Fikroh.com - Musim gugur 2018. Langit Afghanistan tampak muram, udara kering membawa aroma peperangan yang tak pernah usai. Malam itu, kesunyian di sebuah desa pecah oleh derap langkah pasukan khusus Amerika. Mereka bergerak cepat, terlatih, dan bersenjata lengkap. Target mereka jelas: seorang pemimpin Taliban yang selama ini menjadi duri dalam operasi militer mereka.
Rumah sederhana sang pemimpin Muslim itu menjadi sasaran. Dengan brutal, pasukan asing menerobos masuk. Pintu rumah digedor, kaca jendela pecah, dan teriakan komando memenuhi udara. Dalam sekejap, prajurit-prajurit bersenjata laras panjang mengepung ruangan, siap menuntaskan misi.
Seorang prajurit Amerika mengarahkan senjatanya ke samping, menjaga sudut, sementara rekannya menodongkan moncong senjata langsung ke wajah sang pemimpin Muslim. Dalam hitungan detik, jarak maut terbentang di antara mereka. Sang pemimpin Muslim hanya memiliki satu kesempatan.
Namun takdir Allah berbicara. Senjata sang prajurit macet! Moncong senjata itu bergetar, pelatuk ditarik berulang kali, tetapi peluru tak kunjung meluncur. Wajah prajurit itu tegang, panik, sementara di hadapannya berdiri seorang Muslim yang telah ditempa oleh keyakinan dan keberanian.
Sang pemimpin Muslim, dengan refleks seorang pejuang, meraih senjatanya sendiri. Hanya tersisa satu peluru. Dalam doa yang singkat dan keyakinan penuh kepada Tuhannya, ia menembakkan peluru itu. Bunyi letusan memekakkan telinga, dan prajurit yang tadinya menodongkan senjata ke wajahnya roboh seketika.
Senjata prajurit itu terlepas dari genggaman, jatuh tepat di depan kaki sang pemimpin. Ia segera meraih senjata itu. Namun takdir sekali lagi menguji, senjata itu pun macet, sama seperti sebelumnya. Waktu seakan berhenti, dan detik-detik itu terasa panjang.
Tiba-tiba, prajurit Amerika lainnya berbalik menghadap. Tanpa berpikir panjang, sang Muslim menodongkan senjata yang baru saja diraihnya. Kali ini, dengan izin Allah, senjata itu kembali berfungsi. Satu tembakan, dan prajurit itu pun menyusul rekannya.
Ruangan menjadi gelap, hanya tersisa bau mesiu yang menusuk hidung. Sang pemimpin Muslim segera merunduk, berbaring di bawah meja. Jantungnya berdetak kencang, tapi semangatnya menyala. Setiap kali seorang prajurit masuk, ia sudah siap menunggu. Dengan ketenangan luar biasa, ia menembakkan peluru pertama. Satu demi satu, pasukan khusus itu tumbang.
Allah menjadikan senjata di tangannya berfungsi normal kembali. Setiap tembakan tepat sasaran. Keberanian, ketenangan, dan doa menjadi senjata yang lebih tajam dari peluru mana pun. Hingga akhirnya, seluruh pasukan yang menyerbu rumah itu habis tak bersisa, ditumpas seorang diri oleh sang pemimpin Muslim.
Ketika debu mulai reda dan keheningan kembali merayap, ia menoleh ke belakang. Pandangannya jatuh pada keluarganya di ruang sebelah. Istri dan anak-anaknya sedang shalat berjamaah. Suara tembakan, teriakan, bahkan dentuman granat tak membuat mereka membatalkan shalat. Barisan kecil itu tetap berdiri tegak, ruku’, dan sujud dalam khusyuk seolah dunia di sekitarnya tidak berguncang.
Air mata menetes dari mata sang pemimpin. Dalam hatinya ia berkata:
"Sungguh, layak bagi Allah untuk melindungiku, sementara keluargaku sedang merendahkan diri memohon kepada-Nya."
Itulah keyakinan seorang Muslim: perlindungan Allah turun bukan hanya karena keberanian, tetapi karena doa dan ketundukan hamba-hamba-Nya.
Namun, kisah heroik ini tidak disampaikan dengan jujur oleh media Barat. Foto yang kemudian dipublikasikan menggambarkan seolah-olah pasukan Amerika berhasil menangkap seorang "teroris Muslim". Media mereka membingkai kebohongan itu sebagai kemenangan. Padahal kenyataannya, seluruh pasukan mereka binasa dalam operasi tersebut.
Justru pihak intelijen Taliban yang kemudian membongkar kebenaran saat melihat foto itu. Mereka tahu betul apa yang terjadi malam itu. Seorang Muslim, dengan iman di dadanya dan hanya beberapa peluru, mampu menumpas pasukan khusus terlatih yang bersenjata lengkap.
Sayangnya, media Islam sendiri lebih sibuk memberitakan hal-hal remeh: pertandingan sepak bola, konser musik, dan hiburan duniawi. Sementara kisah heroik yang seharusnya menjadi sumber inspirasi dan kebanggaan umat, nyaris tak terdengar.
Kisah ini dituturkan oleh Muhammad al-Fatih, yang mendapatkannya dari seorang sahabat di Afghanistan, Abdul Haq Khairuddin Muhammad. Ia mengisahkan bukan untuk membanggakan perang, tetapi untuk menegaskan sebuah kebenaran: bahwa ketika iman menyala, tak ada kekuatan dunia yang mampu memadamkannya.
Sang pemimpin Muslim itu berdiri bukan hanya sebagai pejuang, tetapi sebagai simbol keyakinan yang tak tergoyahkan. Ia melawan bukan sekadar dengan peluru, melainkan dengan hati yang penuh tawakal kepada Allah. Dan keluarganya, yang tetap teguh dalam shalat di tengah hujan peluru, menjadi bukti bahwa kekuatan doa jauh lebih hebat daripada kekuatan senjata.
Kisah ini menjadi pengingat bagi kita semua. Bahwa kejayaan bukan diukur dari banyaknya pasukan atau canggihnya persenjataan, melainkan dari kedekatan seorang hamba dengan Rabb-nya.
Sungguh, siapa yang bertawakal kepada Allah, maka Allah akan mencukupinya.
Rumah sederhana sang pemimpin Muslim itu menjadi sasaran. Dengan brutal, pasukan asing menerobos masuk. Pintu rumah digedor, kaca jendela pecah, dan teriakan komando memenuhi udara. Dalam sekejap, prajurit-prajurit bersenjata laras panjang mengepung ruangan, siap menuntaskan misi.
Seorang prajurit Amerika mengarahkan senjatanya ke samping, menjaga sudut, sementara rekannya menodongkan moncong senjata langsung ke wajah sang pemimpin Muslim. Dalam hitungan detik, jarak maut terbentang di antara mereka. Sang pemimpin Muslim hanya memiliki satu kesempatan.
Namun takdir Allah berbicara. Senjata sang prajurit macet! Moncong senjata itu bergetar, pelatuk ditarik berulang kali, tetapi peluru tak kunjung meluncur. Wajah prajurit itu tegang, panik, sementara di hadapannya berdiri seorang Muslim yang telah ditempa oleh keyakinan dan keberanian.
Sang pemimpin Muslim, dengan refleks seorang pejuang, meraih senjatanya sendiri. Hanya tersisa satu peluru. Dalam doa yang singkat dan keyakinan penuh kepada Tuhannya, ia menembakkan peluru itu. Bunyi letusan memekakkan telinga, dan prajurit yang tadinya menodongkan senjata ke wajahnya roboh seketika.
Senjata prajurit itu terlepas dari genggaman, jatuh tepat di depan kaki sang pemimpin. Ia segera meraih senjata itu. Namun takdir sekali lagi menguji, senjata itu pun macet, sama seperti sebelumnya. Waktu seakan berhenti, dan detik-detik itu terasa panjang.
Tiba-tiba, prajurit Amerika lainnya berbalik menghadap. Tanpa berpikir panjang, sang Muslim menodongkan senjata yang baru saja diraihnya. Kali ini, dengan izin Allah, senjata itu kembali berfungsi. Satu tembakan, dan prajurit itu pun menyusul rekannya.
Ruangan menjadi gelap, hanya tersisa bau mesiu yang menusuk hidung. Sang pemimpin Muslim segera merunduk, berbaring di bawah meja. Jantungnya berdetak kencang, tapi semangatnya menyala. Setiap kali seorang prajurit masuk, ia sudah siap menunggu. Dengan ketenangan luar biasa, ia menembakkan peluru pertama. Satu demi satu, pasukan khusus itu tumbang.
Allah menjadikan senjata di tangannya berfungsi normal kembali. Setiap tembakan tepat sasaran. Keberanian, ketenangan, dan doa menjadi senjata yang lebih tajam dari peluru mana pun. Hingga akhirnya, seluruh pasukan yang menyerbu rumah itu habis tak bersisa, ditumpas seorang diri oleh sang pemimpin Muslim.
Ketika debu mulai reda dan keheningan kembali merayap, ia menoleh ke belakang. Pandangannya jatuh pada keluarganya di ruang sebelah. Istri dan anak-anaknya sedang shalat berjamaah. Suara tembakan, teriakan, bahkan dentuman granat tak membuat mereka membatalkan shalat. Barisan kecil itu tetap berdiri tegak, ruku’, dan sujud dalam khusyuk seolah dunia di sekitarnya tidak berguncang.
Air mata menetes dari mata sang pemimpin. Dalam hatinya ia berkata:
"Sungguh, layak bagi Allah untuk melindungiku, sementara keluargaku sedang merendahkan diri memohon kepada-Nya."
Itulah keyakinan seorang Muslim: perlindungan Allah turun bukan hanya karena keberanian, tetapi karena doa dan ketundukan hamba-hamba-Nya.
Namun, kisah heroik ini tidak disampaikan dengan jujur oleh media Barat. Foto yang kemudian dipublikasikan menggambarkan seolah-olah pasukan Amerika berhasil menangkap seorang "teroris Muslim". Media mereka membingkai kebohongan itu sebagai kemenangan. Padahal kenyataannya, seluruh pasukan mereka binasa dalam operasi tersebut.
Justru pihak intelijen Taliban yang kemudian membongkar kebenaran saat melihat foto itu. Mereka tahu betul apa yang terjadi malam itu. Seorang Muslim, dengan iman di dadanya dan hanya beberapa peluru, mampu menumpas pasukan khusus terlatih yang bersenjata lengkap.
Sayangnya, media Islam sendiri lebih sibuk memberitakan hal-hal remeh: pertandingan sepak bola, konser musik, dan hiburan duniawi. Sementara kisah heroik yang seharusnya menjadi sumber inspirasi dan kebanggaan umat, nyaris tak terdengar.
Kisah ini dituturkan oleh Muhammad al-Fatih, yang mendapatkannya dari seorang sahabat di Afghanistan, Abdul Haq Khairuddin Muhammad. Ia mengisahkan bukan untuk membanggakan perang, tetapi untuk menegaskan sebuah kebenaran: bahwa ketika iman menyala, tak ada kekuatan dunia yang mampu memadamkannya.
Sang pemimpin Muslim itu berdiri bukan hanya sebagai pejuang, tetapi sebagai simbol keyakinan yang tak tergoyahkan. Ia melawan bukan sekadar dengan peluru, melainkan dengan hati yang penuh tawakal kepada Allah. Dan keluarganya, yang tetap teguh dalam shalat di tengah hujan peluru, menjadi bukti bahwa kekuatan doa jauh lebih hebat daripada kekuatan senjata.
Kisah ini menjadi pengingat bagi kita semua. Bahwa kejayaan bukan diukur dari banyaknya pasukan atau canggihnya persenjataan, melainkan dari kedekatan seorang hamba dengan Rabb-nya.
Sungguh, siapa yang bertawakal kepada Allah, maka Allah akan mencukupinya.
Posting Komentar untuk "Kisah Heroik Sang Pemimpin Muslim Afghanistan"