Mengapa negara kecil dengan penduduk tidak lebih dari 120 ribu jiwa ini berani mengambil sikap berbeda dari mayoritas dunia? Mari kita mengenal lebih dekat siapa Micronesia, mengapa mereka sering menolak resolusi terkait Palestina, dan apa dampaknya bagi politik internasional.
Siapa Itu Micronesia?
Federated States of Micronesia (FSM), atau Mikronesia, adalah sebuah negara kepulauan di Samudra Pasifik barat. Terdiri dari empat negara bagian utama — Yap, Chuuk, Pohnpei, dan Kosrae — dengan lebih dari 600 pulau kecil yang tersebar di lautan.Meski luas wilayah lautannya besar, total daratan FSM hanyalah sekitar 700 km², bahkan lebih kecil daripada luas Jakarta. Jumlah penduduknya pun tidak sampai 200 ribu jiwa. Dari sisi ekonomi, Micronesia sangat bergantung pada perikanan, pariwisata skala kecil, dan terutama bantuan luar negeri.
Sejak merdeka dari Amerika Serikat pada 1986, FSM memiliki hubungan istimewa dengan Washington lewat perjanjian bernama Compact of Free Association (COFA). Perjanjian ini membuat AS bertanggung jawab atas pertahanan FSM, sekaligus memberikan bantuan ekonomi dan akses istimewa bagi warga FSM untuk tinggal, sekolah, dan bekerja di Amerika. Sebagai imbalannya, FSM memberikan hak militer tertentu kepada AS di wilayahnya. Hubungan khusus inilah yang menjadi kunci memahami sikap politik luar negeri Micronesia.
Micronesia di Panggung PBB
Di Majelis Umum PBB, setiap negara — besar maupun kecil — memiliki satu suara. Suara Micronesia memiliki bobot yang sama dengan suara Indonesia, India, bahkan Amerika Serikat. Karena itu, sekalipun negara kecil, sikap Micronesia tetap diperhitungkan.Yang membuat menarik, FSM sering muncul dalam daftar negara penolak resolusi terkait Palestina. Contohnya:
- Pada resolusi tentang “penyelesaian damai masalah Palestina”, FSM bersama Amerika Serikat dan Israel memilih menolak, sementara lebih dari 150 negara mendukung.
- Pada pemungutan suara tentang perluasan hak Palestina di PBB, FSM juga masuk kelompok kecil negara yang berkata “tidak”.
- Bahkan dalam beberapa isu kemanusiaan yang dianggap netral sekalipun, FSM kerap mengikuti garis kebijakan AS dan Israel.
Mengapa Micronesia Menolak?
Ada beberapa alasan utama yang menjelaskan sikap Micronesia:
1. Kedekatan dengan Amerika Serikat
FSM memiliki hubungan yang sangat erat dengan AS. Bantuan ekonomi dari Washington menyumbang porsi besar dalam anggaran nasional FSM. Dalam politik luar negeri, FSM hampir selalu sejalan dengan kebijakan AS, termasuk dalam isu Timur Tengah. Menolak resolusi yang dinilai “merugikan Israel” adalah bagian dari konsistensi mengikuti sekutu utamanya.2. Dukungan Diplomatik dan Keamanan
Sebagai negara kecil yang rentan secara geografis dan ekonomi, FSM mengandalkan perlindungan militer AS. Dukungan politik di PBB bisa menjadi cara mereka menjaga hubungan baik. Dengan kata lain, menolak resolusi tentang Palestina bisa dilihat sebagai “tanda loyalitas” kepada AS dan sekutunya.3. Pertimbangan Teks Resolusi
Beberapa laporan menyebutkan bahwa negara-negara Pasifik kecil, termasuk FSM, kadang menilai resolusi-resolusi PBB terlalu berpihak atau tidak seimbang. Meski mayoritas dunia melihat resolusi itu sebagai dukungan kemanusiaan, FSM memilih menolak karena menganggap klausul tertentu bisa menimbulkan bias atau ketidakadilan bagi Israel.4. Faktor Ideologis dan Simbolik
Ada pula yang menilai bahwa sebagian elite politik FSM melihat dukungan pada Israel sebagai bagian dari identitas politik luar negeri mereka. Dengan populasi mayoritas Kristen, ada dimensi simbolik tersendiri dalam menempatkan diri “di sisi Israel”.Dampak Sikap Micronesia
Meski kecil, pilihan FSM untuk menolak resolusi Palestina membawa beberapa konsekuensi:- Sorotan Publik Internasional
- Hubungan Baik dengan Barat
Sebaliknya, sikap ini memperkuat hubungan FSM dengan AS, Israel, dan sekutu Barat lainnya. Dalam diplomasi, loyalitas seperti ini bisa dibalas dengan bantuan finansial, teknis, maupun politik.
- Tantangan Citra Global
FSM sering dianggap sebagai negara “pengikut” kebijakan AS, bukan sebagai aktor independen. Citra ini bisa melemahkan posisi mereka di mata sebagian negara berkembang yang mendukung Palestina.
Ironi Negara Kecil di Panggung Besar
Keputusan Micronesia sering menimbulkan perdebatan. Bagaimana mungkin negara sekecil FSM, dengan jumlah penduduk setara sebuah kota kecil, ikut menolak aspirasi rakyat Palestina yang jumlahnya jutaan? Apakah suara FSM benar-benar mewakili kepentingan nasional mereka, atau sekadar mengikuti arahan sekutu besar?Namun di sinilah uniknya sistem PBB: setiap negara, besar atau kecil, kaya atau miskin, punya suara yang sama. FSM memanfaatkan haknya untuk bersuara sesuai kepentingan strategisnya, meski itu berseberangan dengan mayoritas dunia.
Kesimpulan: Pelajaran dari Micronesia
Micronesia adalah contoh nyata bagaimana politik internasional bekerja. Keputusan mereka menolak resolusi damai PBB tentang Palestina bukan hanya soal suka atau tidak suka, tetapi menyangkut ketergantungan ekonomi, hubungan strategis, dan pilihan ideologis.Meski negara ini kecil dan jauh dari Timur Tengah, posisinya di PBB menunjukkan bahwa dalam dunia diplomasi, ukuran bukan segalanya. Suara Micronesia bisa memberi legitimasi tambahan bagi sekutu-sekutunya, sekaligus menambah warna dalam perdebatan global.
Bagi publik dunia, terutama di negara-negara Muslim, sikap FSM menjadi pengingat bahwa perjuangan Palestina bukan hanya soal politik regional, tetapi juga pertarungan pengaruh global yang melibatkan negara-negara dari berbagai penjuru bumi — bahkan yang letaknya ribuan kilometer jauhnya, di tengah Samudra Pasifik.

