Fikroh.com - Ustadz Dr. Erwandi Tarmizi, pakar fikih muamalah dan ekonomi syariah, menyatakan bahwa kewajiban haji bagi WNI saat ini gugur, berdasarkan berbagai pertimbangan syar'i dan realita di lapangan.
"Yang belum daftar, tidak ada kewajiban haji. Yang sudah daftar antre 15 tahunan tarik lagi saja. Tidak ada kewajiban. Umrah ramadan paling aman, pahalanya sama dengan berhaji bersama Rasulullah SAW," ujar Erwandi.
Lebih lanjut Ustadz Erwandi menyampaikan:
"Anda yang tidak mendapatkan antrean, atau mendapat antrean 50 tahun lagi sama dengan tidak, maka tidak ada kewajiban bagi orang Indonesia kondisi sekarang tidak ada wajib haji bagi mereka kalau mereka mau mendaftar sekarang," ujarnya.
Berikut poin-poin utama dari pendapat beliau:
1. Masa Tunggu yang Sangat Panjang
Dr. Erwandi merujuk pada QS Ali Imran: 97, bahwa haji hanya diwajibkan bagi yang "mampu". Dalam konteks Indonesia, antrean keberangkatan yang bisa mencapai 30-50 tahun, membuat seorang muslim tidak lagi dikategorikan sebagai "mampu" secara syar'i. Umur seseorang belum tentu mencapai jadwal keberangkatan.
2. Fatwa Internasional: Tidak Wajib karena Antrian
Beliau menukil pendapat seorang koleganya, konsultan di Bank Syariah Al Rajhi (Saudi), bahwa para ulama di sana menganggap haji gugur kewajibannya bagi mereka yang menghadapi masa tunggu puluhan tahun. Ini bukan pendapat individual, melainkan berdasarkan musyawarah para ulama.
3. Kritik Keras pada Sistem Dana Talangan Haji
Dana talangan haji dianggap sebagai biang keladi panjangnya antrean. Banyak orang memanfaatkan sistem ini untuk "booking" porsi haji dengan dana pinjaman, yang mengandung unsur riba dan gharar (ketidakjelasan). Hal ini telah beliau bahas dalam bukunya Harta Haram Muamalat Kontemporer, dan ia menegaskan bahwa dana talangan haji hukumnya haram.
4. Beban Dosa pada Penyelenggara Negara
Karena sistem haji di Indonesia mengandung unsur riba dan gharar, serta menciptakan ketidakadilan dalam distribusi porsi haji, Dr. Erwandi menyatakan bahwa dosa ditanggung oleh penyelenggara negara. Rakyat menjadi korban dari sistem yang tidak sesuai syariat.
5. Negara Diurus oleh Orang yang Tak Faham Agama
Beliau menyayangkan bahwa kebijakan haji dibuat oleh pihak yang tidak mengerti hukum agama. Akibatnya, terjadi berbagai penyimpangan dalam pelaksanaan ibadah haji, baik dari segi fiqih maupun moral.
6. Haji Furoda: Judi Gaya Baru
Beliau menentang keras haji furoda, menyebutnya sebagai "judi gaya baru" karena bersifat spekulatif. Peserta haji furoda tidak memiliki jaminan pasti untuk berangkat dan sangat bergantung pada izin yang bisa saja ditolak mendadak.
7. Haji Cepat Berangkat = Kucing-Kucingan
Program haji cepat berangkat (melalui visa ziyarah, dakhili, atau manipulasi status mukim) menurut beliau adalah kucing-kucingan dengan aturan, tidak sesuai adab dan syariat. la mempertanyakan keabsahan iqamah (izin tinggal) yang dibuat hanya demi kuota.
8. Haji Khusus Mengandung Riba
Tak hanya haji reguler, bahkan haji khusus pun menurut beliau banyak terjerat riba dalam sistem pembayaran atau pinjaman dana. Maka, jika haji hanya bisa dilakukan dengan cara yang haram, maka tidak wajib hukumnya.
9. Solusi Alternatif: Umrah di Bulan Ramadhan
Sebagai solusi, beliau menyarankan umat Islam Indonesia untuk fokus ke umrah Ramadhan, yang dalam hadits setara dengan haji dari segi pahala. Ini adalah jalan yang lebih realistis, halal, dan bisa dilaksanakan tanpa sistem riba.
10. Kesimpulan Fatwa
Kesimpulan dari pendapat Ustadz Dr. Erwandi secara tegas menyatakan:
"Saya bertanggung jawab menyampaikan bahwa haji bagi orang Indonesia saat ini tidak wajib."
Namun ia juga menekankan bahwa ini adalah fatwa, bukan hukum mutlak. Umat boleh menerima atau menolaknya. la tidak terafiliasi dengan travel umrah atau biro haji apapun, sehingga pernyataannya tidak didorong oleh kepentingan bisnis.
"Penutup": Fatwa ini membuka ruang ijtihad baru dalam fiqih kontemporer terkait ibadah haji di era modern, khususnya di negara dengan keterbatasan kuota dan sistem ribawi. Meskipun kontroversial, pendapat Dr. Erwandi berdiri di atas dasar dalil, kajian, dan realitas yang sulit dibantah.
"Fatwa bukanlah sesuatu yang wajib diikuti semua orang, tapi ia membuka pintu bagi mereka yang ingin menjaga agamanya dari cara-cara yang haram." (Dr. Erwandi Tarmizi)
Berapa Persen Peluang Masyarakat Indonesia Dapat Menunaikan Haji?
Mari kita analisis dengan pendekatan probabilitas berdasarkan data kuota, jumlah penduduk Muslim di Indonesia, dan rata-rata yang bisa berangkat haji setiap tahunnya.
1. Jumlah Muslim di Indonesia
- Jumlah penduduk Indonesia (2025): sekitar 280 juta jiwa.
- Persentase Muslim: ± 87% → sekitar 243 juta Muslim.
2. Kuota Haji Indonesia
Kuota resmi haji Indonesia tahun 2025: ± 241.000 jamaah (sumber Kemenag & Arab Saudi).
Jumlah ini setiap tahun bisa berubah, tapi kisarannya sekitar 200–250 ribu orang.
3. Probabilitas Tahunan
Probabilitas seorang Muslim di Indonesia bisa berangkat dalam 1 tahun:
> {241.000}÷{243.000.000} ≈ 0,1% per tahun.
> Artinya, dalam satu tahun, hanya sekitar 1 dari 1.000 Muslim Indonesia yang bisa berangkat haji.
4. Probabilitas Selama Umur Hidup
Jika diasumsikan:
Rata-rata usia Muslim yang siap berhaji: 20–70 tahun → sekitar 50 tahun waktu aktif untuk berangkat.
Setiap tahun peluangnya 0,1%.
Maka probabilitas kumulatif selama hidup:
P(\text{setidaknya sekali}) = 1 - (1 - 0,001)^{50}
= 1 - (0,999)^{50} \approx 0,0488
≈ 4,9%.
Artinya, secara statistik, hanya sekitar 5 dari 100 Muslim Indonesia yang berpeluang bisa menunaikan haji sekali seumur hidup, jika hanya mengandalkan kuota reguler.
5. Faktor yang Mempengaruhi
- Antrian panjang: di beberapa daerah, daftar tunggu bisa mencapai 20–30 tahun.
- Haji khusus/ONH Plus: peluang lebih besar karena jalurnya berbeda, tapi biayanya jauh lebih tinggi.
- Kesehatan dan usia: meskipun terdaftar, tidak semua calon jamaah bisa berangkat karena faktor kesehatan.
- Kebijakan kuota Saudi: setiap negara mendapat 1 kuota per 1.000 penduduk Muslim, sehingga jumlah jamaah terbatas.
Kesimpulan:
Secara probabilitas murni, peluang seorang Muslim di Indonesia bisa berhaji seumur hidup sekitar 5% (jika melalui jalur reguler). Itu artinya, hanya sebagian kecil umat Islam di Indonesia yang benar-benar bisa berhaji, sehingga ibadah ini memang tergolong ibadah istitha‘ah (bagi yang mampu dan berkesempatan).