Fikroh.com - Di negeri ini, selembar ijazah bisa lebih menentukan nasib politik seseorang dibandingkan isi kepala dan integritasnya. Padahal, ukuran sejati seorang pemimpin semestinya bukan kertas bersertifikat, melainkan kualitas hati, pikiran, dan rekam jejak pengabdian. Sayangnya, perdebatan tentang ijazah keluarga Solo telah bergulir begitu besar hingga mengaburkan diskusi publik tentang hal-hal yang lebih substansial.
Alih-alih kita serius membedah kualitas program pemerintah yang sedang dijalankan—seperti Makan Bergizi Gratis yang menyedot triliunan rupiah per hari, atau koperasi Merah Putih yang masih menyisakan banyak pertanyaan—energi bangsa justru habis untuk membicarakan soal keaslian dokumen pendidikan seorang anak presiden. Drama ini, suka atau tidak, telah menambah beban politik yang berat bagi pemerintahan baru di bawah Prabowo Subianto.
Dua Masalah Utama Gibran
Gibran Rakabuming Raka menghadapi setidaknya dua masalah besar di mata publik. Pertama, keraguan mendasar atas kualitas dirinya. Kedua, memori publik yang belum sembuh terkait kasus Mahkamah Konstitusi di bawah pimpinan pamannya, yang mengubah aturan syarat usia pencalonan wakil presiden, sehingga membuka jalan baginya untuk maju mendampingi Prabowo pada Pilpres 2024.
Kedua hal ini sudah cukup untuk menciptakan luka politik. Bukan semata-mata karena publik alergi pada figur muda, melainkan karena cara naiknya dianggap tidak fair. Kesan bahwa aturan diubah demi memberi jalan pintas untuk anak penguasa begitu kuat menempel. Alhasil, kepercayaan publik kepada Gibran tidak dibangun di atas prestasi, melainkan di atas dugaan rekayasa.
Kualitas Sejati Pemimpin
Seorang pemimpin seharusnya diukur dari kualitas intelektual dan kapasitas gagasannya. Ia bisa dibaca melalui tulisan, pidato, karya, atau pemikiran yang diwariskan kepada publik. Selain itu, pengalaman profesional dan rekam jejak sosial juga menjadi tolok ukur penting.
Pertanyaannya: apa karya intelektual yang pernah dihasilkan Gibran? Apa gagasan besar yang ia tawarkan untuk bangsa? Apa kontribusi nyata dalam dunia bisnis yang sering disebut-sebut sebagai latar belakangnya?
Fakta yang muncul justru sebaliknya. Usaha-usaha yang pernah digeluti, seperti Markobar atau Goola, tidak berkembang signifikan dan lebih banyak ditinggalkan. Tidak ada cerita sukses bisnis yang bisa dijadikan bukti kepemimpinan manajerial. Pada titik ini, publik semakin sulit menemukan alasan rasional mengapa ia layak disebut pemimpin muda yang berkualitas, selain karena status sebagai anak presiden.
Rekam Jejak Akademik yang Samar
Soal ijazah SMA Gibran di Singapura memang sedang diproses di pengadilan. Namun lebih menarik adalah menelusuri rekam jejak pendidikannya di Surakarta. Tempo pernah mencoba menggali jejaknya di SMPN 1 Surakarta, salah satu sekolah favorit pada masanya. Namun hasilnya tipis, hanya keterangan singkat dari guru yang bahkan tidak begitu mengenalnya secara pribadi.
Pertanyaan publik pun bermunculan: bagaimana jalur masuknya ke sekolah favorit tersebut? Bagaimana prestasi akademiknya sehingga tidak melanjutkan ke SMA unggulan di Solo? Mengapa kemudian harus bersekolah lima tahun di luar negeri—dua tahun di Singapura, tiga tahun di Sydney—untuk setara SMA?
Alasan yang sering dikemukakan bahwa ia “ingin mandiri” tidak cukup meyakinkan. Karena pada akhirnya, publik berhak tahu apakah langkah itu diambil karena prestasi akademik yang lemah atau ada pertimbangan lain yang ditutupi. Rekam jejak pendidikan ini penting bukan untuk merendahkan, melainkan untuk memastikan bahwa seorang calon pemimpin memiliki latar belakang yang transparan dan bisa dipertanggungjawabkan.
Publik Berhak Menuntut
Gibran bukan warga biasa. Ia pejabat publik, menduduki jabatan politik, dan hidup dari anggaran negara yang bersumber dari pajak rakyat. Maka, publik berhak penuh menuntut transparansi dan kejelasan. Bukan hanya soal dokumen resmi seperti ijazah, tetapi juga soal kualitas pemikiran, rekam jejak kepemimpinan, dan integritas pribadi.
Apalagi posisi yang ia duduki bukan sembarangan. Jabatan wakil presiden adalah jabatan konstitusional nomor dua di republik ini. Dari jabatan itu, seorang wakil presiden bisa saja sewaktu-waktu naik menjadi presiden bila terjadi sesuatu pada kepala negara. Dengan konsekuensi sebesar itu, wajar bila publik menuntut standar kualitas yang tinggi.
Membuktikan keaslian ijazah saja jelas tidak cukup. Itu hanya soal legalitas administratif. Yang lebih penting adalah menjawab pertanyaan mendasar: apakah ia memiliki kapasitas otak, integritas hati, dan kematangan kepemimpinan untuk menjalankan amanah publik? Tanpa jawaban yang jelas, keraguan publik akan terus membesar.
Beban Politik bagi Prabowo
Masalah Gibran tidak berhenti pada dirinya sendiri. Keberadaannya justru menjadi beban politik serius bagi Prabowo Subianto. Setiap kali isu ijazah mencuat, atau setiap kali publik menyinggung kasus Mahkamah Konstitusi, nama Prabowo ikut terseret. Bukannya fokus membangun legitimasi pemerintahan baru, energi politik Prabowo bisa terkuras untuk membela, menutupi, atau menjelaskan hal-hal yang seharusnya tidak perlu dipersoalkan sejak awal.
Dalam politik, beban seperti ini bisa sangat mahal harganya. Ia bisa menggerus kepercayaan publik, memunculkan oposisi moral yang kuat, serta memperlemah posisi pemerintah di hadapan masyarakat. Alih-alih tampil sebagai simbol harapan baru, Prabowo bisa terjebak dalam citra pemerintahan yang kompromistis, hanya demi menyelamatkan reputasi keluarga politik tertentu.
Ancaman Politik 2029
Jika persoalan mendasar ini terus diabaikan, bangsa ini berpotensi mengulang pola politik yang dangkal pada Pemilu 2029. Publik bisa kembali disuguhi panggung gimmick: blusukan murahan, bagi-bagi sembako atau permen, serta manuver media sosial yang digerakkan oleh buzzer. Semua itu akan diarahkan untuk menyasar pemilih muda—generasi yang sengaja dibiarkan tidak banyak tahu soal sejarah politik kotor di balik lahirnya figur-figur ini.
Risikonya jelas: negara akan kembali dipimpin oleh figur yang naik bukan karena kapasitas, melainkan karena privilese. Dengan demikian, kualitas kepemimpinan nasional akan terus menurun. Padahal tantangan yang dihadapi Indonesia semakin kompleks: krisis ekonomi global, perubahan iklim, kesenjangan sosial, hingga persaingan geopolitik. Semua itu membutuhkan pemimpin dengan kapasitas nyata, bukan sekadar produk politik dinasti.
Penutup: Lebih dari Sekadar Ijazah
Perdebatan tentang ijazah hanyalah pintu masuk. Namun yang sesungguhnya dipertaruhkan adalah kualitas kepemimpinan. Publik berhak menuntut pemimpin yang lahir dari proses kompetitif, bukan dari privilese keluarga. Publik berhak menuntut gagasan yang jelas, rekam jejak yang meyakinkan, dan integritas yang tak tercemar.
Dalam konteks Gibran, membuktikan keaslian ijazah hanyalah langkah administratif. Yang lebih mendesak adalah membuktikan kapasitas intelektual, moral, dan kepemimpinan. Tanpa itu, ia akan terus menjadi beban bagi Prabowo, dan lebih jauh lagi, menjadi beban bagi bangsa.
Jika bangsa ini kembali mengabaikan masalah kualitas pemimpin, maka kita sedang menyiapkan jalan bagi kemerosotan politik yang lebih dalam. Bukan hanya kerugian jangka pendek, tetapi juga kerugian jangka panjang bagi masa depan generasi berikutnya.
Karena itu, publik harus terus bersuara. Jangan sampai kualitas kepemimpinan negeri ini ditentukan oleh selembar kertas, atau lebih buruk lagi, oleh permainan politik keluarga.