Fikroh.com - Pengadilan Negeri Jakarta Pusat kembali menjadi sorotan publik usai menerima gugatan perdata yang dilayangkan seorang advokat asal Jakarta, Haji Muhammad Subhan Palal, terhadap Wakil Presiden Republik Indonesia, Gibran Rakabuming Raka, dan Komisi Pemilihan Umum (KPU). Gugatan yang teregister dengan nomor perkara 583/Pdt.G/2025/PN Jkt.Pst ini resmi didaftarkan pada 29 Agustus 2025 dan memunculkan pertanyaan publik: siapa sebenarnya sosok Subhan yang berani menantang orang nomor dua di negeri ini?
Subhan Palal, atau kerap disingkat HM Subhan Palal, bukan nama asing di kalangan praktisi hukum. Ia merupakan seorang advokat yang aktif menangani perkara perdata maupun pidana. Lahir dan besar di Jakarta, Subhan menempuh pendidikan tinggi di Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI). Ia tercatat sebagai alumni angkatan 2018 dengan gelar Sarjana Hukum (SH), kemudian melanjutkan hingga meraih gelar Magister Hukum (MH).
Perjalanan karier hukumnya terbilang panjang. Sejak tahun 2008, ia sudah terdaftar sebagai advokat di Kantor Hukum Pan Putra & Rekan, sebuah firma hukum yang menangani berbagai kasus litigasi. Setelah menimba pengalaman, Subhan mendirikan Subhan Palal & Rekan, sebuah firma hukum yang berlokasi di Kelurahan Duri Kepa, Kecamatan Kebon Jeruk, Jakarta Barat. Firma ini melayani berbagai jasa hukum, mulai dari konsultasi, pendampingan, hingga litigasi di pengadilan.
Keberadaan kantor hukum pribadi ini menunjukkan bahwa Subhan tidak sekadar praktisi biasa, tetapi juga pengusaha di bidang jasa hukum yang menata kariernya dengan serius.
Subhan menjadi sorotan publik lantaran langkah beraninya menggugat Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka. Gugatan ini didasarkan pada dugaan perbuatan melawan hukum (PMH) terkait pencalonan Gibran pada Pemilu 2024.
Menurut Subhan, Gibran tidak memenuhi syarat pendidikan minimal SMA atau sederajat yang diatur dalam undang-undang. Ia menyoroti riwayat pendidikan Gibran yang bersekolah di Orchid Park Secondary School, Singapura (2002–2004) dan melanjutkan ke UTS Insearch, Sydney, Australia (2004–2007). Subhan berpendapat bahwa pendidikan tersebut tidak otomatis diakui setara dengan SMA Indonesia tanpa adanya proses penyetaraan resmi dari instansi berwenang di dalam negeri.
Dari argumen tersebut, Subhan menilai keabsahan pencalonan dan terpilihnya Gibran sebagai Wakil Presiden periode 2024–2029 cacat hukum.
Dalam petitumnya, Subhan tidak hanya menuntut pernyataan bahwa Gibran tidak sah menjabat Wakil Presiden, tetapi juga mengajukan tuntutan ganti rugi materiil dan immateriil dengan nilai mencengangkan, yakni Rp125,01 triliun.
Angka ini dihitung dari perkalian Rp500.000 dengan jumlah pemilih tetap pada Pemilu 2024, yang menurut Subhan mewakili kerugian simbolis seluruh rakyat Indonesia. Selain itu, ia menambahkan tuntutan kompensasi Rp10 juta serta dwangsom atau uang paksa Rp100 juta per hari apabila putusan tidak dijalankan. Tak berhenti di situ, ia meminta agar putusan bersifat uitvoerbaar bij voorraad, artinya dapat dieksekusi meski masih ada upaya banding atau kasasi.
Gugatan terhadap Gibran kali ini bukanlah langkah hukum pertama Subhan. Sebelumnya, ia sudah beberapa kali mengajukan perkara serupa. Pada Mei 2025, Subhan pernah mendaftarkan uji materiil Undang-Undang Kewarganegaraan ke Mahkamah Konstitusi. Namun, permohonan itu ditolak.
Selain itu, ia juga tercatat pernah membawa kasus serupa ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) DKI Jakarta, namun ditolak karena melewati batas waktu pengajuan. Meski demikian, kegigihan Subhan menunjukkan tekadnya untuk terus memperjuangkan isu yang diyakininya sebagai masalah hukum serius.
Menariknya, Subhan menegaskan bahwa gugatan ini murni inisiatif pribadinya. Ia menolak anggapan adanya sponsor politik atau dorongan dari kelompok tertentu di balik langkah hukum ini. “Ini adalah sikap pribadi saya sebagai advokat dan warga negara yang ingin menegakkan hukum,” ujarnya dalam pernyataan pers.
Klaim independensi ini penting di tengah spekulasi publik bahwa gugatan tersebut mungkin bermuatan politik, mengingat posisi Gibran yang bukan hanya Wakil Presiden, tetapi juga putra sulung Presiden Joko Widodo.
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat telah menjadwalkan sidang perdana perkara ini pada 8 September 2025. Sidang awal ini diharapkan menjadi titik terang apakah gugatan Subhan dapat diterima atau justru kandas seperti upaya-upaya sebelumnya.
Publik menanti bagaimana hakim akan menilai argumentasi Subhan, terutama terkait legalitas ijazah dan persyaratan pendidikan calon pemimpin negara. Tidak sedikit yang menilai gugatan ini terlalu ambisius, namun ada pula yang melihatnya sebagai bentuk partisipasi warga negara dalam mengawal demokrasi.
Apapun hasilnya nanti, sosok Subhan Palal kini mencuri perhatian publik. Dari seorang advokat yang meniti karier di Jakarta Barat, namanya kini melambung ke ranah politik nasional. Gugatan ini tidak hanya menguji konsistensi hukum pemilu di Indonesia, tetapi juga memperlihatkan bagaimana individu dengan tekad kuat bisa menantang struktur kekuasaan tertinggi di negeri ini.
Bagi Subhan, perkara ini mungkin menjadi tonggak perjalanan karier sekaligus ujian besar bagi idealismenya. Bagi publik, ini adalah pengingat bahwa dalam sistem hukum, setiap warga negara—betapapun “kecilnya”—memiliki hak untuk bersuara dan menuntut keadilan.
Latar Belakang Pendidikan dan Karier
Subhan Palal, atau kerap disingkat HM Subhan Palal, bukan nama asing di kalangan praktisi hukum. Ia merupakan seorang advokat yang aktif menangani perkara perdata maupun pidana. Lahir dan besar di Jakarta, Subhan menempuh pendidikan tinggi di Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI). Ia tercatat sebagai alumni angkatan 2018 dengan gelar Sarjana Hukum (SH), kemudian melanjutkan hingga meraih gelar Magister Hukum (MH).
Perjalanan karier hukumnya terbilang panjang. Sejak tahun 2008, ia sudah terdaftar sebagai advokat di Kantor Hukum Pan Putra & Rekan, sebuah firma hukum yang menangani berbagai kasus litigasi. Setelah menimba pengalaman, Subhan mendirikan Subhan Palal & Rekan, sebuah firma hukum yang berlokasi di Kelurahan Duri Kepa, Kecamatan Kebon Jeruk, Jakarta Barat. Firma ini melayani berbagai jasa hukum, mulai dari konsultasi, pendampingan, hingga litigasi di pengadilan.
Keberadaan kantor hukum pribadi ini menunjukkan bahwa Subhan tidak sekadar praktisi biasa, tetapi juga pengusaha di bidang jasa hukum yang menata kariernya dengan serius.
Gugatan terhadap Gibran dan KPU
Subhan menjadi sorotan publik lantaran langkah beraninya menggugat Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka. Gugatan ini didasarkan pada dugaan perbuatan melawan hukum (PMH) terkait pencalonan Gibran pada Pemilu 2024.
Menurut Subhan, Gibran tidak memenuhi syarat pendidikan minimal SMA atau sederajat yang diatur dalam undang-undang. Ia menyoroti riwayat pendidikan Gibran yang bersekolah di Orchid Park Secondary School, Singapura (2002–2004) dan melanjutkan ke UTS Insearch, Sydney, Australia (2004–2007). Subhan berpendapat bahwa pendidikan tersebut tidak otomatis diakui setara dengan SMA Indonesia tanpa adanya proses penyetaraan resmi dari instansi berwenang di dalam negeri.
Dari argumen tersebut, Subhan menilai keabsahan pencalonan dan terpilihnya Gibran sebagai Wakil Presiden periode 2024–2029 cacat hukum.
Tuntutan Fantastis
Dalam petitumnya, Subhan tidak hanya menuntut pernyataan bahwa Gibran tidak sah menjabat Wakil Presiden, tetapi juga mengajukan tuntutan ganti rugi materiil dan immateriil dengan nilai mencengangkan, yakni Rp125,01 triliun.
Angka ini dihitung dari perkalian Rp500.000 dengan jumlah pemilih tetap pada Pemilu 2024, yang menurut Subhan mewakili kerugian simbolis seluruh rakyat Indonesia. Selain itu, ia menambahkan tuntutan kompensasi Rp10 juta serta dwangsom atau uang paksa Rp100 juta per hari apabila putusan tidak dijalankan. Tak berhenti di situ, ia meminta agar putusan bersifat uitvoerbaar bij voorraad, artinya dapat dieksekusi meski masih ada upaya banding atau kasasi.
Kutipan Petitum Subhan
“Menghukum Tergugat I untuk membayar ganti rugi materiil dan immateriil sebesar Rp125.010.000.000.000 (seratus dua puluh lima triliun sepuluh miliar rupiah) yang diperhitungkan dari Rp500.000 dikalikan jumlah pemilih tetap Pemilu 2024, ditambah kompensasi Rp10.000.000 (sepuluh juta rupiah) ke kas negara, serta uang paksa (dwangsom) Rp100.000.000 per hari apabila putusan tidak dilaksanakan.”
Upaya Hukum Sebelumnya
Gugatan terhadap Gibran kali ini bukanlah langkah hukum pertama Subhan. Sebelumnya, ia sudah beberapa kali mengajukan perkara serupa. Pada Mei 2025, Subhan pernah mendaftarkan uji materiil Undang-Undang Kewarganegaraan ke Mahkamah Konstitusi. Namun, permohonan itu ditolak.
Selain itu, ia juga tercatat pernah membawa kasus serupa ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) DKI Jakarta, namun ditolak karena melewati batas waktu pengajuan. Meski demikian, kegigihan Subhan menunjukkan tekadnya untuk terus memperjuangkan isu yang diyakininya sebagai masalah hukum serius.
Mengaku Inisiatif Pribadi
Menariknya, Subhan menegaskan bahwa gugatan ini murni inisiatif pribadinya. Ia menolak anggapan adanya sponsor politik atau dorongan dari kelompok tertentu di balik langkah hukum ini. “Ini adalah sikap pribadi saya sebagai advokat dan warga negara yang ingin menegakkan hukum,” ujarnya dalam pernyataan pers.
Klaim independensi ini penting di tengah spekulasi publik bahwa gugatan tersebut mungkin bermuatan politik, mengingat posisi Gibran yang bukan hanya Wakil Presiden, tetapi juga putra sulung Presiden Joko Widodo.
Sidang Perdana
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat telah menjadwalkan sidang perdana perkara ini pada 8 September 2025. Sidang awal ini diharapkan menjadi titik terang apakah gugatan Subhan dapat diterima atau justru kandas seperti upaya-upaya sebelumnya.
Publik menanti bagaimana hakim akan menilai argumentasi Subhan, terutama terkait legalitas ijazah dan persyaratan pendidikan calon pemimpin negara. Tidak sedikit yang menilai gugatan ini terlalu ambisius, namun ada pula yang melihatnya sebagai bentuk partisipasi warga negara dalam mengawal demokrasi.
Profil Singkat
- Nama Lengkap: Haji Muhammad Subhan Palal (HM Subhan Palal)
- Profesi: Advokat
- Pendidikan: Sarjana Hukum (UI), Magister Hukum (UI)
- Firma Hukum: Subhan Palal & Rekan, Jakarta Barat
- Karier: Advokat di Pan Putra & Rekan (sejak 2008)
- Isu Publik: Menggugat keabsahan pencalonan Wapres Gibran Rakabuming Raka
Penutup
Apapun hasilnya nanti, sosok Subhan Palal kini mencuri perhatian publik. Dari seorang advokat yang meniti karier di Jakarta Barat, namanya kini melambung ke ranah politik nasional. Gugatan ini tidak hanya menguji konsistensi hukum pemilu di Indonesia, tetapi juga memperlihatkan bagaimana individu dengan tekad kuat bisa menantang struktur kekuasaan tertinggi di negeri ini.
Bagi Subhan, perkara ini mungkin menjadi tonggak perjalanan karier sekaligus ujian besar bagi idealismenya. Bagi publik, ini adalah pengingat bahwa dalam sistem hukum, setiap warga negara—betapapun “kecilnya”—memiliki hak untuk bersuara dan menuntut keadilan.