Fikroh.com - Dalam literatur fikih, dikenal istilah istimna’, yaitu aktivitas mengeluarkan sperma tanpa melalui hubungan badan. Praktik ini bisa dilakukan dengan tangan atau cara lain, baik dilakukan sendiri maupun dengan bantuan orang lain. Fenomena ini dapat terjadi pada laki-laki maupun perempuan, dan biasanya bertujuan untuk memuaskan dorongan seksual. (Rujukan: Kementerian Wakaf dan Urusan Keislaman, al-Mausu‘ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, [Kuwait: Daru al-Salasil], 1404 H, jilid 4, hlm. 97).
Dalam percakapan sehari-hari, istilah ini lebih populer dengan sebutan berbeda: pada laki-laki disebut onani, sementara pada perempuan disebut masturbasi. Keduanya pada umumnya dilakukan secara mandiri.
Apa Itu Istimna’?
Secara bahasa, istimna’ berasal dari kata kerja yang berarti berusaha memperoleh kesenangan seksual. Dalam istilah fikih, istimna’ merujuk pada tindakan mengeluarkan sperma tanpa adanya hubungan badan (senggama). Cara yang digunakan bisa dengan tangan, benda lain, atau melalui fantasi seksual.
Menurut al-Mausu‘ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah (Kementerian Wakaf Kuwait, jilid 4, hlm. 97), istimna’ dapat dilakukan baik oleh laki-laki maupun perempuan, baik sendiri maupun dengan bantuan orang lain, dan tujuannya adalah memenuhi dorongan syahwat.
Istilah Onani dan Masturbasi
Dalam percakapan umum, penggunaan istilah lebih disederhanakan. Onani identik dengan praktik istimna’ yang dilakukan laki-laki, sedangkan masturbasi lebih sering disematkan pada perempuan. Walaupun istilahnya berbeda, hakikat keduanya sama, yaitu menyalurkan syahwat secara mandiri di luar hubungan badan yang sah.
Mayoritas ulama bersepakat bahwa istimna’ diperbolehkan bila dilakukan bersama pasangan yang sah, selama tidak ada penghalang syar‘i seperti haid, nifas, berpuasa wajib, beri‘tikaf, atau sedang melaksanakan ibadah haji. Hal ini karena pasangan halal merupakan media yang diakui syariat untuk menyalurkan kebutuhan biologis. (Rujukan: al-Mausu‘ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, jilid 4, hlm. 102).
Namun, jika dilakukan sendiri tanpa pasangan, hukum istimna’ menjadi isu perdebatan panjang di kalangan fuqaha. Ada yang mengharamkan secara mutlak, ada yang melarang dalam kondisi tertentu namun membolehkan dalam keadaan darurat, dan ada pula yang hanya memakruhkannya.
Ulama yang Mengharamkan Secara Mutlak
Mazhab Maliki dan Syafi‘i menegaskan keharaman istimna’. Dalil mereka merujuk pada firman Allah:
وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ . إِلا عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ .فَمَنِ ابْتَغَى وَرَاءَ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْعَادُونَ
Berdasarkan ayat ini, siapa pun yang menyalurkan syahwatnya di luar jalur halal dianggap melanggar batasan Allah dan menyimpang dari fitrah.
Selain itu, ulama Syafi‘i juga menegaskan bahwa mereka yang belum mampu menikah diperintahkan untuk menjaga diri sampai Allah memberi kemampuan untuk menikah (QS an-Nur [24]: 33). Karena itu, istimna’ dipandang sebagai perbuatan tercela, meskipun dosanya tidak sebesar zina.
Ulama Maliki mendasarkan pandangannya pada hadis Nabi SAW:
"Wahai para pemuda, barang siapa di antara kalian mampu menikah maka menikahlah. Sebab menikah lebih mampu menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan. Barang siapa belum mampu, maka hendaklah ia berpuasa, karena puasa itu dapat mengekang syahwat." (HR Muslim).
Menurut mereka, seandainya onani diperbolehkan, Rasulullah pasti menyebutnya sebagai solusi, karena lebih mudah dilakukan daripada puasa. Fakta bahwa beliau tidak menyebutkannya menjadi indikasi haramnya perbuatan ini.
Hadis-hadis lain juga memperkuat argumen ini, misalnya riwayat al-Baihaqi tentang tujuh golongan yang mendapat ancaman keras, salah satunya adalah orang yang menyalurkan syahwat dengan tangannya sendiri.
Ulama yang Melarang dengan Pengecualian
Mazhab Hanafi mengambil posisi moderat. Mereka mengharamkan istimna’ bila hanya untuk bersenang-senang dan melampiaskan syahwat semata. Akan tetapi, dalam keadaan darurat, ketika syahwat sangat kuat dan tidak ada pasangan halal, sementara dikhawatirkan jatuh ke zina, maka istimna’ diperbolehkan sebagai pilihan yang mudaratnya lebih ringan.
Prinsip yang digunakan adalah kaidah fikih:
"Mengambil bahaya yang lebih ringan untuk menghindari kerusakan yang lebih besar."
Sebagian ulama Hanafi, seperti Ibnu ‘Abidin, bahkan menilai bahwa istimna’ bisa menjadi wajib jika menjadi satu-satunya cara menghindarkan diri dari zina.
Mazhab Hanbali memiliki pandangan serupa. Mereka mengharamkan istimna’ kecuali bila khawatir jatuh ke perbuatan zina atau mengganggu kesehatan, sementara menikah belum mampu dilakukan.
Menariknya, sebagian ulama dari Bashrah memperbolehkan istimna’ bagi orang yang sudah menikah, tetapi sedang bepergian jauh dari pasangannya. Mereka beralasan bahwa hal itu dapat membantu menjaga pandangan dan menghindari zina.
Ulama yang Memakruhkan
Ada pula ulama yang tidak sampai mengharamkan, melainkan hanya memakruhkan. Pandangan ini muncul dari sebagian ulama Syafi‘i, Hanafi, Hanbali, serta Ibnu Hazm.
Alasannya, istimna’ tidak disebutkan secara eksplisit dalam larangan Al-Qur’an maupun Sunnah, sehingga statusnya tidak sampai haram. Akan tetapi, tetap dianggap sebagai akhlak yang tidak terpuji dan perilaku yang tidak pantas. (Rujukan: Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, jilid 2, hlm. 435).
Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat disimpulkan:
Mayoritas ulama (Maliki dan Syafi‘i) memandang istimna’ sebagai perbuatan haram karena dianggap menyalahi fitrah dan melampaui batas syariat.
Sebagian ulama (Hanafi dan Hanbali) memberi keringanan dalam kondisi darurat, sebagai jalan untuk menghindarkan diri dari zina.
Sebagian ulama lain hanya memakruhkan, tanpa sampai mengharamkan.
Secara umum, mayoritas pandangan menempatkan istimna’ sebagai kebiasaan yang tidak terpuji. Bila tidak bisa menikah, Rasulullah SAW menganjurkan untuk berpuasa, memperbanyak ibadah, dan menyibukkan diri dengan aktivitas positif agar terhindar dari godaan syahwat.
Dengan demikian, istimna’ (onani/masturbasi) menurut mayoritas ulama adalah perbuatan yang dilarang. Kalaupun ada yang membolehkan, sifatnya darurat, bukan pilihan utama. Jalan terbaik tetaplah menikah atau berpuasa, sesuai tuntunan Nabi Muhammad SAW.
Bahaya Onani pada Pria yang Perlu Diwaspadai
Kebiasaan masturbasi atau onani pada pria maupun wanita bisa menimbulkan sejumlah dampak negatif baik secara fisik maupun psikologis. Berikut beberapa bahaya yang mungkin muncul:
1. Munculnya Rasa Bersalah
Dalam banyak budaya, termasuk dalam Islam onani merupakan tindakan tercela, sehingga pelakunya dipandang tidak bermoral. Karena itu, sebagian pria bisa diliputi rasa bersalah setelah melakukannya.
Jika perasaan ini terus menerus muncul, lama-kelamaan bisa berujung pada stres bahkan depresi. Untuk mengatasinya, penting bagi seseorang untuk berbagi cerita dengan orang yang dipercaya atau berkonsultasi dengan psikolog agar beban pikiran tidak semakin berat.
2. Risiko Kecanduan
Salah satu masalah serius dari onani berlebihan adalah timbulnya kecanduan. Adiksi ini bisa mengganggu kehidupan sehari-hari, membuat pria mudah marah atau gelisah ketika keinginannya tidak terpenuhi.
Selain itu, kecanduan onani juga berpotensi menurunkan produktivitas karena terlalu banyak waktu dan energi terkuras hanya untuk memenuhi hasrat seksual pribadi.
3. Cedera pada Penis
Walau memberikan kenikmatan, onani yang terlalu sering bisa melukai penis. Luka lecet pada kulit atau rasa nyeri dapat muncul akibat gesekan yang berulang. Jika kondisi ini terjadi, sebaiknya segera mencari pertolongan medis agar tidak menimbulkan masalah yang lebih serius di kemudian hari.
4. Gangguan Kehidupan Seksual
Kebiasaan onani dengan teknik tertentu, misalnya genggaman yang terlalu kuat, dapat membuat sensitivitas penis menurun. Dampaknya, saat berhubungan seksual dengan pasangan, pria mungkin mengalami penurunan rangsangan dan kesulitan mencapai kepuasan. Maka cara yang tepat berhenti melakukan kebiasaan onani untuk membantu memulihkan kembali sensasi normal ketika berhubungan intim.
5. Potensi Risiko Kanker Prostat
Beberapa penelitian menyinggung kaitan antara frekuensi onani dan kanker prostat. Menurut The British Journal of Urology, pria yang sering melakukan masturbasi pada usia 20–30 tahun disebut lebih berisiko terkena kanker prostat.
Kesimpulannya, onani dapat menimbulkan berbagai macam dampak buruk, mulai dari gangguan psikologis, cedera fisik, hingga memengaruhi kualitas kehidupan seksual. Bijak dalam menyalurkan hasrat biologis dan memahami hukumnya dalam agama adalah langkah penting agar tidak terjebak pada dampak negatif tersebut.