Fikroh.com - Fenomena manusia yang “gampang menjadi penjilat” bukanlah hal asing dalam kehidupan sosial. Istilah “penjilat” merujuk pada orang yang gemar mencari muka, berlebihan dalam memuji, atau merendahkan diri secara tidak proporsional demi mendapatkan keuntungan pribadi. Perilaku ini sering muncul di lingkungan kerja, politik, organisasi, bahkan dalam lingkup pertemanan. Meskipun tampak sebagai strategi untuk bertahan hidup atau naik posisi, sikap menjilat menyimpan konsekuensi serius, baik secara moral maupun sosial. Untuk memahami akar permasalahan ini, kita perlu meninjaunya dari tiga sudut: psikologis, sosiologis, dan agama.
1. Perspektif Psikologis
Dari sisi psikologi, ada beberapa faktor yang mendorong seseorang menjadi penjilat.
a. Rasa Tidak Percaya Diri
Orang yang mudah menjilat biasanya memiliki self-esteem yang rendah. Mereka merasa tidak mampu bersaing dengan kompetensi asli, sehingga memilih jalan pintas: mencari perhatian lewat pujian yang berlebihan. Dalam teori Abraham Maslow tentang hierarki kebutuhan, individu seperti ini sedang berusaha memenuhi kebutuhan akan pengakuan (esteem needs), tetapi tidak mampu mencapainya dengan prestasi nyata, melainkan lewat cara instan: menyenangkan atasan atau orang berpengaruh.
b. Kecemasan Sosial
Psikologi juga menyinggung social anxiety atau kecemasan sosial sebagai faktor. Seseorang yang takut ditolak, takut kehilangan posisi, atau takut dianggap “biasa-biasa saja” akan cenderung memilih strategi aman: mendekat dan selalu sejalan dengan orang yang lebih kuat. Menjilat memberi rasa aman palsu, karena dianggap mengurangi risiko konflik.
c. Mekanisme Coping
Dalam psikologi, “coping mechanism” adalah cara seseorang menghadapi tekanan. Menjilat bisa dianggap sebagai mekanisme coping maladaptif: bukan solusi sehat, tapi dianggap “jalan cepat” untuk bertahan di situasi kompetitif. Alih-alih mengembangkan keterampilan, individu justru mengembangkan kelicikan.
d. Pola Asuh Masa Kecil
Beberapa penelitian psikologi perkembangan menunjukkan bahwa anak yang dibesarkan dalam lingkungan otoriter—di mana suara anak tidak dihargai, dan satu-satunya cara mendapat perhatian adalah dengan menyenangkan orang tua—berpotensi tumbuh menjadi dewasa yang terbiasa “cari muka”. Mereka belajar sejak kecil bahwa untuk diterima, mereka harus selalu menyesuaikan diri secara berlebihan dengan figur otoritas.
2. Perspektif Sosiologis
Dari segi sosiologi, perilaku penjilat bukan hanya masalah individu, melainkan juga dipengaruhi struktur sosial.
a. Budaya Feodalisme
Di banyak masyarakat, terutama yang masih kental dengan budaya hierarki, perilaku menjilat dianggap “normal”. Misalnya, bawahan selalu memuji atasan, murid selalu mengagungkan guru, atau rakyat selalu mengangkat penguasa. Dalam kerangka teori Pierre Bourdieu, ini bisa dilihat sebagai bentuk habitus: kebiasaan kolektif yang diwariskan dari generasi ke generasi. Menjilat lahir karena ada struktur sosial yang mendukungnya.
b. Sistem Patronase
Dalam konteks politik dan organisasi, penjilatan sangat terkait dengan sistem patron-klien. Patron (atasan, pejabat, tokoh berpengaruh) menyediakan fasilitas, posisi, atau perlindungan; sementara klien (bawahan, pekerja, rakyat kecil) memberi loyalitas bahkan dalam bentuk kepatuhan berlebihan. Menjilat dalam hal ini adalah strategi sosial untuk mempertahankan posisi dalam sistem patronase.
c. Tekanan Kompetisi Sosial
Dalam masyarakat modern yang serba kompetitif, posisi, gaji, atau status sosial menjadi rebutan. Bagi sebagian orang, kerja keras dianggap tidak cukup. Maka, menjilat dipakai sebagai “senjata taktis” agar terlihat lebih dekat dengan pengambil keputusan. Dalam perspektif teori sosiologi fungsionalisme Robert K. Merton, ini bisa disebut sebagai bentuk innovative adaptation, yakni mencari cara “tidak biasa” (meski tidak sehat) untuk meraih tujuan sosial yang dihargai.
d. Norma dan Legitimasi
Sosiologi juga melihat bahwa perilaku menjilat bisa tumbuh subur ketika lingkungan tidak menegakkan meritokrasi (sistem penghargaan berdasarkan prestasi). Jika yang dihargai justru orang yang pandai menyenangkan atasan ketimbang yang benar-benar berprestasi, maka penjilatan akan terus berkembang. Dengan kata lain, masyarakat memberi legitimasi terhadap perilaku ini.
3. Perspektif Agama
Dalam pandangan agama, khususnya Islam, sikap penjilat termasuk perilaku tercela. Beberapa alasan yang dapat ditinjau:
a. Larangan Berlebihan dalam Memuji
Rasulullah ﷺ pernah bersabda dalam sebuah hadis riwayat Muslim:
"Jika kalian melihat orang-orang yang suka memuji secara berlebihan, maka taburkanlah debu ke wajah mereka."
Hadis ini menegaskan bahwa pujian yang berlebihan tidak disukai, apalagi jika motivasinya untuk mencari keuntungan duniawi. Menjilat jelas masuk kategori ini.
b. Kehilangan Keikhlasan
Dalam Islam, segala amal harus diniatkan ikhlas karena Allah. Menjilat menodai keikhlasan, sebab pujian atau sikap baik bukan karena tulus, melainkan demi memperoleh kedudukan atau harta. Ini dekat dengan sifat riya (pamer), yang oleh Al-Qur’an disebut sebagai bagian dari kemunafikan:
"Maka celakalah orang-orang yang shalat, (yaitu) mereka yang lalai dari shalatnya, yang berbuat riya." (QS. Al-Ma’un: 4–6).
c. Mengandung Kemunafikan
Dalam agama, penjilatan identik dengan kemunafikan sosial. Di depan atasan ia berkata manis, di belakang mungkin berbeda. Nabi Muhammad ﷺ bersabda:
"Tanda orang munafik ada tiga: jika berkata ia berdusta, jika berjanji ia mengingkari, dan jika dipercaya ia berkhianat." (HR. Bukhari-Muslim).
Menjilat adalah bagian dari kedustaan, sebab kata-kata manis yang diucapkan tidak sesuai dengan isi hati.
d. Merusak Tatanan Keadilan
Agama mengajarkan keadilan dan meritokrasi: yang berilmu harus didahulukan, yang berprestasi diberi penghargaan. Jika penjilat justru yang naik, maka terjadi kerusakan sosial. Al-Qur’an mengingatkan agar manusia berlaku adil dan tidak memakan hak orang lain dengan cara batil (QS. An-Nisa: 29).
4. Mengapa Menjilat Tetap Subur?
Meski secara psikologis lemah, sosiologis tidak sehat, dan agama melarang, mengapa praktik penjilatan tetap marak?
- Karena efektif jangka pendek. Penjilat sering mendapat perhatian atasan, sekalipun tidak berkompeten.
- Kurangnya kontrol sosial. Jika lingkungan membiarkan, penjilatan dianggap normal.
- Krisis spiritual. Hati yang kosong dari keikhlasan membuat seseorang mudah tergoda duniawi.
- Budaya permisif. Di masyarakat tertentu, menjilat dianggap strategi cerdas, bukan aib.
5. Solusi Mengatasi Budaya Penjilat
Agar perilaku ini tidak merusak kehidupan sosial, diperlukan beberapa langkah:
- Secara individu: meningkatkan kepercayaan diri, mengasah kemampuan nyata, dan membiasakan kejujuran dalam interaksi.
- Secara sosial: membangun budaya meritokrasi, di mana yang dihargai adalah kerja nyata, bukan sekadar pujian.
- Secara spiritual: menanamkan nilai ikhlas, menjauhi riya, dan membiasakan berkata jujur sesuai realita.
Penutup
Menjilat adalah gejala sosial-psikologis yang kompleks. Dari segi psikologis, ia lahir dari rasa rendah diri, kecemasan, dan pola asuh tertentu. Dari segi sosiologis, ia tumbuh subur dalam budaya hierarkis, sistem patronase, dan lemahnya meritokrasi. Dari segi agama, ia jelas tercela karena menodai keikhlasan, mengandung kedustaan, dan merusak keadilan. Walaupun efektif sesaat, perilaku menjilat dalam jangka panjang menghancurkan individu dan masyarakat. Oleh sebab itu, setiap orang dituntut untuk melawan godaan menjadi penjilat, dengan membangun karakter jujur, percaya diri, serta berpegang pada prinsip keadilan dan keikhlasan.