Notification

×

Iklan

Iklan

Memahami Oligarki Melalui The Godfather Karya Mario Puzo

Kamis | September 18, 2025 WIB | 0 Views
Memahami Oligarki Melalui The Godfather Karya Mario Puzo

Fikroh.com - Novel The Godfather karya Mario Puzo pertama kali terbit pada tahun 1969, dan segera menjadi ikon dalam literatur populer Amerika. Kepopulerannya semakin melegenda ketika Francis Ford Coppola mengangkatnya ke layar lebar pada tahun 1972. Sekilas, buku ini tampak hanya sebagai kisah tentang mafia Sisilia di New York, penuh dengan intrik kriminal, kekerasan, dan konflik keluarga. Namun, apabila dibaca secara lebih mendalam, karya Puzo ini menyuguhkan lebih dari sekadar kisah mafia. Ia menyingkap logika kekuasaan, politik kekerasan, patronase, dan jaringan keluarga dalam dunia modern—sebuah refleksi tentang bagaimana negara, hukum, dan kriminalitas sering kali tidak terpisah, melainkan berkelindan dalam hubungan saling menopang.

Dengan demikian, The Godfather bisa dipandang bukan hanya sebagai karya sastra kriminal, tetapi juga alegori politik dan kapitalisme modern. Melalui kisah keluarga Corleone, Puzo merekam realitas tentang bagaimana kelompok-kelompok tertentu membangun “negara dalam negara”, menciptakan tatanan paralel yang sering kali lebih dipercaya masyarakat dibanding hukum formal. Membaca novel ini dalam konteks Indonesia membuat kita seperti melihat cermin: sejarah politik kita sarat dengan praktik patronase, loyalitas, dan kekerasan yang serupa dengan dunia mafia dalam The Godfather.
 

Mafia Sebagai Oligarki Awal


Keluarga Corleone, salah satu dari “lima keluarga” mafia besar di New York, menjadi pusat cerita. Don Vito Corleone, sang patriark, adalah figur karismatik yang bijaksana namun tidak segan menggunakan kekerasan apabila diplomasi gagal. Ia bukan sekadar pemimpin kriminal, tetapi juga simbol otoritas yang membangun sistem alternatif bagi orang-orang yang tidak dilayani negara.

Novel ini menunjukkan bagaimana mafia membangun struktur kekuasaan paralel: mereka memiliki aturan sendiri, pengadilan sendiri, dan mekanisme “keadilan” sendiri. Tidak jarang, masyarakat lebih mempercayai keadilan mafia daripada hukum negara yang dianggap lamban, bias, atau korup. Inilah cikal bakal oligarki: kekuasaan segelintir orang yang memadukan kekuatan ekonomi, jaringan sosial, dan kontrol kekerasan untuk menciptakan dominasi yang stabil.
 

Patronase Politik dan Budaya Loyalitas


Salah satu kekuatan utama The Godfather adalah kemampuannya menggambarkan politik patronase. Don Vito Corleone dipanggil “Godfather” bukan hanya karena terornya, melainkan karena ia memberikan perlindungan, bantuan hukum, kepastian usaha, bahkan pekerjaan kepada banyak orang. Sebagai imbalannya, mereka yang menerima jasa tersebut wajib menunjukkan loyalitas tanpa batas.

Pola ini sangat relevan dengan politik Indonesia. Budaya patronase telah mengakar sejak masa kerajaan, di mana raja atau bangsawan memberikan tanah dan perlindungan, sedangkan rakyat membalas dengan kesetiaan. Orde Baru melanjutkan pola ini dalam wujud modern: negara memberikan konsesi ekonomi, kroni memberikan dukungan politik. Hingga hari ini, praktik patronase masih terlihat dalam politik elektoral maupun ekonomi nasional.

Ungkapan terkenal Don Vito, “I’m gonna make him an offer he can’t refuse,” bukan sekadar ancaman, tetapi simbol logika kekuasaan. Tawaran itu mungkin terlihat wajar secara formal, tetapi di baliknya terkandung ancaman kekerasan yang tidak kasat mata. Pola serupa kita jumpai dalam politik Indonesia: dari praktik politik uang hingga kriminalisasi lawan politik, semuanya memperlihatkan bahwa kekuasaan dijalankan dengan kombinasi tawaran dan ancaman.
 

Negara, Kriminalitas, dan Kapitalisme


Banyak yang menganggap The Godfather sekadar kisah kriminalitas. Namun, bila dibaca secara kritis, ia adalah alegori tentang kapitalisme modern. Mafia dalam novel bukan sekadar penjahat, melainkan representasi oligarki yang menguasai pasar, mengendalikan politik, dan menyuap aparat serta politisi.

Fenomena mafia di Amerika lahir dari sejarah migrasi Italia Selatan, di mana kaum imigran miskin yang termarjinalkan hukum membangun solidaritas sendiri. Dari situ lahir Cosa Nostra—“urusan kita”—yang berkembang menjadi sindikat global. Dengan kata lain, mafia muncul sebagai strategi survival kelompok tertindas ketika negara gagal memberi perlindungan.

Indonesia memiliki kisah yang tidak jauh berbeda. Jaringan premanisme urban, yang sering berkedok organisasi masyarakat (ormas), berkembang sejak era kolonial hingga Orde Baru. Tidak jarang, negara justru melegitimasi dan memelihara mereka demi stabilitas politik. Hubungan simbiotik antara kekuasaan formal dan informal ini menjadi ciri khas politik Indonesia, sama seperti hubungan mafia dengan negara dalam The Godfather.
 

Dari Orde Baru ke Oligarki Kontemporer


Membaca The Godfather dalam konteks Indonesia seperti membaca sejarah gelap bangsa ini. Orde Baru memperlihatkan dengan jelas bagaimana patronase, kekerasan, dan kapitalisme berjalin. Jaringan militer, pengusaha, dan preman menjadi semacam “keluarga besar” yang menguasai negara.

Pasca-Reformasi, banyak yang berharap sistem semacam ini runtuh. Namun, kenyataannya oligarki justru semakin menguat, hanya dengan wajah baru. Partai politik berubah menjadi kendaraan keluarga atau kelompok bisnis. Pemilu tidak menjadi arena kompetisi ideologi, tetapi distribusi patronase.

Di sini, transformasi Michael Corleone relevan untuk dibaca sebagai metafora. Michael tampil lebih dingin, modern, dan strategis dibanding Don Vito. Demikian pula oligarki Indonesia kini tidak selalu mengandalkan kekerasan fisik, melainkan kekuatan finansial, media, serta kendali atas aparat hukum. Namun, esensi kekuasaannya tetap sama: jaringan informal lebih dominan daripada hukum formal.
 

Kritik Puzo: Glorifikasi atau Sindiran?


Salah satu kritik terhadap The Godfather adalah kecenderungannya meromantisasi mafia. Don Vito digambarkan sebagai sosok bijak dan penuh etika, bahkan lebih manusiawi dibanding politisi atau aparat negara. Banyak pembaca akhirnya terjebak dalam glorifikasi mafia.

Namun, Puzo sesungguhnya sedang menyindir. Dengan membuat mafia tampak lebih bermoral dibanding negara, ia justru menyoroti betapa bobroknya sistem hukum dan politik Amerika. Ketika masyarakat lebih percaya pada mafia ketimbang negara, itu adalah kritik paling tajam terhadap kegagalan kapitalisme dan demokrasi liberal.

Fenomena ini juga kita saksikan di Indonesia. Tidak jarang masyarakat lebih percaya pada tokoh informal—kyai, jawara, preman, atau “orang kuat lokal”—dibanding aparat negara. Alasannya sederhana: mereka dianggap lebih cepat memberikan solusi konkret dibanding birokrasi negara yang lamban.
 

Relevansi Hingga Kini


Lebih dari lima dekade sejak terbit, The Godfather tetap relevan. Dunia masih menyaksikan bagaimana jaringan kekuasaan informal, oligarki, dan kriminalitas transnasional beroperasi. Dari kartel narkoba Meksiko, mafia Rusia, hingga sindikat keuangan global, semuanya menggunakan logika patronase, loyalitas, dan kekerasan yang serupa.

Di Indonesia, pola ini terlihat jelas dalam bagaimana elite politik membangun dinasti, menguasai sumber daya, dan memanfaatkan hukum sebagai alat kontrol. Dengan demikian, The Godfather dapat dibaca sebagai “manual” untuk memahami politik kekuasaan di mana pun: bahwa di balik demokrasi dan kapitalisme, selalu ada mekanisme informal yang sering lebih menentukan.
 

Penutup


The Godfather karya Mario Puzo bukan hanya novel kriminal, melainkan kritik sosial dan refleksi politik. Ia adalah alegori tentang kapitalisme modern dan oligarki kontemporer. Bagi pembaca Indonesia, novel ini tidak sekadar hiburan, tetapi juga cermin sejarah: dari patronase kerajaan, jaringan Orde Baru, hingga oligarki pascareformasi.

Seperti keluarga Corleone, elite politik di Indonesia menjalankan kekuasaan melalui kombinasi patronase, loyalitas, dan ancaman, dengan wajah yang terus bertransformasi sesuai zaman. Oleh sebab itu, membaca The Godfather secara kritis berarti memahami bahwa kekuasaan, di manapun, sering kali lebih mirip mafia daripada institusi demokratis yang ideal.
×
Berita Terbaru Update