Fikroh.com - Makan merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia. Islam sebagai agama yang sempurna tidak hanya mengatur soal ibadah ritual, tetapi juga memberikan tuntunan dalam hal konsumsi makanan. Allah ﷻ memperbolehkan umat-Nya untuk menikmati makanan yang halal lagi baik (halalan thayyiban), bahkan Rasulullah ﷺ juga tidak melarang seorang muslim menikmati makanan yang lezat. Namun, Islam memberikan batasan tegas agar jangan sampai kenikmatan itu menjadikan seseorang terjebak pada sikap berlebihan (israf).
Dalam konteks modern, pembahasan ini semakin relevan. Fenomena konsumtif, budaya kuliner yang terus berkembang, hingga gaya hidup hedonis kerap membuat manusia lupa diri. Padahal, Islam menempatkan keseimbangan sebagai kunci, termasuk dalam soal makan.
Allah ﷻ berulang kali menegaskan dalam Al-Qur’an agar manusia tidak bersikap berlebihan dalam mengonsumsi makanan maupun harta. Salah satunya terdapat dalam firman-Nya:
“Makan dan minumlah, tetapi jangan berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.”
(QS. Al-A’raf: 31)
Ayat ini menegaskan bahwa makan dan minum merupakan perkara yang mubah, bahkan merupakan nikmat Allah yang harus disyukuri. Akan tetapi, Allah ﷻ tidak menyukai orang yang melampaui batas dalam mengonsumsinya.
Dalam ayat lain, Allah juga memperingatkan:
“Sesungguhnya orang-orang yang boros itu adalah saudara-saudara setan.” (QS. Al-Isra’: 27)
Ayat ini memperlihatkan betapa buruknya perilaku israf. Boros dan berlebihan dalam konsumsi makanan maupun harta disamakan dengan sifat setan, karena tidak membawa manfaat, bahkan mendatangkan mudarat bagi diri sendiri maupun orang lain.
Rasulullah ﷺ memberikan teladan terbaik dalam urusan makan. Beliau tidak menolak makanan yang tersedia, namun juga tidak pernah berlebihan. Dalam sebuah hadits disebutkan:
“Tidaklah anak Adam memenuhi suatu wadah yang lebih buruk daripada perutnya. Cukuplah bagi anak Adam beberapa suap makanan untuk menegakkan tulang punggungnya. Jika harus lebih, maka sepertiga untuk makanannya, sepertiga untuk minumnya, dan sepertiga untuk napasnya.” (HR. Tirmidzi, Ahmad, dan Ibnu Majah)
Hadits ini menekankan pentingnya menjaga keseimbangan dalam makan. Perut bukanlah wadah yang harus selalu penuh. Justru, membatasi diri agar tidak kekenyangan merupakan sunnah yang baik bagi kesehatan tubuh dan jiwa.
Dalam Islam, tidak ada larangan untuk menikmati makanan enak, selama halal dan thayyib. Allah ﷻ berfirman:
“Wahai manusia! Makanlah dari (makanan) yang halal lagi baik yang terdapat di bumi…”
(QS. Al-Baqarah: 168)
Ayat ini menunjukkan bahwa Allah ﷻ justru memerintahkan hamba-Nya untuk memakan makanan halal dan baik. Makanan yang enak, bergizi, dan bermanfaat tentu termasuk dalam kategori thayyib. Bahkan Rasulullah ﷺ sendiri terkadang menyukai makanan tertentu, seperti daging kambing, roti gandum, dan kurma.
Namun, kenikmatan itu tidak boleh menjadikan seseorang berlebihan atau menghambur-hamburkan harta. Ulama besar seperti Imam Al-Ghazali menekankan dalam Ihya’ Ulumiddin bahwa hakikat makan adalah untuk menjaga kekuatan tubuh agar dapat beribadah kepada Allah, bukan sekadar memenuhi hawa nafsu.
Berlebihan dalam makan memiliki dampak buruk, baik secara fisik maupun spiritual:
Kekenyangan dapat menimbulkan berbagai penyakit seperti obesitas, diabetes, gangguan pencernaan, hingga penyakit jantung. Imam Asy-Syafi’i pernah berkata:
“Aku tidak pernah kenyang selama 16 tahun, karena kenyang membuat tubuh berat, hati menjadi keras, hilang kecerdasan, lemah ibadah, dan mengundang tidur.”
Orang yang terbiasa hidup berlebihan seringkali kurang peduli terhadap orang miskin yang kekurangan. Padahal, Islam mendorong berbagi rezeki, misalnya dengan sedekah dan memberi makan fakir miskin.
Sikap berlebihan cenderung melahirkan sifat sombong, lalai dari ibadah, dan menuruti hawa nafsu. Inilah sebabnya Allah menegaskan bahwa Dia tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.
Agar seorang muslim terhindar dari sikap berlebihan (israf), Islam memberikan beberapa prinsip dasar dalam makan yang sejalan dengan Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah ﷺ.
Seorang muslim wajib memastikan makanan yang dikonsumsinya halal dari segi zat maupun cara memperolehnya, serta baik untuk kesehatan.
Dalil Al-Qur’an:
“Wahai manusia! Makanlah dari (makanan) yang halal lagi baik yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagimu.” (QS. Al-Baqarah: 168)
Dalil Hadits:
Rasulullah ﷺ bersabda:
“Sesungguhnya Allah itu baik dan tidak menerima kecuali yang baik. Allah memerintahkan orang-orang beriman sebagaimana Dia memerintahkan para rasul dengan firman-Nya: ‘Wahai para rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik dan beramal shalihlah…’” (HR. Muslim, no. 1015)
2. Tidak Berlebihan
Makan secukupnya sesuai kebutuhan tubuh. Islam melarang umatnya mengisi perut hingga kekenyangan yang berlebihan.
Dalil Al-Qur’an:
“Makan dan minumlah, tetapi jangan berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” (QS. Al-A’raf: 31)
Dalil Hadits:
Rasulullah ﷺ bersabda:
“Tidaklah anak Adam memenuhi suatu wadah yang lebih buruk daripada perutnya. Cukuplah bagi anak Adam beberapa suap makanan yang dapat menegakkan tulang punggungnya. Jika ia harus makan lebih, maka sepertiga untuk makanannya, sepertiga untuk minumannya, dan sepertiga untuk napasnya.” (HR. Tirmidzi, Ahmad, dan Ibnu Majah)
3. Berniat Ibadah
Makan sebaiknya diniatkan untuk menjaga kesehatan agar tubuh kuat beribadah kepada Allah, bukan sekadar memuaskan nafsu.
Dalil Al-Qur’an:
“Katakanlah: Siapakah yang berani mengharamkan perhiasan Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya, dan rezeki yang baik-baik? Katakanlah: semua itu (disediakan) bagi orang-orang beriman dalam kehidupan dunia (dan khusus) untuk mereka saja di hari kiamat.” (QS. Al-A’raf: 32)
Dalil Hadits:
Rasulullah ﷺ bersabda:
“Sesungguhnya setiap amal tergantung pada niat, dan setiap orang akan mendapatkan sesuai dengan apa yang ia niatkan…” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadits ini menunjukkan bahwa jika makan diniatkan untuk memperkuat ibadah, maka makan itu bernilai pahala.
4. Bersyukur
Makanan adalah nikmat Allah yang harus disyukuri dengan hati, lisan, dan perbuatan.
Dalil Al-Qur’an:
“Maka makanlah dari rezeki yang diberikan Allah kepadamu yang halal lagi baik, dan bersyukurlah atas nikmat Allah, jika hanya kepada-Nya kamu menyembah.” (QS. An-Nahl: 114)
Dalil Hadits:
Rasulullah ﷺ bersabda:
“Sesungguhnya Allah meridhai seorang hamba yang makan sekali lalu ia memuji Allah atasnya, dan minum sekali lalu ia memuji Allah atasnya.” (HR. Muslim, no. 2734)
Dengan keempat prinsip ini—makan makanan yang halal dan thayyib, tidak berlebihan, berniat ibadah, dan selalu bersyukur—seorang muslim tidak hanya menjaga kesehatannya, tetapi juga mendapatkan keberkahan dari setiap suapan yang ia nikmati.
Budaya kuliner masa kini sering memicu gaya hidup konsumtif. Banyak orang berlomba-lomba mencoba makanan mewah, bahkan rela menghabiskan uang berlebihan untuk sekadar gaya hidup. Fenomena “food waste” (pemborosan makanan) menjadi masalah global.
Islam mengajarkan umatnya untuk tidak ikut arus israf ini. Menikmati makanan lezat boleh saja, tetapi tetap dengan prinsip kesederhanaan dan tidak mubazir. Lebih baik kelebihan harta digunakan untuk membantu sesama, karena memberi makan orang lain jauh lebih bernilai daripada menumpuk hidangan untuk diri sendiri.
Islam bukanlah agama yang mengharamkan kenikmatan, termasuk dalam hal makan. Justru, Allah ﷻ menyediakan rezeki yang halal dan baik untuk dinikmati hamba-Nya. Namun, batasannya jelas: jangan sampai berlebihan.
Makan enak boleh, tetapi harus disertai sikap syukur, kesederhanaan, dan kepedulian. Dengan begitu, aktivitas makan tidak hanya menjaga kesehatan tubuh, tetapi juga menjadi sarana mendekatkan diri kepada Allah.
“Makanlah, minumlah, dan bersedekahlah, tetapi jangan berlebih-lebihan.” (HR. Ahmad)
Dalam konteks modern, pembahasan ini semakin relevan. Fenomena konsumtif, budaya kuliner yang terus berkembang, hingga gaya hidup hedonis kerap membuat manusia lupa diri. Padahal, Islam menempatkan keseimbangan sebagai kunci, termasuk dalam soal makan.
Dalil Al-Qur’an tentang Larangan Israf
Allah ﷻ berulang kali menegaskan dalam Al-Qur’an agar manusia tidak bersikap berlebihan dalam mengonsumsi makanan maupun harta. Salah satunya terdapat dalam firman-Nya:
وَكُلُوا وَاشْرَبُوا وَلَا تُسْرِفُوا ۚ إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ
“Makan dan minumlah, tetapi jangan berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.”
(QS. Al-A’raf: 31)
Ayat ini menegaskan bahwa makan dan minum merupakan perkara yang mubah, bahkan merupakan nikmat Allah yang harus disyukuri. Akan tetapi, Allah ﷻ tidak menyukai orang yang melampaui batas dalam mengonsumsinya.
Dalam ayat lain, Allah juga memperingatkan:
إِنَّ الْمُبَذِّرِينَ كَانُوا إِخْوَانَ الشَّيَاطِينِ
“Sesungguhnya orang-orang yang boros itu adalah saudara-saudara setan.” (QS. Al-Isra’: 27)
Ayat ini memperlihatkan betapa buruknya perilaku israf. Boros dan berlebihan dalam konsumsi makanan maupun harta disamakan dengan sifat setan, karena tidak membawa manfaat, bahkan mendatangkan mudarat bagi diri sendiri maupun orang lain.
Hadits Nabi tentang Kesederhanaan dalam Makan
Rasulullah ﷺ memberikan teladan terbaik dalam urusan makan. Beliau tidak menolak makanan yang tersedia, namun juga tidak pernah berlebihan. Dalam sebuah hadits disebutkan:
مَا مَلَأَ آدَمِيٌّ وِعَاءً شَرًّا مِنْ بَطْنٍ، بِحَسْبِ ابْنِ آدَمَ أُكُلَاتٌ يُقِمْنَ صُلْبَهُ، فَإِنْ كَانَ لا مَحَالَةَ فَثُلُثٌ لِطَعَامِهِ، وَثُلُثٌ لِشَرَابِهِ، وَثُلُثٌ لِنَفَسِهِ
“Tidaklah anak Adam memenuhi suatu wadah yang lebih buruk daripada perutnya. Cukuplah bagi anak Adam beberapa suap makanan untuk menegakkan tulang punggungnya. Jika harus lebih, maka sepertiga untuk makanannya, sepertiga untuk minumnya, dan sepertiga untuk napasnya.” (HR. Tirmidzi, Ahmad, dan Ibnu Majah)
Hadits ini menekankan pentingnya menjaga keseimbangan dalam makan. Perut bukanlah wadah yang harus selalu penuh. Justru, membatasi diri agar tidak kekenyangan merupakan sunnah yang baik bagi kesehatan tubuh dan jiwa.
Makan Enak Bukanlah Larangan
Dalam Islam, tidak ada larangan untuk menikmati makanan enak, selama halal dan thayyib. Allah ﷻ berfirman:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ كُلُوا مِمَّا فِي الْأَرْضِ حَلَالًا طَيِّبًا
“Wahai manusia! Makanlah dari (makanan) yang halal lagi baik yang terdapat di bumi…”
(QS. Al-Baqarah: 168)
Ayat ini menunjukkan bahwa Allah ﷻ justru memerintahkan hamba-Nya untuk memakan makanan halal dan baik. Makanan yang enak, bergizi, dan bermanfaat tentu termasuk dalam kategori thayyib. Bahkan Rasulullah ﷺ sendiri terkadang menyukai makanan tertentu, seperti daging kambing, roti gandum, dan kurma.
Namun, kenikmatan itu tidak boleh menjadikan seseorang berlebihan atau menghambur-hamburkan harta. Ulama besar seperti Imam Al-Ghazali menekankan dalam Ihya’ Ulumiddin bahwa hakikat makan adalah untuk menjaga kekuatan tubuh agar dapat beribadah kepada Allah, bukan sekadar memenuhi hawa nafsu.
Bahaya Israf dalam Makan
Berlebihan dalam makan memiliki dampak buruk, baik secara fisik maupun spiritual:
Gangguan Kesehatan
Kekenyangan dapat menimbulkan berbagai penyakit seperti obesitas, diabetes, gangguan pencernaan, hingga penyakit jantung. Imam Asy-Syafi’i pernah berkata:
“Aku tidak pernah kenyang selama 16 tahun, karena kenyang membuat tubuh berat, hati menjadi keras, hilang kecerdasan, lemah ibadah, dan mengundang tidur.”
Mengurangi Kepekaan Sosial
Orang yang terbiasa hidup berlebihan seringkali kurang peduli terhadap orang miskin yang kekurangan. Padahal, Islam mendorong berbagi rezeki, misalnya dengan sedekah dan memberi makan fakir miskin.
Menjauhkan dari Allah
Sikap berlebihan cenderung melahirkan sifat sombong, lalai dari ibadah, dan menuruti hawa nafsu. Inilah sebabnya Allah menegaskan bahwa Dia tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.
Prinsip Makan dalam Islam
Agar seorang muslim terhindar dari sikap berlebihan (israf), Islam memberikan beberapa prinsip dasar dalam makan yang sejalan dengan Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah ﷺ.
1. Halal dan Thayyib
Seorang muslim wajib memastikan makanan yang dikonsumsinya halal dari segi zat maupun cara memperolehnya, serta baik untuk kesehatan.
Dalil Al-Qur’an:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ كُلُوا مِمَّا فِي الْأَرْضِ حَلَالًا طَيِّبًا وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ ۚ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِينٌ
“Wahai manusia! Makanlah dari (makanan) yang halal lagi baik yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagimu.” (QS. Al-Baqarah: 168)
Dalil Hadits:
Rasulullah ﷺ bersabda:
“Sesungguhnya Allah itu baik dan tidak menerima kecuali yang baik. Allah memerintahkan orang-orang beriman sebagaimana Dia memerintahkan para rasul dengan firman-Nya: ‘Wahai para rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik dan beramal shalihlah…’” (HR. Muslim, no. 1015)
2. Tidak Berlebihan
Makan secukupnya sesuai kebutuhan tubuh. Islam melarang umatnya mengisi perut hingga kekenyangan yang berlebihan.
Dalil Al-Qur’an:
وَكُلُوا وَاشْرَبُوا وَلَا تُسْرِفُوا ۚ إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ
“Makan dan minumlah, tetapi jangan berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” (QS. Al-A’raf: 31)
Dalil Hadits:
Rasulullah ﷺ bersabda:
“Tidaklah anak Adam memenuhi suatu wadah yang lebih buruk daripada perutnya. Cukuplah bagi anak Adam beberapa suap makanan yang dapat menegakkan tulang punggungnya. Jika ia harus makan lebih, maka sepertiga untuk makanannya, sepertiga untuk minumannya, dan sepertiga untuk napasnya.” (HR. Tirmidzi, Ahmad, dan Ibnu Majah)
3. Berniat Ibadah
Makan sebaiknya diniatkan untuk menjaga kesehatan agar tubuh kuat beribadah kepada Allah, bukan sekadar memuaskan nafsu.
Dalil Al-Qur’an:
قُلْ مَنْ حَرَّمَ زِينَةَ اللَّهِ الَّتِي أَخْرَجَ لِعِبَادِهِ وَالطَّيِّبَاتِ مِنَ الرِّزْقِ ۚ قُلْ هِيَ لِلَّذِينَ آمَنُوا فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا خَالِصَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Katakanlah: Siapakah yang berani mengharamkan perhiasan Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya, dan rezeki yang baik-baik? Katakanlah: semua itu (disediakan) bagi orang-orang beriman dalam kehidupan dunia (dan khusus) untuk mereka saja di hari kiamat.” (QS. Al-A’raf: 32)
Dalil Hadits:
Rasulullah ﷺ bersabda:
“Sesungguhnya setiap amal tergantung pada niat, dan setiap orang akan mendapatkan sesuai dengan apa yang ia niatkan…” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadits ini menunjukkan bahwa jika makan diniatkan untuk memperkuat ibadah, maka makan itu bernilai pahala.
4. Bersyukur
Makanan adalah nikmat Allah yang harus disyukuri dengan hati, lisan, dan perbuatan.
Dalil Al-Qur’an:
فَكُلُوا مِمَّا رَزَقَكُمُ اللَّهُ حَلَالًا طَيِّبًا وَاشْكُرُوا نِعْمَتَ اللَّهِ إِن كُنتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ
“Maka makanlah dari rezeki yang diberikan Allah kepadamu yang halal lagi baik, dan bersyukurlah atas nikmat Allah, jika hanya kepada-Nya kamu menyembah.” (QS. An-Nahl: 114)
Dalil Hadits:
Rasulullah ﷺ bersabda:
“Sesungguhnya Allah meridhai seorang hamba yang makan sekali lalu ia memuji Allah atasnya, dan minum sekali lalu ia memuji Allah atasnya.” (HR. Muslim, no. 2734)
Dengan keempat prinsip ini—makan makanan yang halal dan thayyib, tidak berlebihan, berniat ibadah, dan selalu bersyukur—seorang muslim tidak hanya menjaga kesehatannya, tetapi juga mendapatkan keberkahan dari setiap suapan yang ia nikmati.
Relevansi di Era Modern
Budaya kuliner masa kini sering memicu gaya hidup konsumtif. Banyak orang berlomba-lomba mencoba makanan mewah, bahkan rela menghabiskan uang berlebihan untuk sekadar gaya hidup. Fenomena “food waste” (pemborosan makanan) menjadi masalah global.
Islam mengajarkan umatnya untuk tidak ikut arus israf ini. Menikmati makanan lezat boleh saja, tetapi tetap dengan prinsip kesederhanaan dan tidak mubazir. Lebih baik kelebihan harta digunakan untuk membantu sesama, karena memberi makan orang lain jauh lebih bernilai daripada menumpuk hidangan untuk diri sendiri.
Penutup
Islam bukanlah agama yang mengharamkan kenikmatan, termasuk dalam hal makan. Justru, Allah ﷻ menyediakan rezeki yang halal dan baik untuk dinikmati hamba-Nya. Namun, batasannya jelas: jangan sampai berlebihan.
Makan enak boleh, tetapi harus disertai sikap syukur, kesederhanaan, dan kepedulian. Dengan begitu, aktivitas makan tidak hanya menjaga kesehatan tubuh, tetapi juga menjadi sarana mendekatkan diri kepada Allah.
“Makanlah, minumlah, dan bersedekahlah, tetapi jangan berlebih-lebihan.” (HR. Ahmad)