Fikroh.com - Gaza – Gerakan Perlawanan Islam Palestina, Hamas, dengan tegas menolak rencana Amerika Serikat yang disebut-sebut akan menunjuk mantan Perdana Menteri Inggris, Tony Blair, sebagai pemimpin pemerintahan sementara di Jalur Gaza. Penolakan keras ini disampaikan langsung oleh anggota Biro Politik Hamas, Husam Badran, dalam pernyataan resminya, Senin (29/9).
Rencana tersebut pertama kali mencuat dalam laporan sejumlah media internasional. Pemerintah Amerika Serikat dikabarkan tengah mendorong skema pembentukan pemerintahan sementara pascaperang di Gaza, salah satunya dengan melibatkan Blair sebagai figur yang dianggap berpengalaman dalam diplomasi. Namun bagi Hamas, wacana itu dianggap sebagai bentuk intervensi asing yang justru mengancam masa depan Palestina.
Badran menegaskan bahwa Tony Blair adalah sosok yang sama sekali tidak diinginkan dalam konteks Palestina. Ia menilai, keterlibatan Blair hanya membawa keburukan, bukan solusi.
“Mantan Perdana Menteri Inggris Tony Blair adalah figur yang tidak diinginkan di konteks Palestina. Mengaitkan rencana apa pun dengan dirinya adalah pertanda buruk bagi rakyat Palestina,” kata Badran.
Lebih jauh, ia menuduh Blair memiliki rekam jejak kelam dalam dunia internasional, terutama saat menjadi salah satu arsitek utama invasi Irak pada tahun 2003 bersama Amerika Serikat. Invasi itu, menurut Badran, telah menimbulkan penderitaan berkepanjangan bagi rakyat Irak dan mencoreng nama Blair di mata dunia Muslim.
“Blair adalah figur negatif yang seharusnya diadili di pengadilan internasional atas kejahatannya, khususnya perannya dalam perang Irak,” tambahnya.
Hamas bahkan menyebut Blair sebagai “saudara iblis”, sebuah ungkapan yang menegaskan bahwa keterlibatan mantan perdana menteri itu dalam urusan Palestina akan ditolak mentah-mentah.
Selain mengkritik sosok Blair, Hamas juga menegaskan bahwa pengelolaan Gaza maupun Tepi Barat merupakan urusan internal Palestina. Menurut mereka, segala bentuk pemerintahan atau perubahan politik hanya bisa diputuskan melalui konsensus nasional, bukan ditentukan oleh kekuatan luar.
“Mengatur urusan Palestina di Gaza atau Tepi Barat adalah masalah internal. Itu harus diputuskan melalui kesepakatan nasional, bukan melalui keputusan yang dipaksakan dari luar,” tegas Badran.
Ia menambahkan, rakyat Palestina memiliki sumber daya, kapasitas, dan keahlian untuk mengatur urusan mereka sendiri. Karena itu, upaya melibatkan figur asing hanya akan memicu kecurigaan dan memperdalam penderitaan yang sudah dialami akibat agresi militer Israel.
Dalam kesempatan yang sama, Hamas juga membantah kabar bahwa mereka telah menerima proposal resmi melalui mediator terkait rencana gencatan senjata ataupun pembentukan pemerintahan sementara. Menurut Badran, semua isu yang beredar sejauh ini hanya bersumber dari media dan belum pernah sampai secara resmi kepada pihak Hamas.
Sejak Desember 2023, kata Badran, Hamas bahkan sudah memutuskan secara internal bahwa mereka tidak ingin terus memimpin Gaza sendirian. Namun keputusan itu bukan berarti membuka pintu bagi campur tangan asing, melainkan mendorong terbentuknya pemerintahan konsensus bersama dengan faksi-faksi Palestina lainnya.
Pernyataan Hamas mendapat sorotan luas di dunia Arab. Banyak analis menilai bahwa penunjukan Blair memang tidak akan diterima oleh rakyat Palestina, mengingat rekam jejaknya yang kontroversial. Blair pernah menjabat sebagai utusan khusus Kuartet Timur Tengah (AS, Uni Eropa, PBB, Rusia) pada 2007–2015. Namun kiprahnya dinilai gagal membawa kemajuan signifikan bagi perjuangan rakyat Palestina.
Bahkan, sejumlah pihak menilai kehadiran Blair hanya memperkuat posisi Israel dan melanggengkan status quo. Karena itu, wacana keterlibatannya kembali di Gaza pascaperang dianggap sebagai langkah mundur yang berpotensi memicu gelombang penolakan lebih besar.
Dengan nada keras, Hamas menegaskan bahwa Gaza tidak akan menerima figur mana pun yang dipaksakan dari luar. Mereka menyerukan agar dunia internasional menghormati hak rakyat Palestina untuk menentukan nasib mereka sendiri tanpa intervensi asing.
“Rakyat Palestina mampu mengatur diri mereka sendiri. Kami tidak membutuhkan Blair atau siapa pun yang mencoba memaksakan diri untuk mengatur Gaza,” pungkas Badran.
Penolakan ini mempertegas posisi Hamas bahwa solusi bagi Gaza hanya bisa lahir dari dalam Palestina sendiri, melalui rekonsiliasi internal dan konsensus nasional. Sementara itu, upaya negara-negara besar untuk memasukkan figur asing justru akan semakin memperpanjang konflik dan mengurangi peluang perdamaian yang sejati.
Rencana tersebut pertama kali mencuat dalam laporan sejumlah media internasional. Pemerintah Amerika Serikat dikabarkan tengah mendorong skema pembentukan pemerintahan sementara pascaperang di Gaza, salah satunya dengan melibatkan Blair sebagai figur yang dianggap berpengalaman dalam diplomasi. Namun bagi Hamas, wacana itu dianggap sebagai bentuk intervensi asing yang justru mengancam masa depan Palestina.
“Figur yang Tidak Diinginkan”
Badran menegaskan bahwa Tony Blair adalah sosok yang sama sekali tidak diinginkan dalam konteks Palestina. Ia menilai, keterlibatan Blair hanya membawa keburukan, bukan solusi.
“Mantan Perdana Menteri Inggris Tony Blair adalah figur yang tidak diinginkan di konteks Palestina. Mengaitkan rencana apa pun dengan dirinya adalah pertanda buruk bagi rakyat Palestina,” kata Badran.
Lebih jauh, ia menuduh Blair memiliki rekam jejak kelam dalam dunia internasional, terutama saat menjadi salah satu arsitek utama invasi Irak pada tahun 2003 bersama Amerika Serikat. Invasi itu, menurut Badran, telah menimbulkan penderitaan berkepanjangan bagi rakyat Irak dan mencoreng nama Blair di mata dunia Muslim.
“Blair adalah figur negatif yang seharusnya diadili di pengadilan internasional atas kejahatannya, khususnya perannya dalam perang Irak,” tambahnya.
Hamas bahkan menyebut Blair sebagai “saudara iblis”, sebuah ungkapan yang menegaskan bahwa keterlibatan mantan perdana menteri itu dalam urusan Palestina akan ditolak mentah-mentah.
Urusan Internal Palestina
Selain mengkritik sosok Blair, Hamas juga menegaskan bahwa pengelolaan Gaza maupun Tepi Barat merupakan urusan internal Palestina. Menurut mereka, segala bentuk pemerintahan atau perubahan politik hanya bisa diputuskan melalui konsensus nasional, bukan ditentukan oleh kekuatan luar.
“Mengatur urusan Palestina di Gaza atau Tepi Barat adalah masalah internal. Itu harus diputuskan melalui kesepakatan nasional, bukan melalui keputusan yang dipaksakan dari luar,” tegas Badran.
Ia menambahkan, rakyat Palestina memiliki sumber daya, kapasitas, dan keahlian untuk mengatur urusan mereka sendiri. Karena itu, upaya melibatkan figur asing hanya akan memicu kecurigaan dan memperdalam penderitaan yang sudah dialami akibat agresi militer Israel.
Bantahan Terima Proposal
Dalam kesempatan yang sama, Hamas juga membantah kabar bahwa mereka telah menerima proposal resmi melalui mediator terkait rencana gencatan senjata ataupun pembentukan pemerintahan sementara. Menurut Badran, semua isu yang beredar sejauh ini hanya bersumber dari media dan belum pernah sampai secara resmi kepada pihak Hamas.
Sejak Desember 2023, kata Badran, Hamas bahkan sudah memutuskan secara internal bahwa mereka tidak ingin terus memimpin Gaza sendirian. Namun keputusan itu bukan berarti membuka pintu bagi campur tangan asing, melainkan mendorong terbentuknya pemerintahan konsensus bersama dengan faksi-faksi Palestina lainnya.
Reaksi Keras Dunia Arab
Pernyataan Hamas mendapat sorotan luas di dunia Arab. Banyak analis menilai bahwa penunjukan Blair memang tidak akan diterima oleh rakyat Palestina, mengingat rekam jejaknya yang kontroversial. Blair pernah menjabat sebagai utusan khusus Kuartet Timur Tengah (AS, Uni Eropa, PBB, Rusia) pada 2007–2015. Namun kiprahnya dinilai gagal membawa kemajuan signifikan bagi perjuangan rakyat Palestina.
Bahkan, sejumlah pihak menilai kehadiran Blair hanya memperkuat posisi Israel dan melanggengkan status quo. Karena itu, wacana keterlibatannya kembali di Gaza pascaperang dianggap sebagai langkah mundur yang berpotensi memicu gelombang penolakan lebih besar.
Penolakan Tegas
Dengan nada keras, Hamas menegaskan bahwa Gaza tidak akan menerima figur mana pun yang dipaksakan dari luar. Mereka menyerukan agar dunia internasional menghormati hak rakyat Palestina untuk menentukan nasib mereka sendiri tanpa intervensi asing.
“Rakyat Palestina mampu mengatur diri mereka sendiri. Kami tidak membutuhkan Blair atau siapa pun yang mencoba memaksakan diri untuk mengatur Gaza,” pungkas Badran.
Penolakan ini mempertegas posisi Hamas bahwa solusi bagi Gaza hanya bisa lahir dari dalam Palestina sendiri, melalui rekonsiliasi internal dan konsensus nasional. Sementara itu, upaya negara-negara besar untuk memasukkan figur asing justru akan semakin memperpanjang konflik dan mengurangi peluang perdamaian yang sejati.