Notification

×

Iklan

Iklan

Bahaya Konsep “Two-State” bagi Palestina dan Umat Muslim

Sabtu | September 20, 2025 WIB | 0 Views
Bahaya Konsep “Two-State” bagi Palestina dan Umat Muslim

Fikroh.com - Konsep two-state—pembentukan dua negara di atas tanah Palestina—bukan sekadar opsi politik yang perlu didiskusikan. Bagi kami, gagasan ini berbahaya: bagi nasib Palestina, bagi kehormatan umat Muslim, bahkan bagi prinsip kemanusiaan universal. Berikut alasan-alasan mengapa konsep ini mustahil dapat diterima.

1. Mengesahkan Negara Ilegal yang Berdiri di Atas Teror


Mengakui keberadaan negara Zionis berarti menghalalkan keberadaan entitas yang lahir dari pendudukan dan kekerasan. Bukankah berdirinya negara atas dasar teror dan perampasan tanah itu cacat secara moral? Dalam perspektif syariah, bagaimana bisa kita merestui sesuatu yang lahir dari kedzaliman? Di akhirat nanti, pengakuan seperti itu akan menuntut pertanggungjawaban.

2. Menyerahkan Tanah Waqaf kepada Penjajah


Tanah Palestina merupakan waqf umat Muslim—bukan barang jual beli yang boleh dipindahtangankan. Mengizinkan pendirian negara Zionis sama dengan menyerahkan tanah suci untuk tujuan yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Sejarah mencatat bagaimana Sultan Abdul Hamid II menolak menyerahkan seujung pun tanah Palestina kepada gerakan Zionis; sikap itu menunjukkan betapa prinsip waqf harus dijaga.

3. Bertentangan dengan Semangat Anti-Penjajahan


Pengakuan terhadap negara penjajah yang merampas tanah Palestina bertentangan dengan semangat kemerdekaan yang termaktub dalam konstitusi banyak negara, termasuk pembukaan UUD 1945: kemerdekaan adalah hak segala bangsa dan penjajahan harus dihapuskan. Prinsip ini juga menjadi alasan perjuangan melawan penjajahan di berbagai negeri Muslim.

4. Melupakan Kekejaman Sejarah Zionis


Mengakui negara Israel berarti menutup pintu tuntutan atas kekejaman yang bertahun-tahun dan berlumuran darah terhadap rakyat Palestina—bukan hanya sejak 1948, tetapi sejak gelombang eksodus dan pendudukan yang dimulai jauh sebelumnya. Akankah kita membiarkan luka-luka sejarah dihapus begitu saja demi legitimasi politik?

5. Menghapus Alasan Perlawanan yang Sah


Jika Zionis diakui sebagai negara yang sah, maka segala bentuk perlawanan rakyat untuk merebut kembali haknya akan dianggap ilegal. Saat ini pun perjuangan di Gaza dan fragmen pejuang Palestina sering dicap sebagai “terorisme.” Bagaimana nasib mereka jika legitimasi penjajah sudah diakui dunia?

6. Perdamaian yang Dijanjikan Tidak Terbukti


Konsep two-state dipromosikan sebagai solusi rasional dan jalan menuju perdamaian. Namun sejarah perjanjian yang pernah terjadi—seperti perundingan yang melahirkan otoritas yang rapuh—menunjukkan sebaliknya: teror dan pendudukan berlanjut. Siapa yang menjamin perdamaian sejati setelah pengakuan formal itu?

7. Membenarkan Kekerasan Sebagai Sarana Politik Internasional


Mengakui negara berdasar kekerasan berarti memberi preseden berbahaya: negara dapat lahir melalui cara-cara penindasan. Jika dunia menerima itu, lalu untuk apa ada hukum internasional, Mahkamah Internasional, dan upaya menghapus praktek-praktek zalim seperti apartheid atau genosida?

8. Kepemimpinan Muslim yang Gagal adalah Kebiadaban Moral


Pemimpin negara Muslim yang memilih mengakui Israel di atas tulang dan kefanaan rakyat Palestina menampakkan sifat pengecut politik: lebih takut kehilangan kekuasaan daripada mempertahankan kehormatan umat. Mereka rela “menjual” tanah kaum Muslimin demi kepentingan politik sempit—padahal potensi umat besar, bukan soal kapabilitas militer atau ekonomi.

9. Gaza: Pengalaman yang Menegaskan Kegagalan Perundingan


Rakyat Gaza telah merasakan bahwa dialog semata tak menghentikan kebiadaban Zionis. Banyak pejuang dan warga di sana percaya bahwa satu-satunya bahasa yang dipahami oleh penjajah adalah bahasa perlawanan. Dengan pengalaman ini, harapan pada perundingan tanpa upaya nyata mempertahankan hak dirasa sia-sia.

10. Sifat Rasis yang Menopang Eksistensi Negara Zionis


Israel dibangun atas pilar politik yang eksklusif dan rasis—klaim atas supremasi satu bangsa atas bangsa lain. Mengakui negara seperti ini tanpa menghapus akar rasisme berarti menormalisasi penindasan. Isu utamanya bukan sekadar pembagian tanah, melainkan bagaimana menghapus ideologi yang mendasari penindasan itu.

11. Jika Mau, Beri Tanah di Negeri Sendiri


Jika ada pihak yang bersedia memberi tanah kepada Zionis, lebih adil bila mereka memberikan dari wilayahnya sendiri—bukan menyerahkan tanah suci umat lain. Negara-negara besar memiliki ruang luas; mengapa harus menjadikan tanah kaum Muslimin sebagai kompromi?

12. Yerusalem: Titik Sentral Iman dan Identitas


Pengakuan terhadap Israel biasanya disertai tuntutan Yerusalem sebagai ibu kota. Bagi umat Islam, Baitul Maqdis bukan sekadar geopolitik; ia berhubungan dengan janji ilahiyah dan identitas keagamaan. Bagaimana mungkin umat rela menyerahkan tempat yang termaktub dalam ayat-ayat suci hanya demi legitimasi politik?

Kesimpulannya: konsep two-state adalah solusi yang bathil bila dipaksakan di atas keadilan, akidah, dan kehormatan kaum Muslim. Solusi sejati bukan mengakui legitimasi penjajah, melainkan mendukung perjuangan rakyat Palestina mempertahankan wilayah yang mereka miliki sekarang—lalu berupaya merebut kembali wilayah-wilayah yang diduduki sampai hak mereka benar-benar pulih.

Semoga Allah memberi petunjuk, melindungi kaum tertindas, dan menegakkan keadilan. Wallahu a‘lam bish-shawab.
×
Berita Terbaru Update