Fikroh.com - Beberapa waktu terakhir, istilah living together semakin sering terdengar dalam percakapan anak muda di kota-kota besar. Istilah ini dipakai untuk menggambarkan pasangan yang memilih tinggal bersama tanpa ikatan pernikahan. Padahal, dalam budaya Indonesia, praktik ini sudah lama dikenal dengan sebutan “kumpul kebo.” Sebuah istilah yang mengandung konotasi negatif, tegas, dan tidak memberi ruang pembenaran.
Namun, penggunaan istilah asing living together seolah memberi wajah baru. Ia terdengar lebih modern, lebih netral, bahkan dianggap lebih sopan. Padahal, di balik pergeseran bahasa ini tersimpan masalah besar: terjadinya normalisasi perilaku yang sebenarnya tercela, baik dari perspektif agama, moral, maupun budaya lokal.
Pergeseran Bahasa, Pergeseran Nilai
Bahasa tidak pernah netral. Kata-kata yang kita gunakan membentuk cara berpikir dan memengaruhi nilai yang kita anut. Ketika masyarakat menggunakan istilah “kumpul kebo,” ada stigma yang melekat. Istilah itu keras, kasar, dan penuh peringatan moral. Pelaku kumpul kebo dianggap menyalahi norma agama, melanggar adat, dan menanggung aib sosial.
Namun, ketika istilah itu diganti menjadi living together, maknanya seolah dicuci. Bahasa Inggris memberi kesan keren, modern, bahkan terhormat. Seperti ada lapisan “sopan santun” yang menutupi bobroknya perilaku itu. Padahal, apakah dosanya berkurang hanya karena dibungkus dengan istilah asing? Tentu tidak.
Fenomena ini mencerminkan bagaimana masyarakat kita perlahan terjebak dalam jebakan bahasa. Pergeseran istilah bukan sekadar soal gaya, tetapi juga berdampak pada kesadaran moral. Yang tadinya jelas salah, lama-lama tampak bisa dimaklumi. Yang tadinya dianggap aib, lama-lama dianggap “pilihan hidup.”
Normalisasi Gaya Hidup Barat
Tak bisa dipungkiri, budaya Barat punya pengaruh besar dalam gaya hidup generasi muda Indonesia. Melalui film, serial, musik, hingga konten media sosial, mereka terbiasa melihat pasangan yang tinggal serumah tanpa menikah sebagai hal biasa. Di negara-negara Barat, living together memang dianggap sah-sah saja. Tidak ada stigma, tidak ada aib.
Masalahnya, pola pikir ini diimpor begitu saja tanpa mempertimbangkan konteks budaya dan agama di Indonesia. Padahal, negeri ini punya akar nilai yang berbeda. Kita punya norma agama yang jelas melarang hubungan di luar nikah. Kita punya budaya yang menjaga kehormatan keluarga. Kita punya sistem sosial yang menilai pernikahan sebagai ikatan suci, bukan sekadar kontrak tinggal bersama.
Ketika istilah living together dipakai di Indonesia, ia bukan hanya soal gaya bahasa. Ia adalah pintu masuk normalisasi gaya hidup asing yang bertabrakan dengan nilai dasar masyarakat kita.
Media dan Konten Digital: Agen Pencuci Makna
Media massa dan konten digital punya andil besar dalam pergeseran makna ini. Banyak media memilih menggunakan istilah living together ketimbang “kumpul kebo,” dengan alasan lebih netral, lebih halus, dan tidak menghakimi. Konten hiburan, drama, atau bahkan influencer di media sosial pun ikut menyebarkan istilah ini, seolah-olah ia hanyalah gaya hidup biasa.
Padahal, di sinilah letak bahaya. Bahasa yang “terlalu sopan” justru membuat publik kehilangan kewaspadaan. Living together terdengar lebih adem, lebih bisa diterima. Padahal, esensinya tetap sama: hubungan di luar nikah yang dilarang agama, tidak mendapat perlindungan hukum, dan berisiko besar merugikan terutama pihak perempuan.
Dampak Nyata: Perempuan yang Paling Dirugikan
Mari kita bicara dampak nyata. Dalam praktik living together, pihak perempuanlah yang paling rentan dirugikan. Jika terjadi kehamilan di luar nikah, perempuan menanggung stigma sosial, seringkali ditolak keluarga, bahkan dicap membawa aib. Anak yang lahir bisa kehilangan hak-haknya secara hukum.
Tanpa ikatan pernikahan, perempuan juga tidak mendapat perlindungan legal. Tidak ada hak nafkah, tidak ada jaminan status, dan tidak ada kepastian masa depan. Ketika hubungan kandas, perempuan sering ditinggalkan dalam keadaan hancur, baik secara sosial maupun psikologis.
Sementara itu, laki-laki bisa lebih mudah lepas tangan. Beban sosial lebih ringan bagi mereka. Di sinilah ketidakadilan gender semakin tampak. Maka, wajar jika praktik living together justru memperbesar kerentanan perempuan dalam masyarakat.
Perspektif Agama: Dosa yang Tidak Bisa Disulap
Dalam perspektif agama, hubungan di luar nikah jelas dilarang. Islam, Kristen, Hindu, maupun agama-agama besar lainnya menegaskan bahwa ikatan suci pernikahan adalah pintu satu-satunya untuk melegalkan hubungan laki-laki dan perempuan.
Mengganti istilah “kumpul kebo” menjadi living together tidak mengubah hukum agama. Tidak ada “diskon dosa” hanya karena dibungkus dengan istilah modern. Tetap saja ia zina, tetap saja aib, tetap saja membawa kerusakan bagi individu dan masyarakat.
Agama menekankan pernikahan bukan hanya sebagai ikatan pribadi, tetapi juga sebagai fondasi masyarakat yang sehat. Tanpa pernikahan, hubungan yang dibangun hanya bersifat rapuh dan rawan merusak tatanan sosial.
Kekhawatiran Orang Tua: Masa Depan Generasi
Banyak orang tua mulai merasa cemas. Mereka khawatir anak-anak mereka menganggap living together sebagai sesuatu yang biasa, bahkan keren. Kekhawatiran ini bukan tanpa alasan. Normalisasi istilah bisa berujung pada normalisasi perilaku.
Bayangkan jika suatu hari percakapan anak muda di kafe terdengar seperti ini:
“Ya ampun, dia sama pacarnya udah living together loh. Sweet banget, kayak di film-film Barat.”
Apakah itu masa depan yang kita inginkan? Apakah kita rela melihat perilaku tercela dianggap romantis?
Kembalikan Kejujuran Bahasa
Di sinilah poin pentingnya: mari kita kembalikan kejujuran bahasa. Jangan menyulap sesuatu yang pahit menjadi seolah manis. Jangan memoles dosa dengan istilah keren. Jangan menipu diri dengan kata-kata.
Jika memang itu kumpul kebo, sebut saja kumpul kebo. Jangan dihaluskan jadi living together. Karena kalau dari bahasanya saja kita sudah tidak jujur, bagaimana mungkin kita berharap moralnya tetap terjaga?
Bahasa adalah pintu nilai. Jika pintu itu sudah kita rusak, maka nilai di dalamnya pun pelan-pelan akan runtuh.
Penutup: Katakan “Tidak” pada Living Together
Fenomena living together bukan sekadar soal gaya hidup pribadi. Ia adalah gejala sosial yang menggerus nilai, melemahkan budaya, dan merugikan banyak pihak, terutama perempuan. Normalisasi istilah asing hanya mempercepat proses itu.
Maka, sudah saatnya kita tegas berkata: Say No to Living Together.
Bukan hanya karena ia bertentangan dengan agama dan budaya, tetapi juga karena ia merusak kejujuran sosial kita.
Kita perlu kembali pada bahasa yang jujur, nilai yang jelas, dan norma yang tegas. Agar generasi mendatang tidak terjebak dalam kebingungan moral yang semakin kabur.
Karena sejatinya, menyebut sesuatu dengan nama aslinya adalah bentuk kejujuran paling mendasar. Dan dari kejujuran itulah, moral masyarakat bisa tetap berdiri tegak.