Fikroh.com - Perkembangan politik kawasan Timur Tengah dan Asia Selatan kembali memunculkan tanda tanya besar di kalangan pengamat dunia Islam. Penandatanganan perjanjian pertahanan bersama antara Arab Saudi dan Pakistan, yang disebut-sebut mencakup klausul “pembelaan bersama jika salah satu diserang”, menandai babak baru dalam peta kekuatan Islam global.
Namun bersamaan dengan itu, ketegangan antara Pakistan dan Afghanistan di wilayah perbatasan Durand Line justru meningkat. Banyak kalangan mulai mengaitkan dua fenomena ini dengan nubuwat Rasulullah ﷺ tentang munculnya pasukan dari arah timur (Khurasan) yang kelak akan mendukung Al-Mahdi dan mengguncang kekuasaan zalim di Jazirah Arab.
Poros Baru Dunia Islam: Riyadh–Islamabad
Arab Saudi dan Pakistan telah lama menjalin hubungan strategis. Riyadh menjadi salah satu penyandang dana terbesar bagi perekonomian dan militer Pakistan sejak dekade 1980-an, sementara Islamabad menjadi benteng nuklir dunia Islam yang paling diperhitungkan.
Perjanjian pertahanan baru ini, jika dikonfirmasi secara resmi, menandai penguatan blok Sunni konservatif yang mencoba menyeimbangkan pengaruh Iran di kawasan. Bagi Riyadh, kemitraan dengan Islamabad tidak hanya berbasis ekonomi, tetapi juga geopolitik dan teologis: Pakistan dipandang sebagai mitra strategis dalam menghadapi ancaman lintas batas dari Iran, Yaman, maupun kelompok militan di Afghanistan.
Di sisi lain, Pakistan sendiri tengah menghadapi gelombang ketidakstabilan baru. Pemerintah Islamabad menuduh kelompok bersenjata seperti Tehrik-i-Taliban Pakistan (TTP) beroperasi dari wilayah Afghanistan. Taliban, yang kini berkuasa di Kabul, membantah tudingan itu. Namun baku tembak di wilayah Khyber Pakhtunkhwa dan Baluchistan terus meningkat.
Konflik Pakistan–Afghanistan: Api Lama di Wilayah Khurasan
Secara geografis, wilayah yang kini menjadi ajang konflik antara Pakistan dan Afghanistan adalah bagian dari wilayah historis Khurasan, yang dalam literatur Islam klasik meliputi Afghanistan, Iran timur, Turkmenistan, dan sebagian Pakistan.
Nama “Khurasan” sendiri kerap muncul dalam hadis-hadis akhir zaman, salah satunya:
عَنْ ثَوْبَانَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: «يَخْرُجُ مِنْ خُرَاسَانَ رَايَاتٌ سُودٌ، فَلَا يَرُدُّهَا شَيْءٌ حَتَّى تُنْصَبَ بِإِيلِيَا»
“Akan keluar dari arah Khurasan panji-panji hitam, maka tidak ada yang dapat menghalangi mereka hingga mereka menancapkan benderanya di Iliya (Baitul Maqdis).” (HR. Ahmad, Tirmidzi)
Hadis ini, meskipun ditafsirkan beragam oleh ulama, secara geografis menempatkan wilayah timur Jazirah Arab—yakni kawasan Pakistan–Afghanistan—sebagai titik bangkit pasukan besar yang akan memainkan peran penting menjelang kemunculan Imam Al-Mahdi.
Nubuwwah tentang Pasukan Timur dan Penguasa Makkah
Beberapa riwayat juga menyebutkan bahwa menjelang munculnya Al-Mahdi, akan terjadi fitnah besar di Makkah, perebutan kekuasaan, dan pembunuhan terhadap seorang pemimpin.
Kemudian, seorang lelaki saleh dari Madinah (yang dikenal sebagai Al-Mahdi) akan enggan dibaiat, hingga akhirnya masyarakat membaiatnya di dekat Ka'bah.
Dari arah timur, akan datang pasukan yang membawa panji hitam, menolong Al-Mahdi dan mengalahkan penguasa zalim di Hijaz.
Riwayat ini dikenal di kalangan ulama hadis dan tafsir sebagai “tentara Khurasan”, simbol kebangkitan Islam dari arah timur dunia Islam.
Meski begitu, para ulama menekankan bahwa tidak boleh tergesa-gesa men-ta’yin (menetapkan) peristiwa geopolitik tertentu sebagai realisasi pasti dari nubuwat tersebut.
Ibnu Katsir dalam An-Nihayah fi Al-Fitan wal Malahim menulis bahwa tanda-tanda besar akhir zaman akan terjadi secara berurutan dan tidak semua harus ditafsirkan secara literal terhadap situasi politik yang sedang berjalan.
Koalisi dan Ketegangan: Antara Strategi dan Takdir
Bila dilihat dari kaca mata geopolitik, koalisi Saudi–Pakistan dapat dipahami sebagai manuver realistis menghadapi perubahan poros kekuatan global.
Kebijakan luar negeri Riyadh yang kini lebih independen dari Amerika Serikat mendorongnya mencari mitra baru di kawasan Muslim, dan Pakistan—dengan kekuatan militer besar serta kapasitas nuklir—adalah pilihan alami.
Namun bagi sebagian kalangan Islamis dan pengamat eskatologi Islam, pergerakan blok timur menuju interaksi langsung dengan Jazirah Arab bukan sekadar strategi militer, melainkan tanda pergeseran besar peradaban.
Mereka menilai, ketika Khurasan kembali bergolak, ketika pasukan di timur mulai terlibat dalam urusan tanah suci, dan ketika fitnah politik mengguncang Makkah—maka nubuwwah Rasulullah ﷺ tampak semakin relevan.
Di Persimpangan Sejarah
Saat ini, belum ada bukti konkret bahwa konflik Pakistan–Afghanistan dan perjanjian Saudi–Pakistan memiliki hubungan langsung dengan tanda-tanda akhir zaman.
Namun, arah sejarah Islam memang bergerak ke titik yang sangat mirip dengan deskripsi hadis-hadis tersebut:
- Kebangkitan dari Timur (Khurasan) yang kini identik dengan Afghanistan dan Pakistan,
- Fitnah politik dan krisis legitimasi di Jazirah Arab,
- Pergolakan global yang mempertemukan kekuatan Islam lintas batas,
- dan pergeseran geopolitik yang mengubah lanskap dunia Muslim.
Sejarah mengajarkan bahwa nubuwat tidak sekadar peta peristiwa, tetapi peringatan moral dan spiritual agar umat Islam menyiapkan diri — bukan hanya secara militer, tetapi terutama dalam iman, ilmu, dan kejujuran dalam berpihak pada kebenaran.
Penutup
Perjanjian pertahanan Saudi–Pakistan dan ketegangan di wilayah Khurasan modern mungkin hanyalah dinamika politik biasa. Namun, bagi mereka yang membaca sejarah dengan mata hati, setiap perubahan geopolitik dunia Islam menyimpan gema nubuwah yang mengingatkan:
bahwa kekuatan dan kehancuran umat bukan semata karena perang dan senjata, tetapi karena hilangnya kesatuan, keadilan, dan keteguhan pada nilai Islam itu sendiri.
Mungkin benar bahwa pasukan Khurasan belum bergerak, tetapi gelombang sejarahnya sudah mulai beriak.