Fikroh.com - Fenomena suap merupakan salah satu problem klasik yang hingga kini terus menjadi perbincangan. Belakangan ini, pernyataan seorang tokoh publik, Gus Ulil Abshar Abdalla, yang dianggap membolehkan suap demi tujuan baik, kembali memicu perdebatan di ruang publik. Reaksi keras pun bermunculan, sebagian menilai pandangan tersebut menyimpang dan berpotensi menormalisasi praktik haram.
Namun, alih-alih terburu-buru menyimpulkan, penting kiranya meninjau persoalan ini melalui perspektif ilmiah dengan merujuk pada khazanah fikih Islam. Pertanyaan pokoknya: apakah suap selalu haram dalam semua kondisi, ataukah ada pengecualian tertentu?
Dalam istilah fikih, praktik suap disebut risywah. Mayoritas ulama menegaskan bahwa suap yang diberikan untuk memperoleh sesuatu yang bukan haknya adalah haram. Hal ini didasarkan pada hadis Nabi ﷺ:
Meskipun keharaman suap bersifat mutlak dalam konteks merampas hak orang lain, para ulama membahas adanya kondisi khusus di mana pemberian suap dapat dibolehkan, yaitu ketika bertujuan untuk:
Dalam kondisi ini, hukum haram tetap melekat pada pihak penerima, namun pemberi suap dapat dimaafkan apabila tidak ada alternatif lain untuk mempertahankan haknya.
1. Mengurus SIM yang dipersulit.
Seorang pemohon yang sudah memenuhi syarat dipersulit oleh oknum petugas. Ia kemudian terpaksa memberi uang agar urusan selesai. Dalam hal ini, memberi suap diperbolehkan karena SIM memang haknya. Namun, bagi petugas, perbuatannya tetap haram.
2. Difitnah melakukan kejahatan.
Seseorang difitnah hingga hampir dijatuhi hukuman. Keluarganya memberi uang agar hakim benar-benar memeriksa bukti. Setelah diperiksa, ia terbukti tidak bersalah. Dalam kondisi ini, memberi suap diperbolehkan sebagai sarana menolak kezaliman, tetapi tetap haram bagi hakim yang menerima.
Kaidah Umum
Para fuqaha menetapkan kaidah:
1. Ibn Taimiyyah al-Hanbali (Majmu’ al-Fatawa, 29/252):
“Boleh memberikan sogokan kepada pejabat untuk menolak kezaliman, bukan untuk mencegah orang lain mendapatkan haknya. Namun, menerima suap dalam kedua kondisi tetap haram.”
2. Taqiyyuddin As-Subki Asy-Syafi’i (Fatawa As-Subki, 1/204):
“Jika suap diberikan untuk memperoleh hak, maka keharamannya berlaku bagi penerimanya. Adapun pemberinya, jika tidak dapat memperoleh haknya kecuali dengan suap, maka diperbolehkan. Namun jika masih ada jalan lain, maka tidak boleh.”
3. Syaikh Abdul Aziz bin Baz (Mufti Saudi):
Menegaskan bolehnya memberi suap jika hak seseorang tidak bisa diperoleh kecuali dengan cara tersebut, selama tidak menimbulkan kerugian bagi orang lain.
Dengan demikian, konsensus ulama menunjukkan adanya perbedaan hukum antara penerima dan pemberi suap, tergantung pada motif dan konteksnya.
Berdasarkan dalil hadis, kaidah fikih, dan pandangan ulama:
Persoalan suap tidak bisa dilihat secara hitam-putih tanpa mempertimbangkan konteks. Islam telah memberikan panduan yang adil: melarang secara tegas suap yang bersifat zalim, tetapi membolehkan dalam kondisi darurat ketika menyangkut pembelaan hak.
Dengan demikian, perdebatan publik seputar isu ini sebaiknya diarahkan pada pemahaman mendalam terhadap khazanah klasik, bukan sekadar reaksi emosional. Suap tetaplah praktik yang merusak sistem, namun syariat Islam juga tidak menzalimi orang yang terpaksa melakukannya demi menegakkan keadilan.
Namun, alih-alih terburu-buru menyimpulkan, penting kiranya meninjau persoalan ini melalui perspektif ilmiah dengan merujuk pada khazanah fikih Islam. Pertanyaan pokoknya: apakah suap selalu haram dalam semua kondisi, ataukah ada pengecualian tertentu?
Konsep Dasar Suap dalam Islam
Dalam istilah fikih, praktik suap disebut risywah. Mayoritas ulama menegaskan bahwa suap yang diberikan untuk memperoleh sesuatu yang bukan haknya adalah haram. Hal ini didasarkan pada hadis Nabi ﷺ:
“لَعَنَ اللَّهُ الرَّاشِيَ وَالْمُرْتَشِيَ”
“Allah melaknat pemberi suap dan penerima suap.”
Dengan demikian, secara umum, suap termasuk dalam kategori dosa besar karena mengandung unsur manipulasi, ketidakadilan, serta merusak sistem hukum dan sosial.
Dengan demikian, secara umum, suap termasuk dalam kategori dosa besar karena mengandung unsur manipulasi, ketidakadilan, serta merusak sistem hukum dan sosial.
Batasan Keumuman Hukum
Meskipun keharaman suap bersifat mutlak dalam konteks merampas hak orang lain, para ulama membahas adanya kondisi khusus di mana pemberian suap dapat dibolehkan, yaitu ketika bertujuan untuk:
- Menolak kezaliman.
- Mengambil hak yang semestinya dimiliki.
Dalam kondisi ini, hukum haram tetap melekat pada pihak penerima, namun pemberi suap dapat dimaafkan apabila tidak ada alternatif lain untuk mempertahankan haknya.
Contoh Kasus:
1. Mengurus SIM yang dipersulit.
Seorang pemohon yang sudah memenuhi syarat dipersulit oleh oknum petugas. Ia kemudian terpaksa memberi uang agar urusan selesai. Dalam hal ini, memberi suap diperbolehkan karena SIM memang haknya. Namun, bagi petugas, perbuatannya tetap haram.
2. Difitnah melakukan kejahatan.
Seseorang difitnah hingga hampir dijatuhi hukuman. Keluarganya memberi uang agar hakim benar-benar memeriksa bukti. Setelah diperiksa, ia terbukti tidak bersalah. Dalam kondisi ini, memberi suap diperbolehkan sebagai sarana menolak kezaliman, tetapi tetap haram bagi hakim yang menerima.
Landasan Fikih
Kaidah Umum
Para fuqaha menetapkan kaidah:
الضَّرُورَاتُ تُبِيحُ المَحظُورَات
“Keadaan darurat membolehkan hal yang terlarang.”
Kaidah ini menjadi dasar bolehnya memberi suap dalam kondisi terpaksa untuk menjaga hak atau menolak kezaliman.
Kaidah ini menjadi dasar bolehnya memberi suap dalam kondisi terpaksa untuk menjaga hak atau menolak kezaliman.
Pandangan Ulama
1. Ibn Taimiyyah al-Hanbali (Majmu’ al-Fatawa, 29/252):
“Boleh memberikan sogokan kepada pejabat untuk menolak kezaliman, bukan untuk mencegah orang lain mendapatkan haknya. Namun, menerima suap dalam kedua kondisi tetap haram.”
2. Taqiyyuddin As-Subki Asy-Syafi’i (Fatawa As-Subki, 1/204):
“Jika suap diberikan untuk memperoleh hak, maka keharamannya berlaku bagi penerimanya. Adapun pemberinya, jika tidak dapat memperoleh haknya kecuali dengan suap, maka diperbolehkan. Namun jika masih ada jalan lain, maka tidak boleh.”
3. Syaikh Abdul Aziz bin Baz (Mufti Saudi):
Menegaskan bolehnya memberi suap jika hak seseorang tidak bisa diperoleh kecuali dengan cara tersebut, selama tidak menimbulkan kerugian bagi orang lain.
Dengan demikian, konsensus ulama menunjukkan adanya perbedaan hukum antara penerima dan pemberi suap, tergantung pada motif dan konteksnya.
Kesimpulan
Berdasarkan dalil hadis, kaidah fikih, dan pandangan ulama:
- Suap untuk merampas hak orang lain → haram mutlak, pemberi dan penerima sama-sama berdosa.
- Suap untuk menolak kezaliman atau memperoleh hak yang semestinya → haram bagi penerima, tetapi boleh bagi pemberi jika tidak ada jalan lain.
Apa Saja Dampak Sosial dari Korupsi?
Dampak sosial dari korupsi atau suap sangat luas, karena praktik ini tidak hanya merugikan secara materi, tetapi juga merusak tatanan moral, sosial, dan politik masyarakat. Berikut penjelasannya:
1. Hilangnya Kepercayaan Publik
Suap dan korupsi membuat masyarakat kehilangan kepercayaan terhadap pemerintah, aparat hukum, dan lembaga publik. Ketika hukum bisa dibeli, rakyat merasa tidak ada lagi keadilan. Akibatnya, muncul sinisme, apatisme, dan bahkan potensi pemberontakan sosial.
2. Suburnya Ketidakadilan
Korupsi menyebabkan hak-hak rakyat terabaikan. Yang seharusnya berhak malah tersisih, sementara yang menyuap justru diuntungkan. Hal ini melanggengkan ketimpangan sosial, memperlebar jurang antara si kaya dan si miskin, serta melemahkan prinsip meritokrasi (orang berhasil karena kompetensi, bukan karena uang).
3. Terhambatnya Pembangunan
Dana publik yang seharusnya digunakan untuk pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur justru bocor karena korupsi. Akibatnya, kualitas layanan publik menurun, pembangunan terhambat, dan kesejahteraan masyarakat tidak meningkat secara merata.
4. Rusaknya Moral Masyarakat
Suap dan korupsi menormalisasi perilaku curang. Jika dibiarkan, masyarakat akan terbiasa berpikir bahwa segala sesuatu bisa diselesaikan dengan “amplop” atau “uang pelicin.” Lama-kelamaan, kejujuran, kerja keras, dan integritas dianggap sia-sia, digantikan dengan mental instan dan pragmatis.
5. Munculnya Budaya Ketakutan dan Ketergantungan
Di lingkungan yang korup, masyarakat kecil sering terpaksa memberi suap agar mendapat pelayanan dasar. Hal ini menciptakan budaya ketakutan (takut tidak dilayani jika tidak menyuap) sekaligus ketergantungan (merasa suap adalah cara satu-satunya untuk menyelesaikan urusan).
6. Melemahkan Penegakan Hukum
Ketika aparat penegak hukum sendiri bisa disuap, supremasi hukum runtuh. Hukum hanya tajam ke bawah, tumpul ke atas. Orang miskin dihukum keras, sementara orang kaya yang mampu menyuap bisa lolos. Kondisi ini menciptakan rasa frustrasi dan ketidakpuasan sosial.
7. Memicu Konflik Sosial dan Politik
Korupsi yang sistematis dapat menimbulkan kecemburuan sosial, konflik antarkelompok, bahkan krisis politik. Masyarakat yang dirugikan bisa melakukan protes, demonstrasi, hingga aksi anarkis. Dalam jangka panjang, stabilitas negara pun terancam.
8. Generasi Muda Kehilangan Teladan
Ketika korupsi dianggap lumrah di kalangan elit, generasi muda kehilangan panutan moral. Mereka bisa tumbuh dengan anggapan bahwa kesuksesan diraih bukan dengan ilmu, kerja keras, atau integritas, melainkan dengan uang dan koneksi.
Dampak sosial dari korupsi dan suap bukan sekadar hilangnya uang negara, tetapi lebih serius: hancurnya moral masyarakat, matinya keadilan, hilangnya kepercayaan publik, serta terganggunya pembangunan dan stabilitas sosial.
Korupsi ibarat penyakit menular: sekali dianggap wajar, ia akan menyebar ke seluruh sendi kehidupan, dan memberantasnya menjadi semakin sulit.
Penutup
Persoalan suap tidak bisa dilihat secara hitam-putih tanpa mempertimbangkan konteks. Islam telah memberikan panduan yang adil: melarang secara tegas suap yang bersifat zalim, tetapi membolehkan dalam kondisi darurat ketika menyangkut pembelaan hak.
Dengan demikian, perdebatan publik seputar isu ini sebaiknya diarahkan pada pemahaman mendalam terhadap khazanah klasik, bukan sekadar reaksi emosional. Suap tetaplah praktik yang merusak sistem, namun syariat Islam juga tidak menzalimi orang yang terpaksa melakukannya demi menegakkan keadilan.