Fikroh.com - Air Zamzam merupakan salah satu karunia terbesar yang Allah ﷻ anugerahkan kepada umat manusia, khususnya kaum Muslimin. Ia muncul sebagai mukjizat doa Nabi Ibrahim ‘alaihissalām dan ikhtiar Hajar, ibunda Nabi Ismā‘īl, ketika berlari-lari kecil antara Shafā dan Marwah. Keberadaan air ini telah berlangsung ribuan tahun, tidak pernah kering, dan senantiasa menjadi sumber kehidupan sekaligus keberkahan.
Banyak riwayat yang menegaskan keistimewaan Zamzam. Rasulullah ﷺ bersabda:
«إِنَّهَا مُبَارَكَةٌ، إِنَّهَا طَعَامُ طُعْمٍ»
“Sesungguhnya air Zamzam itu penuh berkah, ia adalah makanan yang mengenyangkan.” (HR. Muslim)
Pertanyaan:
Aku pernah membaca bahwa keberkahan itu ada dua macam: maknawiyah (bersifat makna) dan dzātiyah yang bisa berpindah. Disebutkan bahwa keberkahan air Zamzam adalah maknawiyah. Namun aku heran ketika mendengar sebagian masyayikh mengatakan bahwa boleh mandi dengan air Zamzam. Dengan demikian seakan-akan kita menjadikannya sebagai keberkahan dzātiyah yang bisa berpindah, sehingga aku menjadi bingung. Apakah boleh misalnya aku mencuci pakaian dengan air Zamzam dengan tujuan mencari keberkahannya? Ataukah berwudhu dengannya dengan maksud mencari berkahnya? Atau mengusap tubuhku dengannya dengan tujuan mencari keberkahannya tanpa harus meminumnya?”
Segala puji hanya milik Allah, shalawat dan salam semoga tercurah kepada Rasulullah. Amma ba’du:
Pertama:
Pertama:
Asal makna barakah (berkah) adalah tambahan dan pertumbuhan. Lihat Maqāyīs al-Lughah (1/230), dan Lisān al-‘Arab (10/395).
Maka makna bahwa Allah memberkahi sesuatu ialah bahwa Allah Ta‘ala menjadikan sesuatu itu sebagai sebab yang mendatangkan tambahan kebaikan dan manfaat bagi hamba-hamba-Nya. Kebaikan ini bisa bersifat agama (diniyyan) maupun duniawi (dunyāwiyyan). Sebagaimana ditegaskan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmū‘ al-Fatāwā (27/44):
"البركة تتناول البركة في الدين، والبركة في الدنيا"
“Berkah mencakup keberkahan dalam agama dan keberkahan dalam urusan dunia.”
Keberkahan dalam dua bentuknya, baik agama maupun dunia, dapat bersifat hissiyyah (terindra, nyata) maupun ma‘nawiyyah (abstrak, maknawi). Untuk penjelasan lebih luas, lihat: al-Tabarruk Anwā‘uhu wa Ahkāmuhu karya Nāshir al-Jadi‘ (hlm. 43).
Adapun pembagian berkah kepada ma‘nawiyyah ghayru muntaliqah (tidak berpindah) dan dzātiyyah muntaliqah (berpindah), kemudian membatasi kategori terakhir hanya pada tubuh Nabi ﷺ, maka ini bukanlah pembagian yang masyhur di kalangan ulama.
Allah Ta‘ala telah memberkahi sebagian tempat seperti Makkah dan Madinah, sebagian waktu seperti Lailatul Qadar, sebagian makanan seperti sahur, memberkahi air Zamzam, sebagian makhluk seperti kurma, kuda, hujan; serta menjadikan al-Qur’an sebagai kitab yang penuh berkah. Semua itu Allah nyatakan dalam wahyu-Nya atau dijelaskan melalui sabda Rasul-Nya ﷺ. Makna keberkahan pada hal-hal tersebut adalah bahwa ia merupakan sebab kebaikan, manfaat, dan rezeki bagi manusia.
Di antara keberkahan duniawi yang Allah limpahkan adalah yang mencakup seluruh manusia, baik mukmin maupun kafir, seperti keberkahan hujan. Sebagaimana firman Allah ketika menegakkan hujjah atas kaum kafir yang mengingkari kebangkitan:
“Dan Kami turunkan dari langit air yang penuh berkah, lalu dengan itu Kami tumbuhkan kebun-kebun dan biji-bijian yang dipanen. Dan pohon kurma yang tinggi-tinggi yang memiliki mayang yang tersusun rapi, sebagai rezeki bagi para hamba. Dan Kami hidupkan dengan itu negeri yang mati. Demikianlah kebangkitan itu.” (QS. Qāf: 9–11)
Allah menjelaskan bahwa air hujan adalah penuh berkah, dan salah satu keberkahannya ialah menjadi sebab rezeki bagi hamba, termasuk orang-orang kafir. Sebab Allah memberikan rezeki kepada semua, baik mukmin maupun kafir.
Adapun keberkahan yang bersifat agama biasanya khusus untuk orang-orang beriman, seperti dilipatgandakannya pahala amal saleh pada tempat dan waktu yang diberkahi, atau dilipatgandakannya pahala membaca al-Qur’an, dan semisalnya.
Kedua:
Keberkahan dalam dua bentuknya, baik agama maupun dunia, dapat bersifat hissiyyah (terindra, nyata) maupun ma‘nawiyyah (abstrak, maknawi). Untuk penjelasan lebih luas, lihat: al-Tabarruk Anwā‘uhu wa Ahkāmuhu karya Nāshir al-Jadi‘ (hlm. 43).
Adapun pembagian berkah kepada ma‘nawiyyah ghayru muntaliqah (tidak berpindah) dan dzātiyyah muntaliqah (berpindah), kemudian membatasi kategori terakhir hanya pada tubuh Nabi ﷺ, maka ini bukanlah pembagian yang masyhur di kalangan ulama.
Allah Ta‘ala telah memberkahi sebagian tempat seperti Makkah dan Madinah, sebagian waktu seperti Lailatul Qadar, sebagian makanan seperti sahur, memberkahi air Zamzam, sebagian makhluk seperti kurma, kuda, hujan; serta menjadikan al-Qur’an sebagai kitab yang penuh berkah. Semua itu Allah nyatakan dalam wahyu-Nya atau dijelaskan melalui sabda Rasul-Nya ﷺ. Makna keberkahan pada hal-hal tersebut adalah bahwa ia merupakan sebab kebaikan, manfaat, dan rezeki bagi manusia.
Di antara keberkahan duniawi yang Allah limpahkan adalah yang mencakup seluruh manusia, baik mukmin maupun kafir, seperti keberkahan hujan. Sebagaimana firman Allah ketika menegakkan hujjah atas kaum kafir yang mengingkari kebangkitan:
﴿وَنَزَّلْنَا مِنَ السَّمَاءِ مَاءً مُبَارَكًا فَأَنْبَتْنَا بِهِ جَنَّاتٍ وَحَبَّ الْحَصِيدِ • وَالنَّخْلَ بَاسِقَاتٍ لَهَا طَلْعٌ نَضِيدٌ • رِزْقًا لِلْعِبَادِ وَأَحْيَيْنَا بِهِ بَلْدَةً مَيْتًا كَذَلِكَ الْخُرُوجُ﴾
“Dan Kami turunkan dari langit air yang penuh berkah, lalu dengan itu Kami tumbuhkan kebun-kebun dan biji-bijian yang dipanen. Dan pohon kurma yang tinggi-tinggi yang memiliki mayang yang tersusun rapi, sebagai rezeki bagi para hamba. Dan Kami hidupkan dengan itu negeri yang mati. Demikianlah kebangkitan itu.” (QS. Qāf: 9–11)
Allah menjelaskan bahwa air hujan adalah penuh berkah, dan salah satu keberkahannya ialah menjadi sebab rezeki bagi hamba, termasuk orang-orang kafir. Sebab Allah memberikan rezeki kepada semua, baik mukmin maupun kafir.
Adapun keberkahan yang bersifat agama biasanya khusus untuk orang-orang beriman, seperti dilipatgandakannya pahala amal saleh pada tempat dan waktu yang diberkahi, atau dilipatgandakannya pahala membaca al-Qur’an, dan semisalnya.
Kedua:
Tabarruk adalah mencari keberkahan dari sesuatu yang diberkahi, yaitu berusaha memperoleh manfaat dan kebaikannya.
Tabarruk dengan hal-hal yang Allah jadikan sebagai sebab kebaikan, manfaat, dan berkah, harus sesuai dengan sunnatullah syar‘iyyah (aturan syariat) maupun kauniyyah (aturan alam). Karena sesuatu yang diberkahi itu merupakan sebab manfaat. Sebagian sebab bersifat kauni (alamiah) sehingga tidak terbatas bagi kaum Muslimin saja, sementara sebagian lainnya bersifat syar‘i yang khusus bagi mereka. (Lihat jawaban soal no. 179441 di Islamqa).
Air Zamzam adalah air yang diberkahi sebagaimana diberitakan oleh Nabi ﷺ. Hadis-hadis sahih menunjukkan bahwa Allah Ta‘ala telah memberkahinya, menjadikannya mengandung kebaikan dan manfaat yang tidak terdapat pada air lainnya. Umat Islam telah sepakat akan keberkahan, kemuliaan, dan keutamaan air Zamzam.
Sunnah menjelaskan bahwa air Zamzam merupakan sebab syar‘i bagi manfaat kaum mukminin, sekaligus sebab kauni bagi manfaat seluruh manusia. Banyak hadis dan atsar yang menjelaskan keutamaan air Zamzam serta cara memperoleh keberkahannya, antara lain:
Hadis Abu Dzar – Diriwayatkan Muslim (2473) dalam kisah keislaman Abu Dzar ra. Ia tinggal di Makkah selama sebulan sebelum masuk Islam. Nabi ﷺ bertanya:
«فَمَن كَانَ يُطْعِمُكَ؟»
“Siapa yang memberimu makan?”
Abu Dzar menjawab: “Tidak ada makanan bagiku selain air Zamzam. Aku menjadi gemuk hingga perutku berlipat, dan aku tidak merasakan lapar di perutku.”
Nabi ﷺ bersabda:
Abu Dzar menjawab: “Tidak ada makanan bagiku selain air Zamzam. Aku menjadi gemuk hingga perutku berlipat, dan aku tidak merasakan lapar di perutku.”
Nabi ﷺ bersabda:
«إِنَّهَا مُبَارَكَةٌ، إِنَّهَا طَعَامُ طُعْمٍ»
“Sesungguhnya air itu penuh berkah, ia adalah makanan yang mengenyangkan.”
Hadis ini menunjukkan bahwa Zamzam bisa mengenyangkan layaknya makanan, dan manfaat ini bersifat umum, bahkan Abu Dzar saat itu belum beriman.
Riwayat Abu Dawud al-Tayalisi (459) dalam Musnad terkait kisah yang sama:
Hadis ini menunjukkan bahwa Zamzam bisa mengenyangkan layaknya makanan, dan manfaat ini bersifat umum, bahkan Abu Dzar saat itu belum beriman.
Riwayat Abu Dawud al-Tayalisi (459) dalam Musnad terkait kisah yang sama:
«إِنَّهَا مُبَارَكَةٌ، هِيَ طَعَامُ طُعْمٍ، وَشِفَاءُ سُقْمٍ»
“Sesungguhnya ia penuh berkah, ia adalah makanan yang mengenyangkan dan obat bagi penyakit.”
Maka Zamzam juga menjadi sebab kesembuhan, dan manfaat ini bisa dirasakan mukmin maupun kafir.
Hadis:
Maka Zamzam juga menjadi sebab kesembuhan, dan manfaat ini bisa dirasakan mukmin maupun kafir.
Hadis:
«مَاءُ زَمْزَمَ لِمَا شُرِبَ لَهُ»
“Air Zamzam sesuai dengan tujuan ia diminum.” (HR. Ahmad 14849, Ibnu Mājah 3062, dinyatakan sahih oleh al-Albani).
Ibnu Hajar menegaskan bahwa hadis ini layak dijadikan hujjah karena banyak jalurnya. Ia menafsirkan maknanya: jika seseorang meminumnya dengan niat tertentu, maka Allah akan mengabulkannya. Mujahid rahimahullah berkata:
“Zamzam sesuai dengan tujuan ia diminum. Jika engkau meminumnya untuk kesembuhan, Allah menyembuhkanmu; jika untuk menghilangkan haus, Allah hilangkan; jika untuk kenyang, Allah mengenyangkanmu. Ia adalah semburan Jibril dan pemberian minum dari Allah kepada Ismail.”
Dalam peristiwa pembelahan dada Nabi ﷺ, Jibril mencucinya dengan air Zamzam. Nabi ﷺ bersabda:
Ibnu Hajar menegaskan bahwa hadis ini layak dijadikan hujjah karena banyak jalurnya. Ia menafsirkan maknanya: jika seseorang meminumnya dengan niat tertentu, maka Allah akan mengabulkannya. Mujahid rahimahullah berkata:
“زمزم لما شربت له، إن شربته تريد الشفاء شفاك الله، وإن شربته تريد أن يقطع ظمأك قطعه، وإن شربته تريد أن تشبعك أشبعتك. هي هَزْمة جبريل، وسقيا الله إسماعيل.”
Dalam peristiwa pembelahan dada Nabi ﷺ, Jibril mencucinya dengan air Zamzam. Nabi ﷺ bersabda:
«فُرِجَ سقفي وأنا بمكة، فنزل جبريل عليه السلام، ففَرَجَ صدري، ثم غسله بماء زمزم...»
(HR. al-Bukhari 1636, Muslim 162).
Riwayat Ibnu ‘Abbas: ia pernah berkata kepada Abu Jamrah yang sedang sakit demam di Makkah:
Riwayat Ibnu ‘Abbas: ia pernah berkata kepada Abu Jamrah yang sedang sakit demam di Makkah:
«أبردها عنك بماء زمزم، فإن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: الحمى من فيح جهنم فأبردوها بالماء أو قال بماء زمزم»
(HR. al-Bukhari 3261).
Beberapa ulama berpendapat bahwa air yang dimaksud dalam hadis “pendinginkan dengan air” adalah khusus Zamzam, meskipun jumhur memahaminya umum.
Riwayat Imam Ahmad (15243): Nabi ﷺ setelah thawaf, shalat dua rakaat, kemudian minum Zamzam dan menuangkannya ke kepalanya.
Riwayat Mu‘āwiyah ra. dalam Akhbār Makkah karya al-Fākihī (1096):
Beberapa ulama berpendapat bahwa air yang dimaksud dalam hadis “pendinginkan dengan air” adalah khusus Zamzam, meskipun jumhur memahaminya umum.
Riwayat Imam Ahmad (15243): Nabi ﷺ setelah thawaf, shalat dua rakaat, kemudian minum Zamzam dan menuangkannya ke kepalanya.
Riwayat Mu‘āwiyah ra. dalam Akhbār Makkah karya al-Fākihī (1096):
Setelah thawaf dan shalat, beliau meminta air Zamzam, lalu meminumnya dan menuangkannya ke wajah dan kepalanya sambil berkata:
“زمزم شفاءٌ، هي لما شرب له”
“Zamzam adalah obat; ia sesuai dengan tujuan diminum.”
Ibnu Abi Syaibah dalam Kitab ath-Thibb dari al-Mushannaf (12/153) membuat bab dengan judul: “Barangsiapa yang mengatakan bahwa air Zamzam mengandung kesembuhan”. Kemudian ia meriwayatkan perkataan Mujahid: "ماء زمزم شفاء لما شرب له" (Air Zamzam adalah obat untuk apa saja yang diminumnya dengan niat itu). Ia juga meriwayatkan dari ‘Atha’, ketika beliau ditanya mengenai hukum membawa air Zamzam keluar dari Tanah Haram, maka beliau menjawab: “Intaqala Ka‘bun bi-itsnatay ‘ashrata rawiyyatan ila asy-Syaam yastasfuna biha” (Ka‘b pernah membawa dua belas wadah air Zamzam ke negeri Syam, lalu orang-orang menggunakannya untuk berobat).
Abu Nu‘aim al-Ashbahani dalam ath-Thibb an-Nabawi (2/669) membuat bab dengan judul: “Segala jenis air yang digunakan untuk berobat, yang terbaik di antaranya adalah Zamzam”.
Ibnul Qayyim رحمه الله berkata tentang air Zamzam:
"Sayyidul ma’ wa asyrafuhu wa ajalluhu qadaran, wa ahabbuhu ila an-nufus, wa aghlahu tsamanan, wa anfashahu ‘inda an-naas, wa huwa hazmatu Jibril wa suqyallahi Ismail."
(Air Zamzam adalah pemimpin segala air, yang paling mulia dan paling agung kedudukannya, paling dicintai oleh jiwa, paling mahal harganya, paling berharga di sisi manusia. Ia adalah semburan Jibril dan minuman yang diberikan Allah kepada Ismail).
Telah diriwayatkan dalam ash-Shahih, dari Nabi ﷺ, bahwa beliau bersabda kepada Abu Dzar —yang kala itu tinggal selama empat puluh hari semalam di antara Ka‘bah dan kain penutupnya, tanpa makanan selain air Zamzam—:
(إنها طعام طعم) “Sesungguhnya ia adalah makanan yang mengenyangkan.”
Dan dalam riwayat selain Muslim dengan sanadnya ditambahkan: (وشفاء سقم) “Dan obat bagi penyakit.”
Kami meriwayatkan dari Abdullah bin al-Mubarak, ketika beliau menunaikan haji, beliau mendatangi Zamzam, lalu berdoa:
"Allahumma inna Ibn Abi al-Mawali haddatsana ‘an Muhammad bin al-Munkadir, ‘an Jabir رضي الله عنه, ‘an Nabiyyika ﷺ, annahu qal: (ماء زمزم لما شرب له)، wa inni asyrabuhu lizhama’i yaumi al-qiyamah."
“Ya Allah, sesungguhnya Ibn Abi al-Mawali telah menceritakan kepada kami dari Muhammad bin al-Munkadir, dari Jabir رضي الله عنه, dari Nabi-Mu ﷺ bahwa beliau bersabda: ‘Air Zamzam itu sesuai dengan niat orang yang meminumnya’. Maka aku meminumnya dengan niat agar terhindar dari kehausan pada hari Kiamat.”
Ibnu Abi al-Mawali adalah seorang tsiqah (terpercaya). Karena itu, hadits ini tergolong hasan, sebagian ulama menshahihkannya, sementara sebagian lain menilainya maudhu‘ (palsu). Namun kedua pendapat itu agak berlebihan.
Aku sendiri (Ibnul Qayyim) telah mencobanya, begitu juga selainku, dalam rangka berobat dengan air Zamzam. Kami mendapatkan pengalaman yang menakjubkan. Aku pernah berobat dari beberapa penyakit dengan Zamzam, lalu Allah menyembuhkanku. Aku juga menyaksikan orang yang hanya meminum Zamzam selama belasan hari, hampir setengah bulan atau lebih, tanpa merasakan lapar, bahkan tetap tawaf bersama manusia sebagaimana biasanya. Ia juga menceritakan kepadaku bahwa ia pernah bertahan hanya dengan air Zamzam selama empat puluh hari, tetap memiliki kekuatan untuk berhubungan dengan istrinya, berpuasa, dan bertawaf berkali-kali.” (Ringkasan dari Zaad al-Ma‘aad 4/361).
Ketiga:
Ibnu Abi Syaibah dalam Kitab ath-Thibb dari al-Mushannaf (12/153) membuat bab dengan judul: “Barangsiapa yang mengatakan bahwa air Zamzam mengandung kesembuhan”. Kemudian ia meriwayatkan perkataan Mujahid: "ماء زمزم شفاء لما شرب له" (Air Zamzam adalah obat untuk apa saja yang diminumnya dengan niat itu). Ia juga meriwayatkan dari ‘Atha’, ketika beliau ditanya mengenai hukum membawa air Zamzam keluar dari Tanah Haram, maka beliau menjawab: “Intaqala Ka‘bun bi-itsnatay ‘ashrata rawiyyatan ila asy-Syaam yastasfuna biha” (Ka‘b pernah membawa dua belas wadah air Zamzam ke negeri Syam, lalu orang-orang menggunakannya untuk berobat).
Abu Nu‘aim al-Ashbahani dalam ath-Thibb an-Nabawi (2/669) membuat bab dengan judul: “Segala jenis air yang digunakan untuk berobat, yang terbaik di antaranya adalah Zamzam”.
Ibnul Qayyim رحمه الله berkata tentang air Zamzam:
"Sayyidul ma’ wa asyrafuhu wa ajalluhu qadaran, wa ahabbuhu ila an-nufus, wa aghlahu tsamanan, wa anfashahu ‘inda an-naas, wa huwa hazmatu Jibril wa suqyallahi Ismail."
(Air Zamzam adalah pemimpin segala air, yang paling mulia dan paling agung kedudukannya, paling dicintai oleh jiwa, paling mahal harganya, paling berharga di sisi manusia. Ia adalah semburan Jibril dan minuman yang diberikan Allah kepada Ismail).
Telah diriwayatkan dalam ash-Shahih, dari Nabi ﷺ, bahwa beliau bersabda kepada Abu Dzar —yang kala itu tinggal selama empat puluh hari semalam di antara Ka‘bah dan kain penutupnya, tanpa makanan selain air Zamzam—:
(إنها طعام طعم) “Sesungguhnya ia adalah makanan yang mengenyangkan.”
Dan dalam riwayat selain Muslim dengan sanadnya ditambahkan: (وشفاء سقم) “Dan obat bagi penyakit.”
Kami meriwayatkan dari Abdullah bin al-Mubarak, ketika beliau menunaikan haji, beliau mendatangi Zamzam, lalu berdoa:
"Allahumma inna Ibn Abi al-Mawali haddatsana ‘an Muhammad bin al-Munkadir, ‘an Jabir رضي الله عنه, ‘an Nabiyyika ﷺ, annahu qal: (ماء زمزم لما شرب له)، wa inni asyrabuhu lizhama’i yaumi al-qiyamah."
“Ya Allah, sesungguhnya Ibn Abi al-Mawali telah menceritakan kepada kami dari Muhammad bin al-Munkadir, dari Jabir رضي الله عنه, dari Nabi-Mu ﷺ bahwa beliau bersabda: ‘Air Zamzam itu sesuai dengan niat orang yang meminumnya’. Maka aku meminumnya dengan niat agar terhindar dari kehausan pada hari Kiamat.”
Ibnu Abi al-Mawali adalah seorang tsiqah (terpercaya). Karena itu, hadits ini tergolong hasan, sebagian ulama menshahihkannya, sementara sebagian lain menilainya maudhu‘ (palsu). Namun kedua pendapat itu agak berlebihan.
Aku sendiri (Ibnul Qayyim) telah mencobanya, begitu juga selainku, dalam rangka berobat dengan air Zamzam. Kami mendapatkan pengalaman yang menakjubkan. Aku pernah berobat dari beberapa penyakit dengan Zamzam, lalu Allah menyembuhkanku. Aku juga menyaksikan orang yang hanya meminum Zamzam selama belasan hari, hampir setengah bulan atau lebih, tanpa merasakan lapar, bahkan tetap tawaf bersama manusia sebagaimana biasanya. Ia juga menceritakan kepadaku bahwa ia pernah bertahan hanya dengan air Zamzam selama empat puluh hari, tetap memiliki kekuatan untuk berhubungan dengan istrinya, berpuasa, dan bertawaf berkali-kali.” (Ringkasan dari Zaad al-Ma‘aad 4/361).
Ketiga:
Dari keterangan di atas, jelaslah bahwa tabarruk (mengharap keberkahan) dengan air Zamzam adalah dengan maksud memperoleh apa yang Allah jadikan padanya berupa kebaikan dan manfaat bagi hamba-Nya. Tabarruk dengan Zamzam memiliki dasar yang kuat, ditunjukkan oleh hadits-hadits, serta diamalkan oleh para salaf dan imam. Cara memperoleh keberkahan Zamzam ada tiga bentuk:
Meminumnya dengan maksud sebagai pengganti makanan (sebagai penguat tubuh).
Menggunakannya untuk pengobatan, baik dengan meminumnya atau menggunakannya pada seluruh badan. Termasuk berobat dari demam dan lainnya, berdasarkan sabda Nabi ﷺ: (وشفاء سقم). Maka, apa saja yang terbukti dengan pengalaman bahwa Zamzam bermanfaat untuk pengobatan, boleh digunakan untuk berobat dengannya. Hal ini mirip dengan madu atau habbatussauda, yang Allah jadikan sebab kesembuhan tanpa membatasi cara penggunaannya.
Tabarruk dengannya juga dilakukan dengan meminumnya sembari berniat memperoleh manfaat khusus sesuai tujuan peminumnya.
Syaikh Abdul Rahman al-Barrak حفظه الله berkata:
"Famin barakatiha: an yakuna syurbu ma’iha sababaan fi husuuli ma yarjuhu al-muslimu bidzaalika..."
“Di antara keberkahannya adalah bahwa meminumnya bisa menjadi sebab tercapainya harapan seorang Muslim. Namun setiap sebab bergantung pada terpenuhinya syarat dan hilangnya penghalang. Maka, apa yang diminta dengan air Zamzam ada dua macam:
Hal-hal yang memang ia menjadi sebab langsung, seperti makanan dan kesembuhan. Sebab di sini bersifat kauniyah sekaligus syar‘iyyah.
Hal-hal yang pencapaiannya membutuhkan sebab-sebab lain, baik kauniyah maupun syar‘iyyah, seperti ilmu yang bermanfaat, rezeki yang luas, hafalan Al-Qur’an, amal shalih, ampunan dosa, hingga masuk surga. Maka, meminum Zamzam dengan niat ini termasuk sebab syar‘i, namun perlu disertai doa kepada Allah, tidak cukup hanya niat hati semata.”
Keempat:
Air Zamzam adalah air yang suci, mulia, dan diberkahi. Sebagian fuqaha memakruhkan penggunaannya untuk menghilangkan najis, karena memuliakannya. Sebagian lain tidak memakruhkan. Dalam al-Mughni (1/16), Ibnu Qudamah berkata:
"Wa laa yukrahu al-wudhu’ wal-ghuslu bima’i Zamzam; liannahu maa’ thahur, fa asybah saair al-miyaah..."
“Tidak dimakruhkan berwudhu atau mandi dengan air Zamzam, karena ia adalah air suci, sebagaimana air lainnya. Ada juga riwayat dari Imam Ahmad bahwa hal itu makruh... Namun pendapat pertama lebih kuat. Kemuliaannya tidak menuntut adanya larangan penggunaan.”
Syaikh Ibnu Baz رحمه الله ditanya tentang hukum istinja’ dengan air Zamzam, beliau menjawab:
"Maa’ Zamzam qad dallat al-ahadits ash-shahihah ‘ala annahu maa’ syarif mubarak... wa yajuzu al-wudhu’ minhu wal-istinjaa’..."
“Air Zamzam berdasarkan hadits-hadits shahih adalah air yang mulia dan diberkahi... Sunnahnya adalah diminum sebagaimana Nabi ﷺ meminumnya. Namun boleh digunakan untuk wudhu, istinja’, dan mandi janabah jika dibutuhkan. Jika air yang keluar dari jari-jari Nabi ﷺ boleh digunakan untuk minum, wudhu, mencuci pakaian, dan istinja’, maka Zamzam tentu lebih utama atau sepadan dengannya.”
Kelima:
Adapun mencuci pakaian dengan air Zamzam dengan tujuan tabarruk, maka mayoritas ulama melarangnya, karena tidak ada asalnya. Sikap yang lebih baik adalah membatasi diri pada dalil yang ada, yakni tabarruk dengan meminumnya atau menggunakannya pada badan.
والله أعلم