Fikroh.com - Penaklukan Persia merupakan salah satu babak paling monumental dalam sejarah Islam. Ia bukan sekadar peristiwa militer, melainkan pertemuan antara dua peradaban besar: kekuatan baru umat Islam yang lahir dari kesucian iman dan keteguhan tauhid, serta imperium Persia Sassanid yang sudah berusia ratusan tahun namun rapuh oleh kezhaliman dan kemewahan berlebihan. Dalam benturan itu, Allah menampakkan janji-Nya: bahwa kebenaran, meski datang dari padang pasir dengan kesederhanaan, akan mengalahkan kejayaan dunia yang runtuh tanpa ruh keadilan.
Perjalanan penaklukan Persia terbentang pada masa dua khalifah agung, Abu Bakr ash-Shiddīq ra dan Umar bin Khattab ra. Di masa Abu Bakr, setelah gelombang kemurtadan berhasil dipadamkan, beliau mengutus Khalid bin al-Walid ra untuk membuka jalan Islam ke Irak. Pasukan kecil kaum muslimin menghadapi bala tentara Persia yang jauh lebih besar, namun dengan izin Allah, kemenangan demi kemenangan diraih: dari Pertempuran Rantai, Ullais, hingga penaklukan al-Hirah. Langkah awal ini menegaskan bahwa kekuatan Islam tidak bertumpu pada jumlah, melainkan pada keikhlasan dan keyakinan.
Tonggak penaklukan besar kemudian terjadi pada masa Umar bin Khattab ra. Dengan kepemimpinan yang penuh kebijaksanaan dan pengaturan militer yang rapi, beliau mengirim Sa’d bin Abi Waqqash ra untuk memimpin pasukan menghadapi Persia di medan Qadisiyyah. Kemenangan besar itu menjadi gerbang jatuhnya ibu kota Mada’in, simbol kejayaan Kisra yang selama ini diagungkan. Tidak berhenti di sana, umat Islam melanjutkan perjuangan hingga ke Nahawand, sebuah pertempuran yang dikenal sebagai Fath al-Futūh — kemenangan dari segala kemenangan — yang benar-benar meruntuhkan imperium Sassanid hingga ke akar-akarnya.
Apa yang terjadi di masa Abu Bakr dan Umar sejatinya adalah penggenapan nubuwah Rasulullah ﷺ. Dalam hadits yang diriwayatkan al-Bukhari dan Muslim, beliau ﷺ bersabda:
"إذا هلك كسرى فلا كسرى بعده، وإذا هلك قيصر فلا قيصر بعده"
"Apabila Kisra binasa, maka tidak ada Kisra lagi setelahnya. Dan apabila Kaisar (Romawi) binasa, maka tidak ada Kaisar lagi setelahnya."
Sejarah penaklukan Persia menunjukkan betapa Islam bukan sekadar menundukkan tanah, tetapi juga membebaskan manusia dari belenggu kesombongan dan kezaliman. Dari padang pasir Madinah, cahaya Islam menjangkau negeri-negeri luas di timur, membawa pesan tauhid, keadilan, dan kesederhanaan yang kemudian melahirkan babak baru dalam peradaban dunia.
Penaklukan Persia di Masa Abu Bakar Ash-Shidiq
Awal Misi ke Irak / Persia Kuno (12 H / 633 M)
Setelah Perang Riddah usai, Khalifah Abu Bakr ash-Shiddīq ra duduk di majelisnya di Madinah. Udara gurun sore itu panas dan kering. Para sahabat senior hadir. Abu Bakr berkata dengan suara mantap:
“Wahai kaum muslimin, kita telah menaklukkan kemurtadan di Jazirah. Kini saatnya menyebarkan cahaya Islam ke luar tanah Arab. Ke arah timur berdiri kerajaan Persia, penuh kezaliman. Siapa yang akan membawa panji Allah ke negeri itu?”
Semua mata tertuju kepada satu orang: Khalid bin al-Walid ra, sang jenderal tak terkalahkan. Abu Bakr menatapnya dalam-dalam.
“Engkau adalah Pedang Allah. Pergilah, wahai Khalid, mulailah dari Irak. Jangan berhenti sampai Allah memberikan kemenangan.”
Khalid berdiri, mencium tangan khalifah, lalu berkata:
“Demi Allah, aku akan membawa pasukan ini hingga mereka tunduk pada kalimat Lā ilāha illallāh, atau aku mati di jalan itu.”
Jumlah Pasukan dan Lawan
Pasukan Muslimin berjumlah sekitar 18.000 prajurit, terdiri dari kabilah-kabilah Arab yang setia setelah Perang Riddah. Pasukan Persia Sassanid jauh lebih besar, puluhan ribu, ditambah sekutu Arab Kristen dari suku-suku di Irak seperti Bani Taghlib dan Lakhmid.
Pertempuran Pertama – Dzat as-Salasil (12 H / 633 M)
Di tepi gurun Irak, pasukan Persia dipimpin oleh jenderal Hurmuz. Ia sombong, terkenal bengis, dan memakai kalung permata besar yang melegenda. Khalid memimpin pasukan Muslimin. Ia berkata kepada tentaranya sebelum pertempuran:
“Wahai prajurit Islam, jangan pandang jumlah mereka. Kita bukan melawan dengan kekuatan, tapi dengan iman. Ingatlah surga Allah menanti kalian.”
Pertempuran pecah. Pasukan Persia memasang rantai panjang untuk mengikat satu sama lain agar tidak ada yang mundur, karena itu disebut Pertempuran Rantai. Khalid menantang Hurmuz berduel. Dalam duel sengit, Khalid berhasil menebas leher Hurmuz. Pasukan Persia porak-poranda, banyak yang tewas dan lari.
Korban Persia ribuan tewas, sisanya melarikan diri. Dari pihak Muslimin hanya sedikit yang gugur, kemenangan telak diraih.
Pertempuran Ullais (12 H / 633 M)
Setelah kekalahan Hurmuz, Persia mengirim pasukan baru dibantu sekutu Arab Kristen. Pertempuran terjadi di dekat sungai Ullais. Muslimin hampir terdesak karena jumlah musuh sangat besar. Khalid menengadah ke langit dan berdoa:
“Ya Allah, jika Engkau beri kemenangan hari ini, aku akan bersumpah menumpahkan darah mereka seperti air sungai ini.”
Pertempuran berlangsung sengit. Akhirnya, pasukan Persia kalah. Begitu banyak yang terbunuh sehingga sungai di dekatnya benar-benar memerah oleh darah. Perang ini dikenal sebagai Yaum an-Nahr (Hari Penyembelihan) atau Pertempuran Sungai Darah.
Menurut riwayat al-Tabari, Persia dan sekutunya kehilangan lebih dari 70.000 prajurit. Dari pihak Muslimin, ratusan syahid, namun tetap meraih kemenangan.
Penaklukan Al-Hirah (12 H / 633 M)
Setelah Ullais, Khalid bergerak menuju al-Hirah, kota megah di tepi Eufrat, pusat kerajaan Lakhmid sekutu Persia. Penduduk al-Hirah ketakutan melihat kemenangan beruntun kaum muslimin. Mereka memilih berdamai. Sebuah perjanjian ditandatangani: mereka membayar jizyah (pajak perlindungan), dan kaum muslimin menjamin keamanan serta kebebasan beragama.
Dialog antara utusan al-Hirah dengan Khalid bin al-Walid dicatat dalam sejarah:
Utusan berkata, “Mengapa kalian datang ke negeri kami? Apakah karena lapar, atau ingin mengambil dunia kami?”
Khalid menjawab, “Kami datang bukan untuk dunia. Kami datang untuk mengeluarkan manusia dari penyembahan sesama makhluk kepada penyembahan hanya kepada Allah, dari sempitnya dunia menuju luasnya akhirat, dari kezaliman agama-agama menuju keadilan Islam.”
Penduduk pun terdiam, lalu tunduk pada perjanjian damai.
Akhir Ekspedisi di Masa Abu Bakr
Dalam satu tahun (12 H / 633 M), Khalid dan pasukannya berhasil menang di Dzat as-Salasil, Mazar, Walaja, Ullais, hingga al-Hirah. Jalan besar Islam di Irak pun terbuka, meski baru awal.
Namun menjelang akhir hayatnya (634 M / 13 H), Abu Bakr menulis surat kepada Khalid:
“Tinggalkan Irak, pergilah ke Syam. Pasukan di sana lebih membutuhkanmu melawan Bizantium.”
Maka pasukan Irak diserahkan kepada al-Muthanna bin Harithah, dan Khalid bergerak ke Syam.
Kesimpulan Sejarah
Tahun: 12 H / 633 M
Wilayah: Irak, perbatasan Persia
Pemimpin Muslim: Khalid bin al-Walid ra
Hasil: kemenangan demi kemenangan, Persia goyah
Dampak: membuka jalan bagi penaklukan besar di masa Umar bin Khattab (Qadisiyyah, Nahawand)
Ekspedisi Irak di masa Abu Bakr adalah awal benturan dua dunia: Persia Sassanid, imperium kuno yang megah namun lemah secara moral, dan Islam, kekuatan baru yang sederhana, penuh iman, dan visioner.
Penaklukan Persia di Masa Umar bin Khattab
Persiapan Besar (14 H / 635 M – 15 H / 636 M)
Setelah wafatnya Abu Bakr ash-Shiddīq, tongkat kepemimpinan jatuh ke tangan Umar bin Khattab ra. Umar dikenal keras, tegas, dan penuh wibawa. Ketika kabar datang bahwa Persia mulai menguat kembali dan hendak membalas kekalahan mereka di Irak, Umar segera mengumpulkan para sahabat di Madinah.
Dalam musyawarah, sebagian sahabat berkata, “Wahai Amirul Mukminin, Persia adalah negeri besar, pasukan mereka tak terhitung jumlahnya. Jangan terburu-buru.”
Namun Umar menjawab dengan mantap, “Demi Allah, kita tidak mengejar dunia mereka. Kita hanya membawa hidayah Allah. Jika mereka menolak, maka tidak ada jalan lain selain pertempuran.”
Maka Umar memutuskan mengirim pasukan besar menuju Irak. Panglima yang dipilih adalah Sa’d bin Abi Waqqash ra, sahabat senior yang dikenal saleh, ahli doa, dan termasuk sepuluh sahabat yang dijanjikan surga.
Pertempuran Qadisiyyah (15 H / 636 M)
Medan Qadisiyyah menjadi saksi pertempuran terbesar antara Persia Sassanid dan kaum muslimin. Pasukan muslim berjumlah sekitar 30.000 orang, sementara pasukan Persia di bawah pimpinan Rustum Farrokhzad mencapai 120.000, lengkap dengan gajah-gajah perang yang menakutkan.
Hari pertama, pasukan muslim hampir terdesak oleh gajah-gajah Persia. Kuda-kuda mereka takut dan barisan kacau. Namun seorang sahabat bernama Asim bin Amr menebas mata gajah hingga binatang itu mengamuk menabrak barisan Persia sendiri.
Hari kedua dan ketiga berlangsung sengit. Sa’d bin Abi Waqqash sakit parah, ia memimpin dari atas menara kecil, memberi komando sambil berbaring, menulis perintah di atas anak panah lalu dilemparkan ke pasukan.
Hari keempat, disebut Yaum al-Qadisiyyah al-A’zam (Hari Agung Qadisiyyah). Rustum, jenderal Persia, turun langsung ke medan. Namun seorang sahabat pemberani, Hilal bin ‘Ullafah, berhasil menerobos hingga menebas Rustum. Melihat jenderal mereka mati, pasukan Persia goyah lalu lari tunggang langgang.
Korban Persia dikatakan puluhan ribu tewas. Dari pihak muslimin, sekitar 8.000 syahid. Namun kemenangan mutlak diraih.
Penaklukan Mada’in (16 H / 637 M)
Setelah Qadisiyyah, pasukan muslim bergerak menuju Mada’in, ibukota agung Persia. Di kota itu berdiri istana legendaris Kisra, Taq Kasra, dengan kubah raksasa yang menjulang. Penduduk kota gemetar menyaksikan barisan muslim mendekat.
Ketika mereka tiba di tepi Sungai Tigris, air meluap deras. Para sahabat ragu, “Bagaimana kita menyeberang?”
Sa’d bin Abi Waqqash berdoa, lalu berkata, “Wahai pasukan Allah, masuklah dengan nama Allah.” Maka kuda-kuda muslim menyeberangi sungai yang deras seakan berjalan di atas tanah. Air tidak menenggelamkan mereka. Penduduk Mada’in melihatnya dengan mata kepala sendiri, dan mereka yakin itu pertolongan Tuhan.
Kota pun jatuh ke tangan muslimin tanpa perlawanan berarti. Di istana Kisra, mereka menemukan harta karun yang tak terhitung: permadani megah, emas, perak, dan permata. Semua dibawa ke Madinah. Umar menangis ketika melihat harta itu, lalu berkata, “Ya Allah, Engkau yang menjaga harta ini untuk kami, maka janganlah Engkau jadikan kami orang yang rakus dunia.”
Pertempuran Nahawand (21 H / 642 M)
Meski kehilangan ibukota, Persia belum menyerah. Mereka mengumpulkan kekuatan terakhir di Nahawand, dengan pasukan besar mencapai 150.000 prajurit. Umar kembali bermusyawarah. Sebagian sahabat meminta beliau sendiri memimpin. Namun Umar menjawab, “Aku tetap di Madinah. Jika aku keluar, seluruh jazirah akan goyah. Aku akan kirim panglima terbaik.”
Maka ditunjuklah Nu’man bin Muqrin ra sebagai panglima. Pasukan muslim sekitar 30.000. Pertempuran berlangsung lama. Persia membentengi diri di kota Nahawand. Nu’man lalu membuat taktik: ia pura-pura mundur, sehingga Persia keluar dari benteng mereka. Ketika mereka mengejar, pasukan muslim berbalik menyerang.
Perang menjadi sengit. Nu’man bin Muqrin sendiri gugur sebagai syahid, tetapi bendera Islam tetap berkibar di tangan Hudzaifah bin al-Yaman. Akhirnya Persia porak-poranda. Kemenangan besar ini dikenal sebagai Fath al-Futuh (Kemenangan dari Segala Kemenangan).
Dampak Penaklukan
Dengan Nahawand, kekuatan Persia hancur. Kota-kota besar mereka satu demi satu jatuh: Hamadan, Isfahan, Ray, hingga Khurasan. Sassanid kehilangan wibawa. Kisra Yazdegerd III lari dari satu kota ke kota lain, hingga akhirnya tewas terbunuh di Merv.
Umar bin Khattab menegaskan kepada para panglimanya, “Jangan zalimi penduduk. Jangan robohkan gereja atau kuil mereka. Ambil jizyah dengan adil. Lindungi mereka sebagaimana kalian melindungi saudara kalian.”
Maka penduduk Persia menyaksikan bahwa Islam datang bukan sebagai perampas, tetapi sebagai pembebas.
Kesimpulan
Pertempuran Qadisiyyah (15 H) membuka pintu kemenangan besar. Penaklukan Mada’in (16 H) meruntuhkan pusat kerajaan Persia. Pertempuran Nahawand (21 H) menghancurkan kekuatan Persia untuk selamanya.
Dengan tiga peristiwa itu, imperium Persia Sassanid yang berdiri ratusan tahun runtuh total. Islam hadir bukan sekadar menaklukkan wilayah, tetapi juga membawa peradaban baru, hukum yang adil, serta persaudaraan umat manusia di bawah kalimat Lā ilāha illallāh.
Penutup
Sejarah penaklukan Persia adalah bukti nyata bagaimana Islam tumbuh dari kesederhanaan menjadi peradaban agung yang mengguncang dunia. Dari tangan para sahabat mulia, Abu Bakr ash-Shiddīq ra, Umar bin Khattab ra, Khalid bin al-Walid ra, hingga Sa’d bin Abi Waqqash ra, runtuhlah imperium Kisra yang selama berabad-abad berdiri megah. Penaklukan ini tidak semata-mata kemenangan militer, melainkan penggenapan nubuwah Rasulullah ﷺ, sekaligus pembuka jalan bagi lahirnya peradaban Islam di timur. Dari tanah Persia, ilmu, budaya, dan hikmah Islam berkembang, menyatu dengan warisan lokal, lalu melahirkan babak baru dalam sejarah umat manusia. Maka, penaklukan Persia tidak hanya menandai berakhirnya sebuah kekaisaran, tetapi juga dimulainya zaman kejayaan Islam yang bercahaya hingga berabad-abad lamanya.