Notification

×

Iklan

Iklan

Normalisasi Israel-Indonesia: Antara Amanat Konstitusi, Genosida Gaza, dan Diplomasi Global

Selasa | September 30, 2025 WIB | 0 Views
Wajah Prabowo tampil dalam sebuah baliho di Tel Aviv berdampingan dengan Netanyahu, Trump, serta sejumlah pemimpin Arab. Bagi Israel, visualisasi ini merepresentasikan simbol harapan akan terwujudnya normalisasi. Namun, bagi Indonesia, justru dapat dimaknai sebagai ujian terhadap konsistensi pada amanat konstitusi sekaligus komitmen historis dalam mendukung perjuangan Palestina.


Abstrak

Pidato Presiden Prabowo Subianto di Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 23 September 2025 telah membuka kembali diskursus lama mengenai kemungkinan normalisasi hubungan diplomatik antara Indonesia dan Israel. Pernyataannya yang menegaskan komitmen pada solusi dua negara, namun sekaligus membuka peluang pengakuan terhadap Israel jika Palestina diakui sebagai negara berdaulat, mendapat respons luas, baik secara domestik maupun internasional. Israel memandangnya sebagai pintu strategis menuju legitimasi baru, sementara publik Indonesia menilai isu ini sebagai ujian kesetiaan pada konstitusi serta solidaritas abadi terhadap Palestina. Tulisan ini bertujuan menganalisis dilema normalisasi Indonesia-Israel dengan menggunakan kerangka teori hubungan internasional, hukum internasional, serta prinsip politik luar negeri Indonesia. Dengan metode analisis kualitatif-deskriptif, tulisan ini menemukan bahwa normalisasi tanpa penyelesaian akar masalah, yakni pendudukan dan genosida di Gaza, berpotensi mengkhianati amanat konstitusi serta melemahkan posisi moral Indonesia di panggung global.

Kata kunci: Normalisasi, Indonesia, Israel, Palestina, Konstitusi, Genosida Gaza, Diplomasi

Pendahuluan


Normalisasi hubungan diplomatik Indonesia dengan Israel selalu menjadi topik sensitif dalam politik luar negeri Indonesia. Sejak awal kemerdekaan, sikap Indonesia telah jelas: menolak segala bentuk penjajahan dan mendukung kemerdekaan bangsa Palestina. Prinsip ini bukan sekadar sikap politik, melainkan amanat konstitusi sebagaimana termaktub dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945: “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan...”

Pidato Presiden Prabowo Subianto pada Sidang Majelis Umum PBB, 23 September 2025, menghadirkan nuansa baru. Pernyataannya tentang kesediaan Indonesia mengakui Israel apabila Israel lebih dahulu mengakui kemerdekaan Palestina mengandung ambiguitas strategis. Di satu sisi, pidato ini menunjukkan konsistensi terhadap dukungan Palestina; di sisi lain, ia membuka ruang interpretasi politik bahwa Indonesia bersedia menempuh jalur normalisasi.

Respon dunia internasional pun beragam. Netanyahu menyambut positif dan menyebut Indonesia sebagai negara Muslim terbesar dengan visi ke depan. Sebagai tindak lanjut, sebuah billboard besar di Tel Aviv menampilkan wajah Prabowo berdampingan dengan Netanyahu dan Donald Trump, dengan slogan “Seal the Deal.” Fenomena ini memperlihatkan bagaimana pidato seorang presiden dapat diproyeksikan menjadi simbol geopolitik.

Tulisan ini berargumen bahwa dilema normalisasi Israel-Indonesia bukan sekadar isu diplomatik, melainkan menyentuh ranah hukum, etika, dan identitas politik luar negeri Indonesia.

Normalisasi sebagai Instrumen Geopolitik


  • Israel dan Pencarian Legitimasi


Sejak ditandatanganinya Abraham Accords tahun 2020, Israel berhasil membangun hubungan diplomatik dengan UEA, Bahrain, Maroko, dan Sudan. Namun, capaian ini belum cukup untuk meredam isolasi internasional, terutama setelah agresi militer di Gaza yang menelan puluhan ribu korban jiwa. Normalisasi dengan Indonesia, negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia, akan menjadi legitimasi geopolitik yang sangat berharga.

Secara teoritis, menurut Hedley Bull (1977) dalam The Anarchical Society, negara-negara dalam sistem internasional senantiasa mencari pengakuan demi memperkuat status dan stabilitasnya. Israel memahami benar teori ini: pengakuan Indonesia akan memperluas legitimasi internasional, sekaligus melemahkan posisi diplomatik Palestina di dunia Muslim.

  • Indonesia dan Politik Luar Negeri Bebas-Aktif


Sejak era awal kemerdekaan, politik luar negeri Indonesia ditegaskan sebagai bebas-aktif: bebas dari aliansi kekuatan besar, namun aktif memperjuangkan perdamaian dunia. Konferensi Asia Afrika (1955) dan Gerakan Non-Blok (1961) menjadi landasan moral yang menempatkan Indonesia sebagai suara dunia ketiga dalam menentang kolonialisme.

Dalam kerangka ini, normalisasi dengan Israel menimbulkan pertanyaan: apakah langkah itu konsisten dengan prinsip bebas-aktif, atau justru mengikis kredibilitas Indonesia sebagai pembela bangsa terjajah?

Perspektif Konstitusi dan Hukum Internasional


  • Amanat Konstitusi


Pembukaan UUD 1945 mengandung mandat normatif yang tidak dapat dinegosiasikan: menolak segala bentuk penjajahan. Karena Palestina masih berada dalam kondisi pendudukan, pengakuan terhadap Israel tanpa syarat akan dianggap bertentangan dengan spirit konstitusi.

Dalam kajian hukum tata negara, Jimly Asshiddiqie (2006) menekankan bahwa Pembukaan UUD 1945 memiliki status sebagai staatsfundamentalnorm, norma dasar negara yang mengikat semua kebijakan politik. Dengan demikian, kebijakan luar negeri Indonesia yang berlawanan dengan amanat ini akan kehilangan legitimasi konstitusional.

  • Hukum Internasional dan Isu Genosida


Data PBB dan WHO menunjukkan lebih dari 65 ribu warga Palestina terbunuh sejak 2023. Mahkamah Pidana Internasional (ICC) telah mengeluarkan surat perintah penangkapan bagi pejabat tinggi Israel terkait dugaan genosida. Dalam konteks ini, normalisasi tanpa syarat akan berpotensi menempatkan Indonesia pada posisi kontradiktif: di satu sisi mendukung keadilan internasional, di sisi lain berhubungan diplomatik dengan pihak yang dituduh melakukan genosida.

Dinamika Politik Global


  • Amerika Serikat dan Seal the Deal


Pemasangan baliho digital di Tel Aviv dengan menampilkan wajah Presiden Prabowo bersama Trump dan Netanyahu jelas memiliki makna simbolis. Amerika Serikat, yang selama ini menjadi patron utama Israel, berupaya mengaitkan Indonesia ke dalam orbit kebijakan Timur Tengah yang pro-Israel.

Dalam perspektif teori realisme, seperti dikemukakan Hans Morgenthau (1948), langkah ini merupakan bagian dari strategi power politics: memperluas lingkaran sekutu melalui normalisasi demi memperkuat posisi tawar global.

  • Dunia Islam dan Solidaritas Palestina


Lebih dari 150 negara anggota PBB kini telah mengakui Palestina sebagai negara berdaulat. Demonstrasi global dari Berlin hingga Bekasi menunjukkan bahwa solidaritas terhadap Palestina melintasi batas geografis dan agama. Jika Indonesia menormalisasi hubungan dengan Israel tanpa syarat, hal ini dapat melemahkan solidaritas dunia Islam serta menimbulkan resistensi domestik dari organisasi kemasyarakatan dan umat Muslim.

Analisis Dilema Normalisasi


  • Jalan Cepat vs Jalan Konstitusi


Israel memandang normalisasi sebagai jalan cepat untuk keluar dari isolasi internasional. Namun, bagi Indonesia, jalan ini berpotensi bertabrakan dengan jalan konstitusi yang menuntut konsistensi dalam menolak penjajahan. Dilema ini mirip dengan yang dijelaskan Andrew Moravcsik (1997) dalam teori liberal intergovernmentalism: keputusan luar negeri bukan hanya ditentukan oleh kepentingan negara, tetapi juga oleh tekanan domestik dan norma konstitusional.

  • Genosida sebagai Faktor Etis


Genosida Gaza bukan sekadar isu politik, melainkan persoalan etika universal. Menurut Hannah Arendt (1963) dalam Eichmann in Jerusalem, kejahatan terhadap kemanusiaan adalah pelanggaran yang meniadakan batas-batas politik. Dengan demikian, Indonesia tidak bisa hanya mempertimbangkan kepentingan pragmatis, melainkan harus menempatkan etika kemanusiaan sebagai dasar kebijakan.

Respon Tepat Indonesia


Untuk menjaga konsistensi antara kepentingan nasional, amanat konstitusi, dan etika internasional, respon Indonesia sebaiknya mengandung tiga pilar utama:

  1. Kecaman Tegas atas Genosida – Menolak normalisasi selama Israel melanjutkan agresi di Gaza dan melanggar hukum humaniter.
  2. Komitmen pada Konstitusi – Menegaskan bahwa pengakuan hanya akan diberikan setelah Palestina merdeka dan kedaulatannya diakui.
  3. Dukungan pada Mekanisme Hukum Internasional – Mendesak penegakan hukum internasional terhadap kejahatan perang di Gaza.

Kesimpulan


Pidato Presiden Prabowo di PBB membuka ruang tafsir baru tentang kemungkinan normalisasi Indonesia-Israel. Israel memandangnya sebagai peluang geopolitik besar, sementara Indonesia dihadapkan pada dilema konstitusional dan etis.

Normalisasi tanpa penyelesaian akar persoalan akan berarti pengkhianatan terhadap amanat konstitusi, sekaligus melemahkan posisi moral Indonesia di panggung internasional. Sebaliknya, mempertahankan konsistensi dukungan terhadap Palestina justru akan memperkuat kredibilitas Indonesia sebagai aktor bebas-aktif dan pembela kemanusiaan.

Dengan demikian, jalan yang seharusnya ditempuh Indonesia adalah menegaskan syarat yang tidak dapat ditawar: kemerdekaan Palestina terlebih dahulu, baru normalisasi dapat dibicarakan. Inilah satu-satunya jalan agar Indonesia tetap setia pada amanat konstitusi, menjaga kredibilitas global, serta berdiri di sisi sejarah yang benar.
×
Berita Terbaru Update