Perumpamaan seorang muslim dengan muslim lainnya bagaikan satu tubuh. Pernyataan itu seharusnya menjadi cermin bagi umat Islam hari ini. Gaza, sepotong kecil bumi yang terjepit di antara blokade dan peluru, kini berada di ambang kehancuran total. Bukan hanya karena rudal yang terus menghujani, tetapi karena kelaparan yang menggigit lambung lebih dalam dari luka tembakan. Pertanyaannya: ke mana umat Islam saat Gaza sedang kelaparan?
Kenyataan yang Menyesakkan
Sejak pecahnya agresi brutal pada 7 Oktober 2023, Gaza tak hanya kehilangan ribuan nyawa, tapi juga kehilangan hak paling dasar: makan dan minum. Gambar-gambar memilukan tersebar luas — anak-anak kurus kering, ibu-ibu yang tak punya air untuk menyusui, dan antrean panjang untuk sepotong roti. Sebagian besar dari dua juta penduduk Gaza kini hidup dari sisa bantuan yang tak pernah cukup, atau tidak sampai sama sekali.
Laporan PBB dan lembaga kemanusiaan telah menyatakan kelaparan massal sedang berlangsung. Ini bukan lagi ancaman, tapi kenyataan. Di abad ke-21, ketika dunia berbicara tentang kecerdasan buatan dan eksplorasi luar angkasa, ada bayi Muslim yang meninggal karena tidak makan selama dua hari.
Diamnya Dunia, Senyapnya Umat
Kita bisa mengutuk Barat dan kebisuan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Tapi sebelum jari itu menunjuk ke luar, lihatlah ke dalam. Dunia Islam yang memiliki lebih dari 50 negara, dengan populasi lebih dari 1,8 miliar jiwa, seakan lumpuh. Konferensi-konferensi digelar, pernyataan dikeluarkan, tapi tak satu pun yang mampu memecahkan blokade atau menjamin masuknya makanan dan obat-obatan.
Di mana kekuatan ekonomi negara-negara Teluk? Di mana pasukan elite dunia Islam yang kerap dipamerkan dalam parade militer? Mengapa suara azan yang menggema lima kali sehari dari Maroko hingga Indonesia tak menjelma menjadi solidaritas yang nyata?
Umat yang Terlena?
Mungkin sebagian dari kita berpikir bahwa ini bukan urusan pribadi. Kita terlalu sibuk dengan scroll TikTok, e-commerce, dan debat selebritas, hingga lupa bahwa umat yang satu seperti tubuh yang satu. Ketika Gaza berdarah dan lapar, itu bukan sekadar berita — itu bagian dari tubuh kita yang sedang sekarat.
Betapa ironis, saat sebagian umat Islam bermewah-mewah di pusat perbelanjaan, saudara kita di Gaza berebut remah makanan. Bahkan, hewan peliharaan di negara-negara kaya bisa makan lebih baik daripada anak-anak Gaza.
Apa yang Bisa Kita Lakukan?
- Bangun Kesadaran – Sampaikan terus kabar tentang Gaza. Jangan biarkan berita ini tenggelam dalam algoritma media sosial.
- Tekan Pemerintah – Gunakan hak demokrasi untuk menuntut aksi nyata. Demonstrasi, petisi, dan tekanan diplomatik bisa mendorong perubahan.
- Dukung Lembaga Tepercaya – Salurkan donasi ke lembaga kemanusiaan yang benar-benar hadir di lapangan, seperti MER-C, ICRC, atau Aksi Cepat Tanggap.
- Doa yang Disertai Usaha – Jangan remehkan kekuatan doa, tapi jangan jadikan doa sebagai pelarian dari tanggung jawab nyata.
Kesimpulan: Gaza Ujian Umat
Gaza adalah ujian bagi seluruh umat Islam. Bukan sekadar ujian empati, tetapi ujian keimanan dan tanggung jawab kolektif. Jika kita tak bergerak sekarang, bukan hanya Gaza yang runtuh, tapi kita sendiri yang kehilangan jati diri sebagai umat yang satu.
Gaza sedang kelaparan. Jangan tunggu sampai sejarah mencatat bahwa kita hanya menonton.