Fenomena Rojali dan Rohana: Tren Belanja tanpa Transaksi

Fenomena Rojali dan Rohana: Tren Belanja tanpa Transaksi

Fenomena Rojali dan Rohana: Tren Belanja tanpa Transaksi

Istilah Rojali dan Rohana kini semakin sering terdengar di jagat media sosial dan jadi bahan obrolan santai masyarakat. Meski terdengar seperti nama orang, keduanya sebenarnya merupakan singkatan yang menggambarkan perilaku konsumen tertentu. Rojali adalah kependekan dari "rombongan jarang beli", sementara Rohana merujuk pada "rombongan hanya nanya."

Dua istilah ini digunakan untuk menyebut kelompok orang yang gemar datang ke pusat perbelanjaan, namun tidak benar-benar membeli barang. Mereka hanya berkeliling, melihat-lihat produk, kadang bertanya-tanya harga, namun akhirnya tidak melakukan transaksi.

Seperti kita tahu, mal atau pusat perbelanjaan kini bukan hanya sekadar tempat belanja. Ia telah menjadi ruang publik multifungsi—tempat nongkrong, hiburan keluarga, hingga sekadar cuci mata. Tak heran jika mal selalu ramai pengunjung, tapi tidak semua dari mereka benar-benar menjadi pembeli. Dari sinilah fenomena Rojali dan Rohana mencuat, sebagai respons terhadap realita mal yang padat pengunjung tapi transaksi yang tak selalu ramai.


Bukan Fenomena Baru: Rojali dan Rohana Sudah Lama Ada

Meskipun kini viral, kebiasaan seperti Rojali dan Rohana sebenarnya bukan hal yang baru. Menteri Perdagangan, Zulkifli Hasan, bahkan menyebut perilaku ini sudah lama terjadi dalam dunia jual-beli. Menurutnya, konsumen memiliki hak penuh untuk memilih tempat dan cara berbelanja, baik secara online maupun langsung ke toko fisik.

Ia juga menambahkan bahwa melihat-lihat barang sebelum memutuskan membeli adalah hal wajar. Sebagian besar masyarakat ingin mengetahui kualitas barang, membandingkan harga, bahkan sekadar mengecek ketersediaan sebelum mengeluarkan uang. Menurutnya, tindakan seperti ini adalah bagian dari proses pembelian yang normal.

Dikutip dari pernyataannya di beberapa media nasional, kebiasaan ‘window shopping’ ini juga berguna untuk menghindari produk palsu atau barang rekondisi, terutama saat membeli secara offline. Jadi, bukan sesuatu yang harus dipermasalahkan.


Rojali dan Rohana Cerminan Perubahan Pola Konsumen

Menurut Ketua Umum APPBI (Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia), Alphonzus Widjaja, munculnya fenomena ini juga dipengaruhi oleh situasi ekonomi saat ini. Ia menyebutkan bahwa perubahan gaya berbelanja masyarakat adalah hal yang wajar terjadi, apalagi di tengah ketidakpastian ekonomi global.

Masyarakat kelas menengah atas cenderung lebih hati-hati dalam membelanjakan uang mereka. Banyak dari mereka mempertimbangkan antara menyimpan uang, berinvestasi, atau berbelanja. Sementara di sisi lain, kelas menengah ke bawah masih tetap mengunjungi mal, meskipun daya beli mereka mengalami penurunan.

“Jumlah kunjungan ke pusat belanja masih tinggi, tapi angka transaksi tidak ikut meningkat secara signifikan,” ujarnya. Hal ini menunjukkan bahwa banyak konsumen yang kini lebih selektif—mereka hanya akan membeli jika benar-benar butuh, dan lebih cermat dalam memilih produk dengan harga terjangkau.


Fenomena Sosial yang Menggambarkan Perubahan Zaman

Jika ditinjau lebih jauh, Rojali dan Rohana bukan hanya soal belanja, tetapi juga mencerminkan perubahan cara masyarakat menghadapi kondisi ekonomi. Kebiasaan ini mulai terasa sejak Ramadan tahun lalu, dan semakin kentara setelah perayaan Idulfitri. Penurunan daya beli menjadi indikator utama, ditambah lagi dengan meningkatnya harga kebutuhan pokok.

Kini, konsumen lebih berhati-hati dalam mengeluarkan uang. Mereka tidak lagi membeli barang hanya karena tergoda diskon atau penampilan. Sebaliknya, mereka mempertimbangkan kebutuhan, membandingkan harga, dan mencari nilai terbaik sebelum melakukan pembelian.


Kesimpulan: Rojali dan Rohana, Cermin Konsumen Modern

Istilah Rojali dan Rohana memang terdengar lucu, namun fenomena ini sebenarnya menyimpan banyak makna. Ia menggambarkan realitas ekonomi masyarakat, perubahan perilaku konsumen, hingga kebiasaan baru dalam berbelanja. Tak hanya terjadi di Indonesia, kebiasaan "lihat-lihat dulu, beli belakangan" adalah hal yang juga bisa ditemui di banyak negara lain.

Bagi para pelaku usaha dan pengelola pusat belanja, fenomena ini bisa menjadi bahan evaluasi untuk meningkatkan pelayanan dan menciptakan pengalaman belanja yang lebih menarik. Sementara bagi konsumen, menjadi Rojali atau Rohana bukanlah hal yang salah—selama itu bagian dari proses berpikir bijak sebelum membeli.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama