Bolehkah Menggunakan Istilah "Percaya Diri"

Ungkapan "Percaya Diri" Dalam Sorotan Ilmu Tauhid

Dalam dunia pendidikan modern, istilah percaya diri hampir selalu hadir dalam setiap sesi motivasi, parenting, atau pengembangan karakter. Anak-anak didorong untuk tampil berani, aktif berbicara, dan tidak minder. Semua itu dibungkus dengan label self-confidence. 

Tak sedikit orang tua dan guru yang mengatakan, “Percayalah, kamu pasti bisa!” Namun jarang yang menyadari bahwa konsep ini sejatinya berasal dari pemikiran Barat sekuler, yang menempatkan manusia sebagai pusat kekuatan dan solusi.

Para tokoh psikologi Barat seperti Albert Bandura, Carl Rogers, dan Abraham Maslow mengembangkan teori tentang kepercayaan diri berdasarkan landasan humanisme. Dalam paradigma ini, tidak ada tempat bagi ketergantungan kepada Tuhan. Sebaliknya, mereka menekankan bahwa manusia memiliki potensi tak terbatas yang bisa digali jika ia percaya kepada dirinya sendiri. Konsep seperti self-efficacy, self-worth, dan self-actualization lahir dari cara pandang yang memisahkan manusia dari fitrah penghambaan kepada Allah. 

Di sinilah letak persoalan mendasar bagi seorang Muslim. Islam mengajarkan bahwa kekuatan dan kemampuan manusia adalah anugerah dan amanah dari Allah, bukan hasil murni dari kemampuan pribadinya.

Seorang mukmin tidak pernah merasa cukup dengan dirinya sendiri. Ia sadar bahwa dirinya lemah, terbatas, dan penuh kekurangan. Ia membutuhkan pertolongan dari Dzat Yang Maha Kuat. 

Allah ta’ala berfirman, 

وَمَا تَوْفِيْقِيْٓ اِلَّا بِاللّٰهِ ۗ

“Dan tidak ada taufik bagiku kecuali dari Allah” (QS. Hud: 88). 

Dalam ayat lain, 

وَمَا بِكُمْ مِّنْ نِّعْمَةٍ فَمِنَ اللّٰهِ

“Dan apa saja nikmat yang ada pada kalian, maka dari Allah-lah itu datangnya” (QS. An-Nahl: 53). 

Maka, menanamkan kepercayaan kepada anak seharusnya tidak dengan kalimat, “Percayalah, kamu pasti bisa!” tetapi lebih tepat jika dikatakan, “Percayalah, Allah pasti akan membantumu jika kamu berusaha.”

Sayangnya, afirmasi-afirmasi yang sering dipakai dalam dunia motivasi modern justru mengikis kesadaran tauhid. Ungkapan seperti “Kamu hebat!”, “Kamu kuat!”, atau “Kamu bisa melakukan apa saja asal kamu mau!” terdengar membangkitkan semangat, tetapi pada hakikatnya dapat menumbuhkan ujub dan ghurur, terutama jika tidak dibarengi dengan kesadaran bahwa semua itu hanyalah karunia dari Allah. 

Afirmasi semacam ini memberi kesan bahwa keberhasilan bergantung sepenuhnya pada kemampuan makhluk, padahal Islam mengajarkan bahwa segala keberhasilan adalah atas izin dan pertolongan Allah.

Perlu dicatat, sebagian ulama memang membolehkan penggunaan istilah percaya diri (tsiqah bin nafs) dengan syarat tertentu. Di antaranya, makna yang dimaksud bukanlah kepercayaan mutlak pada kekuatan diri, melainkan keyakinan bahwa Allah telah memberikan kemampuan dan seseorang menjalankan sebab-sebabnya. 

Syaikh Sholih Al-‘Ushaimi hafizhahullah dalam sebuah ceramahnya pernah menjelaskan bahwa dalam sebagian literatur fikih mazhab Hanbali, istilah thiqah bin nafs atau "percaya diri" memang pernah digunakan. Misalnya dalam bab salat witir, dianjurkan ditunda hingga akhir malam bagi orang yang “percaya diri” bisa bangun. Demikian pula dalam bab zakat, seseorang yang “percaya diri” dapat menyalurkannya kepada yang berhak, lebih utama memberikan langsung daripada melalui amil. 

Namun, menurut beliau, penggunaan istilah ini tidak dikenal dalam Al-Qur’an, Sunnah, maupun perkataan salaf. Justru sebaliknya, Nabi ﷺ berdoa: 

ولا تكلني إلى نفسي طرفة عين

“Janganlah Engkau biarkan aku bersandar pada diriku sendiri walau sekejap mata”. 

Ini merupakan bentuk pelepasan diri dari segala ketergantungan kepada kemampuan pribadi.

Sebagian ulama seperti Syaikh Muhammad bin Ibrahim rahimahullah menilai penggunaan kalimat “wajib percaya diri” sebagai sesuatu yang tidak boleh, karena mengandung makna penyandaran mutlak kepada makhluk, dalam hal ini diri sendiri. 

Sementara Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah memberikan keringanan jika istilah itu hanya dimaksudkan sebagai bentuk kesadaran akan kemampuan yang Allah titipkan, bukan sebagai bentuk kemandirian absolut. 

Maka yang lebih adil, menurut beliau, istilah "percaya diri" harus dipahami secara hati-hati: jika bermakna kesadaran atas kemampuan dari Allah dan tetap bertawakal, maka dibolehkan. Tapi jika bermakna kemandirian mutlak yang memutus hubungan dengan Allah, maka ini terlarang.

Sayangnya, dalam praktik dunia motivasi modern, istilah ini lebih sering digunakan dalam makna yang kedua, yaitu mengandalkan kekuatan diri secara total dan mengabaikan nilai tawakkal. Karena itu, penggunaan istilah “percaya diri” secara umum tidak dianjurkan, bahkan sebaiknya ditinggalkan, demi menjaga kemurnian tauhid. Seorang mukmin tidak bangga karena dirinya mampu, tetapi karena Allah memampukannya. (sumber: https://youtu.be/kADrjaFLsU4?si=mkfCpZPdvikBwJU_ )

Lebih jauh lagi, dalam budaya kita, sering terjadi pelemahan akidah melalui bahasa yang digunakan secara tidak sadar. Misalnya, ketika mendoakan orang sakit, orang Arab akan mengatakan “Syafakallah” (semoga Allah menyembuhkanmu). Namun dalam bahasa Indonesia, ungkapan tersebut sering kali berubah menjadi “semoga lekas sembuh”, yang terdengar baik namun telah kehilangan sandaran kepada Allah. 

Demikian pula ucapan “Barakallahu fiik” yang bermakna doa dan pengakuan atas nikmat dari Allah, sering kali digantikan dengan “terima kasih” yang bersifat netral secara spiritual. 

Maka wajar jika istilah “percaya diri” dalam budaya kita juga lebih lekat dengan makna yang diajarkan oleh teori Barat, bukan sebagai bentuk syukur kepada Allah.

Oleh karena itu, akan jauh lebih selamat secara akidah bila kita mengganti istilah tersebut dengan ungkapan yang lebih jelas arah dan maknanya. Daripada mengatakan “percaya diri” dengan makna yang kabur dan berisiko disalahpahami bahkan berisiko penanaman rasa ujub dan ghurur, lebih baik kita katakan, “Yakinlah, Allah akan memampukanmu”, atau “Bersandarlah pada-Nya, dan berusahalah sekuatmu”, atau “InsyaAllah kamu bisa, karena Allah menolong hamba-Nya yang bersungguh-sungguh.”

Percaya diri, sebagaimana yang dipahami dalam teori-teori modern Barat, sejatinya merupakan konsep yang berakar dari pemikiran sekuler dan berpusat pada kehebatan manusia itu sendiri. Dalam Islam, kepercayaan semacam ini tidak mendapat tempat. Seorang mukmin tidak dibenarkan menggantungkan harapan, kekuatan, dan keberhasilannya pada dirinya sendiri. Ia harus meyakini bahwa segala kemampuan dan pertolongan datangnya dari Allah. 

Maka penggunaan istilah “percaya diri” perlu ditinggalkan, atau setidaknya dihindari dalam konteks pendidikan akidah. Kita perlu membiasakan ungkapan yang lebih selamat secara tauhid, seperti “yakinlah bahwa Allah akan memampukanmu” atau “berusahalah dan bersandarlah kepada pertolongan Allah.” Kalimat-kalimat seperti inilah yang akan melahirkan generasi yang kuat dan berani, namun tetap rendah hati dan penuh kebergantungan kepada Rabb-nya. Wallahu a'lam.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama