Fikroh.com - Isbal adalah memanjangkan sarung, kain atau celana melebihi mata kaki. Tentang hukum isbal ini menjadi persoalan khilafiyah di kalangan para fuqaha, ada yang mengharamkan, membolehkan dan ada juga yang menghukumi dengan makruh.
Hukum Isbal Boleh Dengan Syarat
Jumhur ulama dari empat madzhab berpendapat bahwan hadis tentang isbal, mengandung illat, yaitu sombong. Artinya jika seseorang memanjangkan kainnya melebihi mata kaki dengan tujuan untuk bermegah-megahan dan berprilaku sombong maka hukumnya haram. Di antara ulama yang berpendapat demikian adalah Imam Nawawi yang bermadzhab Syafii, seperti yang ditulis dalam kitab Syarh Shahih Muslim, jilid 24 : 62, kitab Majmuk, jilid 4; 236, Ibnu Hajar al-Haitsami, kitab Tuhfatul Muhtaj, jilid 1: 371, Imam Hanafi dalam kitab al-Adab Asyariyyah jilid 3: 493, Al-Baji dari madzhab Maliki dalam kitab al-Muntaqa jilid 7: 226, Ibnu Qudamah dari mazhab Hambali dalam kitab al-Kafi jilid 1: 124 dan kitab Al-Mughni jilid 2: 298, Imam Syaukani dari madzhab Syiah Zaidiyah dalam kitab Nailul Awthar jilid 2:113.
Hadis lengkapnya sebagai berikut:
من جر ثوبه خيلاء لم ينظر الله إليه يوم القيامة. فقال أبوبكر: إن أحد شقي إزاري يسترخي إلا أن أتعاهد ذلك منه. فقال: إنك لست ممن يفعل ذلك خيلاء”
Artinya, “Barangsiapa yang kainnya berlebih karena sombong, maka Allah tidak akan melihat mereka pada hari kiamat. Abu bakar berkata, “Sungguh salah satu kainku berlebih, kecuali aku memotongnya. Rasulullah saw bersabda, sungguh engkau bukan termasuk orang yang melakukan itu untuk bersikap sombong.
Kata خيلاء (sombong) seperti disebutkan dalam hadis di atas dianggap sebagai illat sharih dari hukum isbal. Dalam kaedah ushul dikatakan bahwa
الحكم يدور مع علته وجودا وعدما
Artinya: Ada tidaknya suatu hukum bergantung pada illatnya.
Jika illat hukum dari isbal adalah خيلاء (sombong), maka ketika ia melakukan isbal dengan niat sombong hukumnya haram. Jika niatnya tidak sombong, hukumnya menjadi mubah. Dengan kata lain, hukum mubah itu dengan syarat ia memakai kain melebihi mata kaki tidak niat untuk bersikap sombong.
Al-Baji dalam kitab al-Muntaqa mengatakan, “Sabda Rasulullah saw yang mengatakanالذي يجر ثوبه خيلاءmenunjukkan bahwa memanjangkan pakaian yang diharamkan adalah mereka yang memanjangkannya karena untuk sikap kesombongan. Bagi orang yang memang memiliki kain panjang dan tidak punya kain lain, atau dia memakainya karena memang kebutuhan, maka orang tersebut tidak masuk dalam ancaman hadis di atas.
Dalam kitab Nailul Authar, Imam Syaukani yang bermadzhab Syiah Zaidiyah berkata, “Dalam sebuah hadis Rasulullah pernah bersabda kepada Abu Bakar:
إنك لست ممن يفعل ذلك خيلاء و
Artinya: “Sungguh engkau bukan dari golongan orang yang melakukan perbuatan sombong itu.”
Hadis di atas jelas sekali menunjukkan bahwa sebab dari haramnya isbal adalah sikap sombonmg. Bisa saja orang memakai pakaian melebihi mata kaki, namun tidak niat untuk bersikap sombong. Hadis jabir yang mengatakan “فإنها من المخيلة (sungguh isbal itu merupakan sikap sombong) harus dipahami dari sisi konteks hadis. Waktu itu pada umumnya orang melakukan isbal, memang tujuannya untuk sombong. Jadi ancaman tersebut ditujukan bagi orang-orang yang memanjangkan kainnya untuk berlaku somboinmg.
Pendapat yang mengatakan bahwa setiap isbal adalah bentuk dari kesombongan dengan memahami hadis Jabir secara zhahir saja, secara otomatis tertolak, karena dalam kenyataannya tidak semua orang yang memanjangkan kainnya melebihi mata kaki tujuannya untuk bersikap sombong.
Hadi jabir tersebut, masih mutlak. Sementara terdapat hadis lain yang memberikan qayyad atas hadis Jabir. Dalam kaedah ushul dikatakan bahwa nas yang mutlak harus dibawa keada nas yang muqayyad. Kecuali memang tidak ada nas lain yang mengikat nas mutlak tersebut, maka ia tetap mutlak. Kenyataannya, terdapat hadis lain yang memberikan qayyad, yaitu terkait dengan ungkapan خيلاء . karena ada qayyad, maka nas yang mutlak harus dibawa kepada yang muqayyad.
Dalam kitab Syarhul Umdah, Ibnu Taimiyah berkata, “Nas ini secara sharih menjelaskan mengenai haramnya isbal yang tujuannya untuk bersombong-sombongan. Nas yang mutlak harus dibawa ke nas yang muqattad. Dalam hadis sebelumnya (maksudnya hadis jabir) sifatnya mutlak, karena memang umumnya orang isbal untuk sombong.
Terkait hukum bolehnya isbal yang tidak disertai sifat sombong ini, dikuatkan juga oleh atsar sahabat. Dikisahkan bahwa Ibnu Masud kainnya melebihi mata kaki (isbal), seperti yang dituliskan oleh Abdul Barr dalam kitab Attamhid.
Dari Abu Ishaq, dia berkata, “Aku melihat Ibnu Abbas rambutnya lebih panjang dariku, ia memakai kain yang melebihi mata kaki. Ia juga memakai selendang berwarna kuning. (HR. Thabrani)
Hukum Isbal Haram
Di antara ulama yang mengharamkan isbal adalah Al-Iraqi dan Ibnu Al-Arabiy.
Bagi yang mengharamkan, mereka menggunakan dalil sebagai berikut:
“ثلاثة لا يكلمهم الله يوم القيامة ولا ينظر إليهم ولا يزكيهم ولهم عذاب أليم قلت: من هم يا رسول الله خابوا وخسروا؟ فأعاد ثلاثاً. قلت من هم خابوا وخسروا؟ قال: “المسبل والمنان والمنفق سلعته بالحلف الكاذب أو الفاجر” رواه مسلم.
Artinya: Tiga golongan yang tidak akan diajak bicara pada hari kiamat, tidak dilihat dan tidak disucikan, dan bagi mereka azab yang pedih. Aku (Abu Dzar) bertanya, “Siapakah mereka wahai rasulullah? Mereka sungguh sengsara dan merugi? Kemudian Rasul mengulangi perkataannya tiga kali. Aku kembali bvertanya, siapakah mereka wahai rasulullah? Mereka ini sengsara dan merugi? Rasulullah saw bersabda, “Al-Musbil dan orang yang suka namimah”. (HR. Muslim)
Menurut mereka, hadis di atas secara sharih mengharamkan isbal. Hadis tadi berlaku umum dan tidak ada pengecualian. Dengan demikian, maka isbal hukumnya haram.
حديث جابر بن سليم رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال إياك وإسبال الإزار فإنها من المخيلة وإن الله لا يحب المخيلة … ) [رواه أبي داود في سننه (
Hadis jabir bin Sulaim Ra bahwa rasulullah saw berkata, jauhkanlah kalian dari isbal, karena ia termasuk dari kesombongan sementara Allah tidak suka dengan orang-orang yang sombong. (HR. Abu Dawud)
Dalam kitab al-Fathu, Ibnu Hajar al-Asqalani berkata, “Dari hadis di atas bisa dipahami bahwa memakai pakaian sampai melebihi mata kaki jika tujuannya untuk sombong merupakan dosa besar. Jika tidak sombong, hukumnya tetap haram.
Ibnu al-Arabi berkata, seorang laki-laki tidak boleh memakai pakaian melebihi mata kaki.
Dalam hadis lain, Rasulullah saw bersanda:
من حديث الشريد الثقفي قال: أبصر النبي صلى الله عليه وسلم رجلاً قد أسبل إزاره فقال: “ارفع إزارك”
Hadis Asyarid ats-Tsaqafi dia berkata, Rasulullah saw melihat kepada seorang laki-laki yang kainnya melebihi mata kaki, maka Rasul bersabda, “Angkat kainmu”. (HR Thabrani)
Hadis ini menunjukkan bahwa isbal hukumnya haram meski tidak untuk sombong.
Rasulullah saw juga bersabda:
قال النبي صلى الله عليه وسلم: “ما أسفل الكعبين من الإزار ففي النار”
Nabi Muhammad saw bersabda, “Kain yang melebihi mata kaki, maka ia di neraka”
Secara sharih hadis di atas menyebutkan bahwa memanjangkan kain sampai bawah mata kaki, dapat memasukkan pelakunya ke dalam neraka. Itu artinya hukum isbal haram.
Hukum Isbal Makruh
Di antara yang berpendapat demikian adalah Ibnu Qudamah. Beliau mengatakan, “Makruh melakukan isbal baik dari pakaian, sarung atau celana panjang. Hal itu karna Rasulullah saw. memerintahkan kita untuk mengangkat pakaian. Jika seseorang memanjangkan pakaiannya melebihi mata kaki dengan niat untuk sombong, maka hukumnya berubah jadi haram. Wallahu a’lam.
Isbal Menurut Jumhur Ulama
Menurut jumhur (mayoritas) ulama dari kalangan empat mazhab, yaitu; Hanafiyyah, Malikiyyah, Syafi’iyyah dan Hanabilah, bahwa isbal (menjulurkan kain melebihi mata kaki) hanya diharamkan ketika yang melakukannya punya niat sombong. Adapun jika tidak, maka tidak haram. Kesimpulan "tidak haram" di sini meliputi mubah (boleh) dan makruh. Mereka berargument, bahwa seluruh dalil-dalil yang menunjukkan akan ancaman dan keharaman isbal, itu sifatnya mutlak (bebas/umum), akan tetapi telah ditaqyid (dibatasi) oleh dalil yang karena sombong. Dalam istilah ulama ahli ushul fiqh dinamakan dengan “hamlul mutlak ‘alal muqayyad” (membawa dalil mutlak kepada yang muqayyad). Dan pendapat jumhur itu jarang sekali salah atau meleset dari kebenaran.
Adapun hadis yang berbunyi:
وَإِيَّاكَ وَإِسْبَالَ الْإِزَارِ، فَإِنَّهَا مِنَ المَخِيلَةِ
Artinya: “Hati-hati engkau dari isbal (menjulurkan) sarung. Karena sesungguhnya ia termasuk kesombongan.” (HR. Abu Dawud dan selainnya)
Hanya menunjukkan hukum rata-rata atau keumuman, bahwa di zaman itu orang yang isbal biasanya karena sombong. Tapi tidak semua yang melakukannya pasti karena sombong. Terlebih di zaman ini, isbal sudah tidak menjadi ikon kesombongan lagi karena sudah digantikan oleh bentuk-bentuk yang lainnya, seperti ; rumah, mobil, perhiasan, dll.
Isbal Menurut Syaikh Ibnu Taimiyah
Pendapat jumhur sebagaimana dijelaskan diatas juga diikuti oleh syekh Ibnu Taimiyyah rhm. Setelah membawakan hadis-hadis yang mengharamkan isbal, beliau (syekh Ibnu Taimiyyah) berkata :
وهذه نصوص صريحة في تحريم الإسبال على وجه المخيلة والمطلق منها محمول على المقيد وإنما أطلق ذلك لأن الغالب أن ذلك إنما يكون مخيلة
Terjemah: “Ini semua merupakan dalil-dalil yang gamblang menunjukkan pengharaman isbal dalam bentuk kesombongan saja. Dalil yang (bermakna) mutlak (haram) darinya, dibawa kepada dalil yang (bermakna) muqayyad (hanya dibatasi untuk orang yang melakukannya karena sombong). Dan hanyalah dalil yang ada dalam masalah ini dimutlakan, karena umumnya orang yang melakukannya karena sombong.” (Syarah Umdatul Fiqh, hlm. 364, cetakan Darul ‘Ashimah – Riyadh)
Imam Ibnu Muflih Al-Hanbali rhm juga menyatakan :
وَاخْتَارَ الشَّيْخُ تَقِيُّ الدِّينِ - رَحِمَهُ اللَّهُ - عَدَمَ تَحْرِيمِهِ وَلَمْ يَتَعَرَّضْ لِكَرَاهَةٍ وَلَا عَدَمِهَا
Terjemah: “Syekh Taqiyyuddin (Ibnu Taimiyyah) rhm memilih pendapat yang tidak mengharamkannya (isbal). Dan beliau tidak melihat kemakruhan dan ketiadaannya.” (Al-Adab Asy-Syar’iyyah : 3/521)
Alhasil, pendapat manapun yang kita ikuti, maka wajib bagi kita untuk menghormati pendapat orang lain. Masalah ini hanya masalah furu’ (cabang agama) yang masuk ranah khilafiyyah ijtihadiyyah. Masalah seperti ini tidak boleh dijadikan alasan untuk saling mentahdzir, menyesatkan, dan mengeluarkan seorang muslim dari lingkup Ahlus Sunah wal Jama’ah. Semoga bermanfaat.
Tags:
Fikih