Menimbang Pro dan Kontra Pernyataan Presiden Indonesia tentang Solusi Dua Negara dalam Konflik Israel-Palestina
Fikroh.com - Konflik Israel-Palestina merupakan salah satu konflik internasional paling kompleks dan berkepanjangan dalam sejarah modern. Konflik ini tidak hanya berakar pada persoalan perebutan wilayah, tetapi juga menyangkut identitas, kedaulatan, dan hak asasi manusia yang hingga kini belum menemukan titik temu. Di tengah eskalasi kekerasan yang berulang, serta krisis kemanusiaan yang terus meluas, komunitas internasional kerap mengajukan berbagai formula penyelesaian. Salah satu gagasan yang paling sering muncul adalah two-state solution atau solusi dua negara.
Baru-baru ini, Presiden Indonesia secara resmi menyampaikan dukungan terhadap two-state solution sebagai mekanisme penyelesaian yang dianggap layak untuk dicoba. Pernyataan ini, di satu sisi, konsisten dengan garis besar politik luar negeri Indonesia yang selama ini berpihak kepada Palestina. Namun di sisi lain, sikap tersebut menandai penyesuaian terhadap dinamika percakapan global terkait isu Timur Tengah. Tidak mengherankan apabila pernyataan tersebut memantik perdebatan luas di dalam negeri: sebagian menilai dukungan ini sebagai langkah konstruktif menuju perdamaian, sementara sebagian lainnya menilainya sebagai bentuk kompromi terhadap praktik penjajahan Israel.
Argumen Pendukung Solusi Dua Negara
Dukungan terhadap two-state solution sering dikaitkan dengan penghormatan terhadap prinsip penentuan nasib sendiri (self-determination). Dalam perspektif hukum internasional, gagasan ini selaras dengan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa yang menegaskan hak setiap bangsa untuk menentukan masa depannya secara merdeka dan berdaulat. Dengan adanya dua negara yang berdiri sejajar, baik Israel maupun Palestina diasumsikan dapat mengatur politik, ekonomi, serta struktur sosial mereka tanpa intervensi pihak eksternal.
Selain itu, two-state solution dipandang sebagai jalan menuju penghentian siklus kekerasan yang telah berlangsung selama beberapa dekade. Para pendukungnya percaya bahwa apabila kedua pihak serius melaksanakan kesepakatan politik, maka ruang untuk membangun kembali infrastruktur, pendidikan, dan layanan kesehatan dapat terbuka tanpa ancaman militer berkelanjutan.
Bagi Indonesia sendiri, dukungan terhadap two-state solution juga memiliki dimensi diplomatik yang signifikan. Sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia, Indonesia memiliki posisi simbolik yang kuat ketika berbicara mengenai Palestina. Dukungan terhadap gagasan dua negara tidak hanya mencerminkan solidaritas moral, tetapi juga memperkuat citra diplomatik Indonesia sebagai aktor global yang berkomitmen pada perdamaian, keadilan, dan stabilitas internasional.
Kritik terhadap Solusi Dua Negara
Meskipun secara teoritis menjanjikan keadilan, implementasi two-state solution kerap dipandang problematis. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa Israel secara konsisten memperluas permukiman ilegal di Tepi Barat, merampas tanah milik warga Palestina, dan mempertahankan blokade ketat atas Jalur Gaza. Persoalan fundamental seperti batas wilayah, status Yerusalem, serta hak kepulangan jutaan pengungsi Palestina masih jauh dari kata selesai.
Ketimpangan kekuatan antara Israel dan Palestina juga memperlemah realisasi gagasan ini. Israel didukung penuh oleh kekuatan militer serta legitimasi politik dari Amerika Serikat, sementara Palestina terfragmentasi oleh perpecahan internal antara Fatah dan Hamas. Ketidakseimbangan ini menimbulkan skeptisisme bahwa negosiasi dua negara justru berpotensi mengabadikan dominasi Israel atas Palestina, dengan bungkus wacana perdamaian.
Lebih jauh, sejumlah akademisi dan aktivis mengkhawatirkan bahwa two-state solution pada akhirnya akan melegitimasi hasil pendudukan. Dengan membagi wilayah berdasarkan status quo yang timpang, Palestina hanya memperoleh sisa-sisa tanah yang terpecah, sementara Israel tetap menguasai sebagian besar sumber daya strategis. Dalam kerangka ini, solusi dua negara dapat dianggap sebagai pengakuan terselubung atas pelanggaran hukum internasional yang telah berlangsung selama puluhan tahun.
Dimensi Geopolitik dan Peran Indonesia
Kompleksitas konflik Israel-Palestina tidak dapat dilepaskan dari intervensi aktor eksternal. Amerika Serikat, Iran, Turki, serta sejumlah negara Arab kerap menempatkan kepentingan politik dan ekonomi mereka dalam setiap perundingan. Hal ini seringkali memperlambat proses negosiasi dan mengaburkan substansi penyelesaian yang adil bagi rakyat Palestina.
Dalam konteks ini, posisi Indonesia menjadi penting. Meskipun tidak memiliki hubungan diplomatik dengan Israel, Indonesia memiliki legitimasi moral untuk tetap kritis terhadap segala bentuk penjajahan. Dengan demikian, dukungan terhadap two-state solution seharusnya tidak berhenti pada retorika damai, melainkan diikuti oleh langkah konkret seperti peningkatan bantuan kemanusiaan bagi Palestina, diplomasi aktif melalui Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) maupun PBB, serta desakan global terhadap penghentian pembangunan permukiman ilegal Israel.
Penutup
Dapat disimpulkan bahwa sikap Indonesia dalam mendukung two-state solution pada dasarnya dilandasi oleh niat tulus untuk mendorong perdamaian di Timur Tengah. Namun, dalam kenyataan yang penuh ketidakadilan struktural, solusi dua negara tidak dapat dianggap sebagai jawaban final. Tanpa pengakuan atas hak kepulangan pengungsi Palestina, tanpa penghentian blokade Gaza, dan tanpa pengembalian tanah yang dirampas, gagasan ini berpotensi menjadi sekadar legitimasi penjajahan dengan wajah baru.
Oleh karena itu, Indonesia dituntut untuk memainkan peran lebih kritis: bukan hanya sebagai penyeru perdamaian, tetapi sebagai penjaga nurani dunia yang menegaskan bahwa perdamaian sejati tidak mungkin terwujud di atas fondasi ketimpangan, pendudukan, dan pelanggaran hak asasi manusia yang terus berlanjut.