Pernyataan ini bukan sekadar kritik biasa. Din Syamsuddin menegaskan bahwa jika benar ada bukti ijazah palsu, maka hal itu bukan hanya sekadar pelanggaran administratif, melainkan sebuah skandal politik nasional yang berpotensi memicu gejolak rakyat. Ia bahkan memperingatkan, lebih baik Gibran mundur secara sukarela sebelum rakyat marah dan memaksanya turun.
Skandal Ijazah dan Bahaya Delegitimasi
Dalam demokrasi, legitimasi seorang pemimpin tidak hanya ditentukan oleh hasil suara, tetapi juga oleh keabsahan dan kejujuran proses pencalonan. Isu ijazah palsu, jika terbukti, akan menjadi bom waktu yang menggerogoti legitimasi seorang pejabat negara.
Seorang Wakil Presiden seharusnya menjadi teladan integritas, bukan justru terjebak dalam tuduhan kecurangan akademik. Apabila syarat administrasi dasar seperti ijazah saja dipalsukan, bagaimana mungkin rakyat percaya bahwa kebijakan dan keputusan politik yang diambil tidak diwarnai manipulasi serupa?
Sejarah mencatat, skandal akademik kerap menghancurkan karier politik tokoh besar di berbagai negara. Di Jerman misalnya, Menteri Pertahanan Karl-Theodor zu Guttenberg terpaksa mundur pada 2011 setelah terbukti melakukan plagiarisme dalam disertasinya. Hal serupa juga menimpa Annette Schavan, Menteri Pendidikan Jerman, yang mundur pada 2013 karena kasus plagiarisme. Bila di negara lain saja skandal akademik menjadi alasan kuat untuk mengundurkan diri, mengapa Indonesia harus menutup mata terhadap isu yang lebih serius: dugaan ijazah palsu?
Din Syamsuddin: Peringatan Moral dan Politik
Pernyataan Din Syamsuddin patut dibaca lebih dalam. Sebagai mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah, ia dikenal bukan hanya sebagai ulama, tetapi juga intelektual publik yang sering bersuara lantang soal moralitas politik. Ketika beliau menyarankan agar Gibran mundur, itu bukan sekadar dorongan emosional, melainkan refleksi dari tanggung jawab moral untuk menjaga kestabilan bangsa.
Din menegaskan bahwa bila benar ada manipulasi, kerusuhan sosial bisa muncul. Indonesia memiliki sejarah panjang ketidakpuasan rakyat yang meledak menjadi gejolak politik. Kita masih ingat reformasi 1998, yang berawal dari krisis kepercayaan terhadap rezim dan akhirnya mengguncang seluruh sendi kehidupan bangsa. Tuduhan ijazah palsu, jika tidak ditangani dengan serius, bisa menjadi pemantik api yang sama.
KPU dan Tanggung Jawab Administrasi
Kritik Din juga diarahkan kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang dianggap tidak boleh main-main dengan aspek administratif. Dalam Pilpres 2024, publik berhak menuntut transparansi penuh terkait dokumen pencalonan. KPU memiliki tanggung jawab moral dan hukum untuk memastikan setiap calon memenuhi syarat secara jujur dan sahih.
Jika benar ada kelalaian atau bahkan pembiaran terhadap dokumen yang bermasalah, KPU ikut bertanggung jawab atas krisis legitimasi ini. Dalam demokrasi, penyelenggara pemilu adalah garda terakhir kepercayaan publik. Sekali integritas mereka dipertanyakan, maka seluruh sistem politik ikut runtuh.
Potensi Gejolak Sosial
Mengapa isu ini begitu berbahaya? Karena ia menyentuh dua aspek paling sensitif: keadilan dan kepercayaan publik. Rakyat bisa menerima kekalahan dalam pemilu jika prosesnya jujur dan transparan. Namun, rakyat akan sulit menerima hasil pemilu jika ternyata syarat dasar pencalonan saja sudah dimanipulasi.
Potensi gejolak sosial sangat nyata. Masyarakat yang sudah jenuh dengan praktik oligarki dan politik dinasti bisa menjadikan isu ini sebagai simbol perlawanan. Di era media sosial, kabar semacam ini cepat membesar, memicu polarisasi, dan berpotensi memecah stabilitas nasional.
Gibran dan Pilihan Sulit
Bagi Gibran, ini adalah ujian terbesar dalam karier politiknya. Sebagai anak presiden, ia sejak awal sudah menghadapi tuduhan politik dinasti dan keberpihakan sistem pada keluarga penguasa. Isu ijazah palsu semakin memperkuat kesan negatif bahwa ia naik ke puncak kekuasaan bukan karena kapasitas, tetapi karena manipulasi.
Jika Gibran memilih bertahan dengan alasan belum terbukti bersalah, maka krisis legitimasi akan terus membayangi pemerintahannya. Setiap kebijakan bisa dipertanyakan, setiap pidato bisa ditanggapi sinis. Namun jika ia memilih mundur secara sukarela, meski berat, itu justru bisa menjadi langkah penyelamatan politik jangka panjang. Sejarah mencatat, banyak tokoh yang mundur demi menjaga martabat, lalu kembali dengan legitimasi lebih kuat di kemudian hari.
Politik dan Etika Publik
Politik tanpa etika hanya akan melahirkan kekuasaan tanpa moral. Isu ijazah palsu bukan semata soal selembar kertas, melainkan simbol kejujuran dan integritas. Seorang pejabat negara tidak boleh terjebak dalam skandal moral sekecil apa pun, sebab setiap kebohongan yang terungkap akan menular menjadi ketidakpercayaan sistemik.
Din Syamsuddin benar ketika menegaskan bahwa lebih baik mundur sebelum rakyat memaksanya mundur. Dalam logika demokrasi, kedaulatan sejati ada di tangan rakyat. Begitu rakyat kehilangan kepercayaan, tidak ada kekuasaan yang bisa bertahan lama.
Transparansi sebagai Jalan Keluar
Agar bangsa tidak terseret dalam konflik politik berkepanjangan, langkah terbaik adalah membuka seluruh dokumen ke publik. Transparansi adalah kunci. Pemerintah, KPU, dan lembaga pendidikan terkait harus berani membuktikan keaslian ijazah secara terang benderang. Jika benar asli, tuduhan akan gugur dan legitimasi Gibran kembali pulih. Tetapi jika terbukti palsu, maka jalan satu-satunya adalah mundur demi menjaga stabilitas bangsa.
Dalam era keterbukaan informasi, rakyat tidak bisa lagi dibohongi dengan dalih administratif. Setiap kebohongan akan cepat terbongkar. Maka pilihan terbaik bagi seorang pemimpin adalah jujur dan transparan sejak awal.
Penutup
Isu ijazah palsu Gibran Rakabuming Raka bukan sekadar gosip politik, tetapi ujian serius bagi integritas demokrasi Indonesia. Din Syamsuddin, dengan pengalaman dan moralitasnya, memberi peringatan keras: mundur lebih terhormat daripada dipaksa mundur oleh kemarahan rakyat.
Indonesia membutuhkan pemimpin yang tidak hanya sah secara hukum, tetapi juga bersih secara moral. Politik dinasti, manipulasi administratif, dan permainan curang hanya akan mempercepat keruntuhan kepercayaan rakyat. Jika bangsa ini ingin tetap stabil dan demokratis, transparansi dan kejujuran harus menjadi fondasi utama.
Karena pada akhirnya, sebuah negara tidak akan runtuh karena kemiskinan atau krisis ekonomi semata, tetapi karena hilangnya kepercayaan rakyat kepada para pemimpinnya.