Oleh : Hanif Acep
Fikroh.com - Bagi banyak orang, tanggal 14 Mei 1948 mungkin hanya sebuah catatan di buku sejarah: hari ketika negara Israel memproklamasikan kemerdekaannya. Tapi bagi jutaan warga Palestina, sehari setelahnya adalah awal dari sebuah mimpi buruk yang terus membayangi hingga hari ini. Mereka menyebutnya Nakba yang artinya malapetaka besar.
Bayangkan sebuah desa di Palestina pada awal 1948. Pagi hari diwarnai suara ayam berkokok, aroma roti taboon yang baru keluar dari tungku, dan anak-anak berlarian di antara kebun zaitun yang telah diwariskan turun-temurun. Lalu, dalam hitungan minggu, semuanya lenyap: rumah-rumah dibakar, penduduk diusir, dan tanah mereka diduduki. Dalam hitungan bulan, peta berubah selamanya.
Sebelum Nakba, Palestina berada di bawah mandat Inggris. Deklarasi Balfour tahun 1917 membuka pintu bagi migrasi besar-besaran orang Yahudi ke wilayah ini, dengan tujuan membangun “tanah air nasional” mereka. Bagi orang Yahudi yang selamat dari Holocaust, ini adalah harapan baru. Tetapi bagi penduduk Arab Palestina, gelombang migrasi ini memicu kecemasan: tanah yang telah mereka huni ratusan tahun kini semakin terancam.
Ketegangan itu mencapai puncaknya pada 1947 ketika PBB mengusulkan rencana pembagian wilayah. Yahudi setuju, Arab menolak. Mereka melihatnya sebagai pembagian yang tidak adil, walau mayoritas penduduk adalah orang Arab, mereka hanya mendapat sebagian kecil tanahnya.
Ketika Israel memproklamasikan kemerdekaannya, perang pun pecah. Milisi-milisi Zionis seperti Haganah, Irgun, dan Lehi melancarkan operasi militer untuk menguasai wilayah yang dialokasikan dan lebih dari itu. Desa demi desa menjadi korban pengusiran dan pembantaian. Salah satu yang paling mengerikan adalah tragedi Deir Yassin, di mana puluhan warga sipil dibunuh, memicu gelombang ketakutan yang membuat banyak orang melarikan diri.
Pada akhir 1948, sekitar 750.000 warga Palestina menjadi pengungsi. Lebih dari 500 desa lenyap dari peta, diganti nama dengan bahasa Ibrani atau dibangun kembali sebagai permukiman Yahudi.
Nakba bukan sekadar peristiwa masa lalu. Hingga kini, jutaan keturunan pengungsi Palestina hidup di kamp-kamp pengungsian di Lebanon, Yordania, Suriah, Gaza, dan Tepi Barat. Mereka memegang kunci rumah yang sudah tidak ada lagi, menyimpan dokumen tanah yang kini menjadi kawasan lain. Hak untuk kembali (right of return) tetap menjadi janji yang belum ditepati, terhalang oleh politik dan kekuasaan.
Setiap 15 Mei, di seluruh dunia, orang Palestina memperingati Nakba dengan pawai, pidato, dan doa. Ini bukan sekadar mengenang, tapi juga menegaskan bahwa luka ini belum sembuh. Bagi mereka, Nakba bukan hanya tragedi sejarah, tetapi juga tragedi yang masih berlangsung: pendudukan, blokade, dan perluasan permukiman terus mengulang pola yang sama.
Mengabaikan Nakba berarti mengabaikan salah satu akar konflik Timur Tengah yang paling membara. Ini bukan sekadar cerita tentang perang, tetapi tentang rumah yang hilang, tanah yang dirampas, dan identitas yang dipertaruhkan. Di balik angka 750.000 pengungsi, ada ratusan ribu kisah manusia. Kisah tentang kehilangan, harapan, dan perjuangan.
Selama peta dunia terus menampilkan garis-garis yang lahir dari pengusiran dan kekerasan, Nakba akan tetap relevan. Mengingatnya bukan hanya kewajiban sejarah, tapi juga langkah awal untuk memahami mengapa perdamaian di tanah suci itu masih terasa begitu jauh.
Sejarah Palestina dan Israel bukan sekadar deretan tanggal dan peristiwa di buku, melainkan sebuah kisah panjang tentang kehilangan, perlawanan, dan luka yang diwariskan lintas generasi. Dua momen yang kini sering disejajarkan dalam narasi perjuangan Palestina adalah Nakba 1948 dan Taufan Al-Aqsha 7 Oktober 2023. Walau terpaut 75 tahun, keduanya terhubung oleh benang merah: ketidakadilan yang belum terobati.
Bagi Palestina, Nakba bukan sekadar catatan sejarah, tapi titik awal status mereka sebagai bangsa tanpa negara. Di kamp pengungsian di Lebanon, Yordania, dan Gaza, generasi demi generasi tumbuh dengan cerita tentang rumah yang tak pernah mereka lihat, dan kunci pintu yang diwariskan sebagai simbol hak untuk kembali.
Pada 7 Oktober 2023, dunia terperanjat oleh serangan besar yang dilancarkan Hamas dari Gaza, yang mereka sebut Operasi Taufan Al-Aqsha. Ribuan roket ditembakkan, dan ratusan pejuang melintasi perbatasan, menyerbu permukiman dan pos militer Israel.
Lebih dari 1.200 orang Israel tewas, sebagian besar warga sipil, dan ratusan lainnya disandera.
Bagi Hamas, operasi ini adalah “jawaban” atas pendudukan yang telah berlangsung puluhan tahun, blokade Gaza yang mencekik, serta serangan dan penistaan terhadap Masjid Al-Aqsha. Namun bagi Israel, ini adalah tragedi nasional terbesar sejak berdirinya negara tersebut, pemicu operasi militer masif ke Gaza yang kemudian menewaskan puluhan ribu warga Palestina.
Meski bentuknya berbeda Nakba adalah pengusiran massal, Taufan Al-Aqsha adalah serangan bersenjata keduanya lahir dari dinamika yang sama: ketegangan, penjajahan, dan rasa kehilangan yang menumpuk.
Taufan Al-Aqsha menunjukkan bahwa luka itu belum sembuh, malah diwariskan dan meledak dalam bentuk perlawanan bersenjata.
Keduanya adalah babak yang saling memantulkan, Nakba menjadi latar bagi Taufan Al-Aqsha, dan Taufan Al-Aqsha membuka lembaran kekerasan baru yang memperpanjang trauma.
Tanpa memahami Nakba, sulit memahami motivasi di balik Taufan Al-Aqsha. Tanpa memahami Taufan Al-Aqsha, sulit memahami mengapa Nakba bukan sekadar masa lalu, melainkan tragedi yang masih hidup.
Konflik ini bukan hanya soal perebutan tanah, tetapi soal identitas, memori, dan rasa keadilan yang terus diperdebatkan. Selama luka Nakba tak diakui dan hak-hak pengungsi tak dipenuhi, peristiwa seperti Taufan Al-Aqsha akan selalu menghantui.
Posting Komentar