Gaza Terkini: Krisis Kemanusiaan di Ambang Kehancuran
Sejak pecahnya konflik besar antara Israel dan Hamas pada 7 Oktober 2023, situasi kemanusiaan di Gaza semakin memburuk. Wilayah sempit berpenduduk padat ini kini menghadapi salah satu krisis terparah dalam sejarah modern, dengan jutaan nyawa terancam akibat kelaparan, kehancuran infrastruktur, dan kekerasan yang terus berlanjut.
Kelaparan Massal dan Krisis Pangan
Kondisi kelaparan di Gaza telah mencapai tingkat darurat. Lebih dari 96% populasi Gaza, termasuk 1 juta anak-anak, kini mengalami kelaparan dalam berbagai tingkat. Banyak warga bahkan dilaporkan pingsan karena kekurangan gizi ekstrem. Laporan dari UNRWA menyebutkan bahwa sebagian staf mereka tidak mampu menunaikan ibadah atau meliput berita karena tubuh mereka tak lagi kuat menahan lapar.
Blokade ketat yang diberlakukan oleh Israel telah sangat membatasi masuknya bantuan kemanusiaan. Jika sebelum perang rata-rata 500 truk bantuan masuk setiap hari, kini hanya sekitar 65 truk yang diizinkan melintas. Ini mengakibatkan gudang-gudang bantuan menumpuk di luar Gaza, tidak bisa menjangkau mereka yang sangat membutuhkan.
Kenaikan harga pangan pun menjadi tantangan besar. Beberapa komoditas pokok mengalami lonjakan harga hingga 4.000%, membuat bahan makanan seperti beras, telur, dan susu menjadi barang langka. Banyak warga kini hanya bisa bertahan hidup dengan mengonsumsi sayuran layu atau sisa makanan yang ditemukan di reruntuhan.
Korban Jiwa dan Kehancuran Infrastruktur
Hingga pertengahan 2025, Kementerian Kesehatan Gaza melaporkan lebih dari 56.000 warga Palestina tewas, mayoritas adalah anak-anak dan perempuan. Serangan udara berulang oleh militer Israel menambah panjang daftar korban, termasuk insiden pada 18 Maret 2025 yang menewaskan 330 orang dan 5 Mei 2025 yang menelan 19 korban jiwa.
Kerusakan fisik di Gaza pun sangat masif. Sekitar 70% bangunan telah hancur, termasuk rumah, sekolah, masjid, rumah sakit, serta sistem air dan sanitasi. PBB menyebutkan bahwa proses pembersihan puing-puing bisa memakan waktu hingga 14 tahun. Sementara itu, hanya 13 dari 36 rumah sakit yang masih beroperasi, dan itupun dengan kapasitas tiga kali lipat dari normal serta kekurangan obat-obatan, air bersih, dan bahan bakar.
Situasi ini memicu krisis kesehatan besar-besaran. Lonjakan kasus meningitis pada anak-anak dilaporkan akibat sanitasi buruk, dan jumlah operasi medis tanpa anestesi terus meningkat. Gaza kini mencatat angka amputasi anak per kapita tertinggi di dunia.
Pengungsian Massal dan Kondisi Hidup
Diperkirakan 90% dari 2,1 juta warga Gaza telah mengungsi. Sekitar 1,7 juta orang kini padat dalam wilayah hanya seluas 48 km², menghasilkan kepadatan lebih dari 35.000 jiwa per km²—salah satu yang tertinggi di dunia.
Meski otoritas Israel kerap mengumumkan "zona aman", kenyataannya wilayah-wilayah tersebut sering kali tetap menjadi target serangan. Banyak warga terpaksa tinggal di tenda-tenda darurat di atas reruntuhan rumah mereka. Malnutrisi meluas, air bersih sulit diakses, dan fasilitas sanitasi tidak memadai.
Salah satu warga, Fatma Edaama, menggambarkan kondisi di Gaza sebagai "memalukan" dan "menyedihkan", namun tetap menyuarakan harapan untuk membangun kembali kehidupan yang layak di tanah kelahiran mereka.
Distribusi Bantuan yang Mematikan
Distribusi bantuan pun tak luput dari tragedi. Pada 24 Juni 2025, setidaknya 44 warga Palestina tewas saat menunggu bantuan dari Gaza Humanitarian Fund (GHF), sebuah lembaga distribusi yang dikelola Israel dan AS. Militer Israel dilaporkan menembaki kerumunan dengan dalih "peringatan terhadap gerakan mencurigakan". Insiden serupa telah terjadi berkali-kali sebelumnya dan menewaskan ratusan orang.
Di sisi lain, Hamas juga dikabarkan mengeksekusi pelaku penjarahan bantuan, menambah ketegangan dan kekacauan dalam distribusi logistik yang sudah terbatas.
Respons Internasional dan Upaya Gencatan Senjata
Berbagai upaya untuk menciptakan gencatan senjata telah dilakukan, termasuk pada November 2023 dan Januari 2024, namun tak pernah bertahan lama. Hamas menolak proposal yang dianggap menguntungkan Israel, sementara Israel terus melancarkan serangan demi "menaklukkan Gaza".
Lebih dari 111 organisasi kemanusiaan internasional, seperti MSF, Oxfam, dan Save the Children, menyerukan gencatan senjata permanen dan pembukaan koridor kemanusiaan. Sekretaris Jenderal PBB, Antonio Guterres, menyebut situasi di Gaza sebagai "krisis kemauan politik" dan mengajak dunia untuk bertindak tegas demi perdamaian yang berkelanjutan.
Bantuan dari Indonesia dan Dukungan Dunia Islam
Pemerintah Indonesia turut aktif dalam mendukung Palestina. Sebanyak 10.000 ton beras telah dikirimkan untuk warga Gaza, dan Presiden Prabowo Subianto menegaskan dukungan Indonesia terhadap solusi dua negara. Bersama Malaysia, Indonesia juga menyatakan kesediaan untuk membantu evakuasi korban konflik secara sementara.
Penutup: Gaza Butuh Dunia
Kondisi di Gaza hari ini tidak sekadar menyedihkan—tetapi menggambarkan kehancuran kemanusiaan secara nyata. Rakyat Palestina hidup di bawah reruntuhan, tanpa akses terhadap makanan, air, listrik, maupun harapan jangka pendek. Mereka menjadi korban dari ketidakadilan global dan kebuntuan politik yang berkepanjangan.
Krisis di Gaza bukan lagi tentang siapa benar atau salah, tetapi tentang nasib jutaan manusia yang terperangkap dalam penderitaan. Dunia perlu bertindak, bukan hanya mengutuk. Gencatan senjata permanen, bantuan kemanusiaan tanpa syarat, dan penyelesaian politik yang adil harus menjadi prioritas bersama.
Tagar: #PrayForGaza #Kemanusiaan #Palestina #GazaUnderAttack #SaveGaza
Artikel ini disusun berdasarkan berbagai laporan terpercaya dari media nasional dan internasional per Juli 2025.