Namun, Al-Qur’an yang beliau sampaikan menyimpan pernyataan menakjubkan:
“وَالْجِبَالَ أَوْتَادًا”
"Dan gunung-gunung sebagai pasak-pasak (yang menancap)." (QS. An-Naba’ [78]: 7)
Ayat ini menyebut gunung sebagai awtād (jamak dari watad), yang dalam bahasa Arab berarti pasak atau pancang. Kata tersebut digunakan untuk menggambarkan sesuatu yang menancap kuat ke dalam tanah, menstabilkan dan mengokohkan sesuatu di atasnya. Bagi masyarakat Arab abad ke-7, pasak adalah benda sederhana yang digunakan untuk menancapkan tenda agar tidak roboh diterpa angin padang pasir.
Akan tetapi, dalam ayat ini, Allah menyamakan gunung dengan pasak. Sebuah perumpamaan yang baru diakui makna ilmiahnya berabad-abad kemudian, ketika ilmu geologi berkembang pesat pada abad ke-19 hingga ke-20.
Ayat ini menyebut gunung sebagai awtād (jamak dari watad), yang dalam bahasa Arab berarti pasak atau pancang. Kata tersebut digunakan untuk menggambarkan sesuatu yang menancap kuat ke dalam tanah, menstabilkan dan mengokohkan sesuatu di atasnya. Bagi masyarakat Arab abad ke-7, pasak adalah benda sederhana yang digunakan untuk menancapkan tenda agar tidak roboh diterpa angin padang pasir.
Akan tetapi, dalam ayat ini, Allah menyamakan gunung dengan pasak. Sebuah perumpamaan yang baru diakui makna ilmiahnya berabad-abad kemudian, ketika ilmu geologi berkembang pesat pada abad ke-19 hingga ke-20.
Perspektif Ilmiah: Gunung dan Akar yang Menancap
Penemuan geologi modern menunjukkan bahwa gunung bukan hanya tonjolan tanah atau batu besar di permukaan bumi. Gunung sesungguhnya memiliki struktur dalam yang sangat kompleks. Teori lempeng tektonik menjelaskan bahwa gunung terbentuk dari benturan dan pergerakan lempeng bumi yang saling mendorong. Akibatnya, sebagian lempeng terangkat ke atas membentuk puncak, dan sebagian lainnya menancap jauh ke bawah membentuk apa yang disebut sebagai “akar gunung”.
Fenomena ini sangat mirip dengan pasak: yang terlihat hanyalah bagian kecil di atas permukaan, sementara bagian terbesarnya justru tertanam di dalam tanah. Seorang ilmuwan geologi asal Kanada, Frank Press, menggambarkan gunung sebagai struktur yang memiliki akar dalam dan berfungsi menstabilkan kerak bumi. Akar gunung dapat menembus jauh ke lapisan mantel, sehingga membantu menyeimbangkan tekanan tektonik.
Dari sini jelas bahwa perumpamaan gunung sebagai pasak memiliki kesesuaian yang menakjubkan dengan realitas ilmiah. Pasak berfungsi menjaga agar tenda tidak terguncang, sementara gunung berperan menjaga kestabilan bumi dari guncangan besar akibat pergeseran lempeng.
Konteks Historis: Pengetahuan yang Mustahil Dimiliki
Pertanyaan besar pun muncul: bagaimana mungkin seorang manusia di abad ke-7, tanpa pendidikan formal dalam ilmu alam, mampu menyampaikan keterangan yang sesuai dengan penemuan ilmiah berabad-abad kemudian?
Tidak ada literatur Arab kuno yang mendeskripsikan gunung dengan istilah “pasak bumi”. Orang Arab mengenal gunung hanya sebagai bebatuan besar yang menjulang, tempat berlindung, atau penanda arah perjalanan. Tidak ada konsep geologis dalam tradisi mereka.
Jika kita menoleh ke peradaban besar pada masa itu, seperti Yunani atau Romawi, pengetahuan mereka tentang gunung pun terbatas pada mitos dan pengamatan kasat mata. Teori geologi modern baru benar-benar berkembang setelah abad ke-18, melalui tokoh-tokoh seperti James Hutton, Charles Lyell, hingga Alfred Wegener yang mengemukakan teori pergeseran benua.
Dengan demikian, mustahil bagi Nabi Muhammad ﷺ, seorang yang hidup di tengah gurun, untuk mengemukakan pernyataan ilmiah yang begitu tepat kecuali bersumber dari wahyu Allah.
Mukjizat Ilmiah Al-Qur’an
Ayat tentang gunung ini menjadi salah satu bukti mukjizat ilmiah Al-Qur’an. Mukjizat bukan hanya sesuatu yang menakjubkan secara kasat mata, tetapi juga sesuatu yang melampaui kemampuan manusia biasa. Mukjizat Al-Qur’an terletak pada kelengkapan isinya, keindahan bahasanya, serta kebenaran ilmiahnya yang teruji lintas zaman.
Al-Qur’an menyampaikan kebenaran yang bisa diuji oleh siapa pun, kapan pun. Fakta bahwa Al-Qur’an menggambarkan gunung sebagai pasak, sementara ilmu modern membenarkan hal itu, adalah tanda jelas bahwa kitab ini bukanlah hasil karya manusia. Firman Allah menembus batas ruang dan waktu, memberikan pengetahuan yang baru bisa dipahami manusia setelah teknologi dan sains berkembang.
Implikasi Teologis: Allah Maha Mengetahui Rahasia Penciptaan
Ketika Al-Qur’an menyatakan gunung sebagai pasak, sejatinya Allah sedang mengingatkan manusia tentang kekuasaan-Nya dalam menciptakan dan menata bumi. Gunung bukan hanya pemandangan indah, melainkan instrumen kosmik yang menjaga stabilitas kehidupan. Tanpa gunung, pergerakan lempeng tektonik bisa jauh lebih ekstrem, dan bumi mungkin tidak layak dihuni.
Hal ini meneguhkan keyakinan bahwa Allah Maha Mengetahui segala rahasia penciptaan. Manusia baru bisa memahami sebagian kecilnya setelah ribuan tahun penelitian. Dengan demikian, setiap penemuan ilmiah seharusnya semakin menambah iman, bukan sekadar menambah pengetahuan.
Kata Ilmuan lmuan Geologi Kontemporer
Berikut tambahan kutipan dan referensi ilmiah dari para geolog dan hasil penelitian modern, yang mendukung gagasan bahwa gunung memiliki “akar” yang menjamur ke dalam bumi seperti pasak, sehingga memperkuat argumen bahwa pernyataan Al-Qur’an tentang gunung sebagai awtād (pasak-pasak) bukanlah sebuah metafora kosong tetapi ada korelasi nyata dengan temuan ilmiah:
Kutipan & Temuan Ilmiah
Artikel "Dense mountain roots" (Nature Geoscience, Whitchurch & Currie, 2013)
Dalam studi numerik pemodelan konvergensi dua lempeng tektonik, ditemukan bahwa ketika lempeng bumi bertumbukan dan membentuk pegunungan, kerak bumi di bawah daerah pegunungan tersebut mengental (thickening), lalu terbentuk akar kerak (deep crustal root) yang menjalar jauh ke dalam dengan tekanan tinggi. Struktur akar ini mengalami metamorfisme menjadi jenis batuan yang sangat padat (eclogite), yang akhirnya menjadi lebih berat dari mantel sekitarnya sehingga akar tersebut “tenggelam” ke dalam mantel (subduk-lokal). Fenomena ini memperlihatkan bahwa gunung tidak hanya menonjol ke atas, tetapi memiliki struktur bawah permukaan yang menjangkau jauh ke dalam bumi.
Studi “The Roots of Mountains” (Geological Magazine, 1944)
Dalam artikel ini dijelaskan teori isostasi (isostatic theory) yang menyebut bahwa gunung memiliki akar kuat yang ‘terbenam’ dalam medium yang lebih plastis, sehingga keseluruhan rangkaian gunung dan akarnya “mengapung” secara hidrostatik dalam medium tersebut. Apabila bagian atas gunung (lapisan kerak) dihapus atau terkikis, gunung tersebut akan turun menyesuaikan keseimbangan akar dan kepadatan medium plastis di bawahnya. Dengan demikian akar ini bukan hanya ilustratif, melainkan bagian integral dari mekanika struktur bumi.
Studi “Mountain roots and the survival of cratons” (Oxford Academic, Astrogeology)
Penelitian tentang craton (bagian kerak bumi yang sangat tua, keras, stabil) menegaskan bahwa bagian bawah kerak bagian ini sering memiliki akar kerak yang tebal dan stabil, yang membantu mempertahankan kestabilan geologisnya selama ratusan juta tahun. Salah satu tantangan bagi para geolog adalah memahami bagaimana akar-akar ini tetap stabil meskipun lempeng-lempeng tektonik dan aktivitas geologis terus berlangsung.
Artikel “Heavy Bottoms Keep Old Mountains Down” (Science / AAAS)
Judulnya sudah menggambarkan inti: gunung-gunung tua tidak runtuh atau terkikis sepenuhnya karena akar bawahnya yang padat dan berat. Akar yang berat tersebut membantu menjaga struktur gunung agar permukaannya tetap terangkat meskipun terjadi pengikisan di bagian atas.
Integrasi dengan Argumentasi Religius
Dengan bukti-ilmiah di atas, kita dapat melihat bahwa:
Eksistensi akar gunung yang menjulur ke dalam bumi bukan sekadar teoritis atau spekulatif, tetapi hasil simulasi maupun observasi nyata dalam geologi modern.
Struktur tersebut tidak bisa diamati langsung dalam banyak kasus tanpa instrumentasi modern seperti seismik, pemodelan numerik, dan analisis tekanan batuan/metamorfisme.
Fakta bahwa manusia abad ke-7 maupun masyarakat gurun kala itu tidak memiliki akses ke alat ukur seperti ini menunjukkan bahwa pemahaman semacam “gunung sebagai pasak” bukan berasal dari observasi biasa ataupun folklor saja, melainkan sumber yang lebih tinggi, dalam perspektif teologis.
Harmoni antara Wahyu dan Ilmu
Relasi antara wahyu dan ilmu seringkali dipahami sebagai dua hal yang terpisah. Padahal, keduanya adalah jalan menuju kebenaran. Wahyu memberi petunjuk transendental, sementara ilmu memberi bukti empiris. Ketika keduanya bertemu, muncullah harmoni yang memperkuat keyakinan.
Dalam konteks ayat tentang gunung, wahyu mendahului ilmu. Allah memberi isyarat yang baru bisa dipahami setelah akal manusia mengejarnya. Hal ini sejalan dengan pesan Al-Qur’an bahwa tanda-tanda kekuasaan Allah terdapat pada alam semesta:
“سَنُرِيهِمْ آيَاتِنَا فِي الْآفَاقِ وَفِي أَنْفُسِهِمْ حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُ الْحَقُّ”
"Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan Kami) di segenap penjuru bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Al-Qur’an itu benar." (QS. Fussilat [41]: 53)
Ayat ini menjadi penegasan bahwa perkembangan ilmu pengetahuan bukanlah ancaman bagi iman, melainkan penguat yang menunjukkan kebenaran wahyu.
Ayat ini menjadi penegasan bahwa perkembangan ilmu pengetahuan bukanlah ancaman bagi iman, melainkan penguat yang menunjukkan kebenaran wahyu.
Refleksi: Dari Gunung ke Keimanan
Gunung yang menjulang gagah seharusnya tidak hanya dipandang sebagai karya geologi, melainkan juga sebagai tanda kebesaran Allah. Ia tegak berdiri sebagai saksi zaman, menjaga bumi dari guncangan besar, dan sekaligus mengingatkan manusia akan keterbatasannya.
Manusia baru memahami sedikit demi sedikit mekanisme penciptaan, sementara Allah sudah menyatakannya sejak awal. Inilah salah satu bentuk mukjizat Al-Qur’an: kebenaran yang melampaui zaman, sekaligus tantangan bagi manusia untuk terus merenungkan isinya.
Penutup
Ayat “وَالْجِبَالَ أَوْتَادًا” bukan sekadar ungkapan puitis, melainkan pernyataan ilmiah yang mendalam. Nabi Muhammad ﷺ, seorang yang tidak belajar ilmu geologi, mampu menyampaikan kebenaran tentang struktur bumi yang baru dipahami manusia modern. Fakta ini menegaskan bahwa Al-Qur’an bukanlah hasil pikiran manusia, tetapi wahyu dari Allah yang Maha Mengetahui.
Gunung sebagai pasak bumi adalah bukti nyata bahwa wahyu dan ilmu saling menguatkan. Setiap penemuan ilmiah baru bukanlah saingan wahyu, melainkan pintu tambahan untuk memahami kebesaran Sang Pencipta.
Maka, setiap kali kita memandang gunung, jangan hanya terpukau oleh keindahannya. Lihatlah ia sebagai pasak bumi yang menstabilkan kehidupan, sekaligus sebagai ayat kauniyah yang menguatkan iman. Sesungguhnya, di balik keagungan gunung, tersimpan pesan ilahi yang kekal sepanjang masa.