekadar menjadi penggemar sebuah klub bola. Kita adalah umat terbaik yang Allah keluarkan untuk manusia, yang tugasnya menegakkan kebenaran dan mencegah keburukan. Kita memiliki sejarah besar, peradaban agung, dan panutan sejati dalam sosok Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Maka tidak sepantasnya kita larut dalam kebanggaan semu terhadap klub asing. Identitas kita bukanlah “Madridista” atau “Culé”. Identitas kita adalah Muslim, hamba Allah, umat Nabi Muhammad.
 

Penutup


Sejarah Andalusia mengingatkan kita betapa kejamnya perlakuan musuh terhadap kaum Muslimin. Maka sungguh ironis bila hari ini, ratusan tahun kemudian, sebagian kaum Muslim justru bangga mengibarkan bendera musuh, mengenakan simbol mereka, dan bersorak atas kemenangan mereka.

Sudah saatnya kita membuka mata. Hiburan boleh saja, tetapi jangan sampai mengikis aqidah. Kegembiraan boleh dirasakan, tetapi jangan sampai melupakan jati diri. Jalan menuju kemenangan umat bukanlah dengan mengidolakan Barat, tetapi dengan kembali pada agama, memperkuat iman, dan memurnikan loyalitas hanya kepada Allah dan Rasul-Nya.

“Di manakah sebab-sebab kemenangan itu?” Jawabannya jelas: dalam iman, ibadah, dan keteguhan kita memegang identitas Islam.
×
Berita Terbaru Update