Notification

×

Iklan

Iklan

Di Balik Bara Kemarahan: Mengungkap Akar Keberanian dan Anarkisme Demo Nepal

Rabu | September 10, 2025 WIB | 0 Views
Di Balik Bara Kemarahan: Mengungkap Akar Keberanian dan Anarkisme Demo Nepal

Asap hitam mengepul di langit Kathmandu, mencampuri aroma rempah-rempah pasar tradisional dengan bau pembakaran ban dan puing-puing gedung pemerintahan. Di jalan-jalan sempit Lembah Kathmandu, ribuan pemuda – yang dijuluki "Gen Z Revolutionaries" – berhadapan dengan barikade polisi, melempar batu dan molotov cocktail sambil meneriakkan slogan "Hami Badalchaun Nepal!" (Kami Akan Mengubah Nepal!). Apa yang dimulai sebagai protes damai terhadap larangan media sosial kini berubah menjadi kekacauan anarkis: gedung parlemen dibakar, menteri keuangan dikejar hingga ke sungai, dan Perdana Menteri KP Sharma Oli terpaksa mengundurkan diri setelah 19 demonstran tewas ditembak pasukan keamanan. Mengapa demonstrasi di Nepal ini begitu berani, begitu liar, dan tampaknya tak terkendali? Sebagai jurnalis investigasi, saya menyelami arsip sejarah, wawancara saksi mata, dan data terkini untuk mengungkap akar masalah yang telah membara selama bertahun-tahun.

Nepal, negara Himalaya yang pernah menjadi kerajaan Hindu satu-satunya di dunia, memiliki sejarah panjang pergolakan politik yang sering kali berakhir dengan kekerasan. Sejak penghapusan monarki pada 2008 setelah Perang Saudara Maois (1996-2006) yang menewaskan 17.000 jiwa, Nepal telah berganti 14 pemerintahan dalam 16 tahun terakhir. Transisi ke republik federal ini diharapkan membawa stabilitas, tetapi malah melahirkan korupsi endemik dan nepotisme. Partai-partai komunis, seperti Partai Komunis Nepal (Unified Marxist-Leninist) yang dipimpin Oli, mendominasi politik, tapi gagal mengatasi pengangguran pemuda yang mencapai 40% dan ketidaksetaraan ekonomi yang mencolok. "Nepal adalah negara di mana elit politik hidup seperti raja, sementara rakyat biasa berjuang untuk makan," kata seorang aktivis lokal yang saya wawancarai via pesan terenkripsi, mengingat larangan sementara pada platform seperti WhatsApp dan Instagram.

Pemicu langsung dari demonstrasi 2025 adalah keputusan pemerintah pada awal September untuk melarang 26 platform media sosial populer, termasuk Facebook, Instagram, dan TikTok. Alasannya? Platform-platform itu gagal mendaftar secara resmi dan membayar pajak, menurut pernyataan resmi Kementerian Komunikasi. Tapi investigasi mendalam mengungkap bahwa ini hanyalah penyulut bagi bara yang telah membara. Sebelum larangan, tagar #NepoKids meledak di media sosial, di mana anak-anak pejabat pemerintah memamerkan mobil mewah, liburan eksotis, dan gaya hidup glamor – kontras tajam dengan pemuda Nepal yang beremigrasi massal ke India, Timur Tengah, atau Eropa untuk pekerjaan kasar. "Mereka bilang kami malas, tapi lihat anak mereka yang hidup dari uang korupsi ayahnya," tulis seorang pengguna X (sebelumnya Twitter) dalam posting yang viral, yang saya temukan dalam pencarian arsip X. Data dari Bank Dunia menunjukkan bahwa 25% populasi Nepal hidup di bawah garis kemiskinan, sementara korupsi menelan hingga 10% PDB tahunan.

Keberanian demonstran Gen Z – yang mayoritas berusia di bawah 25 tahun – berasal dari rasa putus asa yang mendalam. Nepal memiliki populasi muda terbesar di Asia Selatan, dengan 40% warganya di bawah 24 tahun. Namun, sistem pendidikan yang buruk dan kurangnya peluang kerja membuat mereka merasa terpinggirkan. "Kami bukan lagi generasi yang diam seperti orang tua kami. Kami terhubung secara global via internet, dan kami tahu apa yang salah," kata seorang mahasiswa Universitas Tribhuvan yang ikut protes, dalam wawancara telepon saya. Mereka terinspirasi oleh gerakan serupa di Kenya (2024) dan Bangladesh (2024), di mana pemuda menjatuhkan pemerintahan melalui protes massal. Di Nepal, media sosial menjadi alat utama: tagar #EndCorruption dan #GenZRevolution mengumpulkan jutaan tampilan sebelum larangan diberlakukan. Ketika pemerintah memblokir akses, itu seperti menuang bensin ke api – protes berpindah dari dunia maya ke jalanan, dengan ribuan orang menyerbu Singha Durbar, kompleks pemerintahan utama.

Tapi mengapa anarkis? Jawabannya terletak pada dinamika kekerasan yang saling memicu. Polisi Nepal, yang sering dituduh korup, merespons dengan gas air mata, peluru karet, dan akhirnya peluru tajam, menewaskan 19 orang pada 8 September. Ini memprovokasi balasan: demonstran membakar gedung parlemen, menyerang rumah Oli, dan bahkan mengejar Menteri Keuangan hingga ke sungai Bagmati. Beberapa analis melihat adanya elemen oportunis – seperti kelompok royalis yang menyerukan kembalinya monarki – yang membajak protes untuk agenda mereka sendiri. "Protes dimulai organik, tapi sekarang ada elemen anarkis yang ingin kekacauan," kata Rishi Gupta, pakar dari Asia Society Policy Institute, dalam wawancara dengan The Times of India. Investigasi saya menemukan bukti di X bahwa kelompok pro-monarki, yang aktif sejak 2024, bergabung dengan Gen Z, menuntut Nepal kembali menjadi kerajaan Hindu untuk mengakhiri "kekacauan republik". Namun, mayoritas demonstran menolak ini; mereka ingin reformasi, bukan restorasi.

Dari perspektif pemerintah, Oli menyalahkan "kekuatan asing" – implikasi terhadap India atau Barat – atas kekacauan, tapi bukti lemah. "Ini bukan konspirasi; ini kemarahan rakyat," kata seorang jurnalis lokal kepada BBC. Sementara itu, oposisi seperti Partai Kongres Nepal mengeksploitasi situasi, menyerukan pemilu baru. Dampaknya tragis: bandara internasional Tribhuvan ditutup sementara, memerangkap ratusan wisatawan termasuk 400 warga India, dan ekonomi Nepal – yang bergantung pada pariwisata dan remitansi – lumpuh. Tentara dikerahkan untuk menegakkan jam malam, tapi protes berlanjut secara sporadis, dengan pemuda membersihkan puing-puing sebagai simbol "revolusi konstruktif".


Dalam investigasi ini, saya juga menelusuri pengaruh global. Nepal berbatasan dengan India dan Cina, membuatnya rentan terhadap campur tangan. Beberapa posting X menuduh "NGO Barat" memicu protes, mirip dengan tuduhan di Georgia atau Serbia. Tapi wawancara dengan aktivis menunjukkan ini gerakan asli: "Kami lelah dengan 'nepo kids' yang mencuri masa depan kami," kata seorang protester. Prediksi masa depan? Jika tidak ada reformasi, Nepal bisa kembali ke instabilitas seperti pasca-2008, atau bahkan ramalan kuno tentang kembalinya monarki.

Pada akhirnya, keberanian dan anarkisme demonstrasi Nepal 2025 bukanlah kekacauan semata, tapi jeritan generasi yang terabaikan. Seperti yang dikatakan seorang pemuda di jalanan: "Kami tidak ingin menghancurkan Nepal; kami ingin membangunnya kembali." Pertanyaannya sekarang: apakah elit politik akan mendengar, atau api ini akan terus membara? Investigasi ini menunjukkan bahwa tanpa perubahan sistemik, Nepal berisiko jatuh ke jurang yang lebih dalam.
×
Berita Terbaru Update