Fikroh.com - Suara adzan itu pun terdengar. Tak terasa, mengalirlah air mata Umar bin Al Khaththab radhiyallahu ‘anhu beserta para shahabat yang hadir kala itu. Mereka tak kuasa menahan jatuhnya air mata demi mendengarnya. Suara adzan itu, mengingatkan mereka kepada sang kekasih yang telah tiada, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mengingatkan mereka kepada masa-masa indah, masa-masa perjuangan bersama Rasul yang mulia, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Baru saat itulah, Bilal bin Rabah radhiyallahu ‘anhu mau mengumandangkan adzan setelah sekian waktu lamanya. Sebelumnya, setelah kepergian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau tidak lagi mau mengumandangkan adzan. Ingatan beliau kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membuatnya tidak mampu melafazhkan adzan. Sedemikian besarnya rasa cinta para shahabat kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Bilal bin Rabah radhiyallahu ‘anhu, beliaulah sang muadzin Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Diperselisihkan nama kuniah beliau. Abu Abdillah, Abu Abdilkarim, Abu Abdirrahman, ataupun Abu Amr. Beliau adalah budak yang dibebaskan Abu Bakar Ash Shiddiq radhiyallahu ‘anhu. Karena Abu Bakarlah yang membebaskan Bilal bin Rabah dari status budak. Bebaslah Bilal dari kepemilikan Umayyah bin Khalaf, majikan yang bengis lagi kafir. Beliau dibeli senilai 5, 7, atau 9 uqiyah. Harga yang tergolong mahal kala itu.
Dalam kesehariannya, beliau bertugas menjaga Abu Bakar sekaligus muadzin Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bilal bin Rabah, termasuk shahabat yang mengikuti perang Badar, dan seluruh peperangan bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau dipersaudarakan dengan Ubadah bin Harits bin Al Muththalib atau dengan Abu Ruwaihah Al Khats’ami.
Bilal adalah kalangan budak yang termasuk awal masuk Islam. Bersama beliau ada beberapa orang dari kalangan budak lainnya. Mereka adalah Ammar bin Yasir, Sumayyah (ibunda Ammar), Miqdad bin Al Aswad, dan Shuhaib Ar Rumi.
Kala itu, kaum muslimin benar-benar diuji dengan berbagai cobaan. Terlebih kaum budak dan orang-orang lemah semisal mereka. Penyiksaan demi penyiksaan mereka dapatkan. Kekerasan dari tuan-tuan mereka sendiri, dan hampir dari semua penduduk Makkah yang masih musyrik. Para pembesarnya, wanitanya, bahkan mereka juga mengikutsertakan anak-anak. Semua ikut andil dalam menyiksa, melecehkan, dan menghina.
Subhanallah, penyiksaan di luar batas kemanusiaan. Pelecehan yang muncul dari orang-orang yang telah tercabut hati nuraninya. Dalam penyiksaan tersebut, gugurlah Sumayyah radhiyallahu ‘anha, syahid pertama dalam Islam.
Kaum musyrikin Quraisy melakukan penyiksaan ini tidak lain sebagai peringatan dan contoh bagi setiap orang yang ingin masuk Islam. Agar mereka takut dan mengurungkan niatannya.
Karena siksaan yang hebat ini, akhirnya sebagian mereka terpaksa menuruti kemauan para musyrikin Quraisy. Lisan mereka terpaksa mengucapkan kekufuran, namun qalbu mereka penuh dengan keimanan. Sebagaimana yang Allah subhanahu wa ta’ala kisahkan dalam Al Quran.
Kecuali Bilal. Beliau tetap kokoh. Walaupun disiksa setiap hari dengan ditindih batu besar, sambil ditelentangkan di padang pasir kala matahari memanggang batu dan kerikil. Tetap ‘ahad, ahad’ yang muncul dari lisan beliau. Ucapan ringkas yang sangat dibenci oleh kaum musyrikin. Sebab, dengan ucapan ini, berarti telah mengingkari seluruh sesembahan batil mereka.
Bilal bin Rabah radhiyallahu ‘anhu. Ayah beliau adalah Rabah, sedang ibunya adalah Humamah. Ibunya adalah budak wanita berkulit hitam yang tinggal di Makkah. Oleh karena itu, sebagian orang memanggil beliau dengan sebutan Ibnus Sauda’, anak seorang wanita hitam. Beliau memiliki saudara laki-laki bernama Khalid, dan saudara perempuan bernama Ghafrah.
Banyak shahabat yang meriwayatkan hadits dari shahabat mulia yang berperawakan kurus, tinggi, dan sedikit menonjol pada bagian atas pipinya ini. Bahkan mereka adalah para senior shahabat. Semisal Abu Bakar Ash Shiddiq, Umar bin Al Khaththab, Al Bara’ bin ‘Azib, dan Usamah bin Zaid. Semoga Allah meridhai mereka semua.
Adapun dari kalangan tabi’in, semisal Abdullah bin Amr bin Ka’ab, dan para tabi’in senior yang tinggal di Madinah, Syam, dan Kufah.
Allahu Akbar! Demikianlah, Allah mengangkat derajat dan kedudukan hamba-Nya dengan sebab ilmu dan keimanannya. Betapa banyak para ulama yang tinggi kedudukannya di sisi umat, padahal berasal dari nasab yang rendah.
Beliau radhiyallahu ‘anhu lah pula satu-satunya bekas budak yang diperintahkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menaiki Ka’bah untuk mengumandangkan adzan. Hal ini terjadi sewaktu penaklukan Makkah.
Kemuliaan Bilal di sisi para shahabat juga tercermin dari ucapan Umar bin Al Khaththab, “Abu Bakar adalah tuan kita, telah memerdekakan tuan kita (maksudnya Bilal).”
Bilal bin Rabah radhiyallahu ‘anhu, setelah wafatnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau tetap mengikuti setiap seruan jihad, meninggikan kalimat Allah, menebar rahmat ke penjuru bumi. Penaklukan demi penaklukan beliau ikuti. Pada akhirnya, beliau meninggal di Damaskus, salah satu kota di daerah Syam. Berpulang ke haribaan-Nya pada tahun 20 H pada umur yang ke 63 tahun. Dalam pendapat lain menyebutkan di tahun 21 H dengan umur 70 tahun.
Sungguh, umur yang barakah. Kehidupan yang penuh dengan iman dan amalan. Semoga Allah subhanahu wa ta’ala merahmati Bilal bin Rabah radhiyallahu ‘anhu. [Hammam].
Sumber: Majalah Tashfiyah edisi 24 vol.02 1434H-2013M, rubrik Figur.