Fikroh.com - Dalam sejarah manusia, selalu ada momen di mana keadilan lahir dari suara nurani yang menolak tunduk pada kekuasaan dan kezaliman. Ribuan tahun memisahkan dua peristiwa besar ini — Hilful Fudhul di Mekkah dan Global Sumud Flotilla di perairan Gaza — namun keduanya terhubung oleh satu garis yang sama: keberanian untuk membela yang tertindas atas nama kemanusiaan.
Hilful Fudhul: Perjanjian Kebajikan di Tanah Mekkah
Berabad-abad sebelum dunia mengenal konsep hak asasi manusia, masyarakat Mekkah sudah menyaksikan sebuah peristiwa yang menjadi simbol keadilan sosial universal. Pada masa pra-Islam, ketika kekuasaan suku sering kali menjadi alat penindasan, seorang pedagang dari Zabid, Yaman, datang ke Mekkah untuk berdagang. Namun, dagangannya dirampas oleh seorang tokoh Quraisy, Al-Ash bin Wail, yang menolak membayar.
Ketidakadilan itu menggugah hati beberapa tokoh terhormat Mekkah. Mereka berkumpul di rumah Abdullah bin Jud’an dan mengikrarkan sebuah perjanjian yang kelak dikenal sebagai Hilful Fudhul, atau Perjanjian Kebajikan. Para pemuka Quraisy bersumpah untuk:
“Menegakkan hak siapa pun yang dizalimi, baik penduduk Mekkah maupun pendatang, hingga haknya dikembalikan.”
Perjanjian itu dihadiri oleh Muhammad bin Abdullah yang saat itu masih muda. Beberapa tahun kemudian, setelah beliau diangkat menjadi Rasulullah ﷺ, beliau mengenang peristiwa itu dengan sabda penuh makna:
“Aku telah menyaksikan di rumah Abdullah bin Jud’an suatu perjanjian (Hilful Fudhul) yang seandainya aku diajak lagi kepadanya di masa Islam, niscaya aku akan memenuhinya.”
(HR. Ahmad)
Ucapan itu menegaskan bahwa Islam bukan hanya agama ritual, melainkan sistem moral yang menegakkan keadilan lintas batas suku, bangsa, dan agama. Hilful Fudhul menjadi simbol bahwa membela hak orang lemah adalah kewajiban kemanusiaan, bukan sekadar kesepakatan sosial.
Global Sumud Flotilla: Konvoi Kemanusiaan Menembus Blokade
Lompatan waktu membawa kita ke abad ke-21, ketika dunia modern menyaksikan bentuk baru dari ketidakadilan: blokade Gaza. Selama lebih dari 17 tahun, wilayah kecil itu dikurung oleh tembok, laut, dan langit yang dikontrol oleh kekuatan militer Israel. Di sanalah lahir Global Sumud Flotilla (GSF), sebuah gerakan solidaritas internasional yang berwujud konvoi maritim terbesar dalam sejarah modern.
Kata “Sumud” dalam bahasa Arab berarti keteguhan, ketabahan, dan ketegaran dalam menghadapi penindasan. Itulah roh yang menghidupkan ratusan aktivis, dokter, ulama, dan relawan kemanusiaan dari berbagai negara ketika mereka memutuskan untuk berlayar menuju Gaza — membawa bantuan medis, bahan pangan, dan pesan moral: “Kami tidak akan diam terhadap ketidakadilan.”
GSF bukan sekadar aksi politik. Ia adalah manifesto moral global, menyatukan umat manusia dari berbagai latar belakang untuk membela hak rakyat Palestina yang terisolasi oleh kekerasan struktural. Kapal-kapal mereka berlayar bukan dengan senjata, tetapi dengan keberanian dan rasa kemanusiaan yang melampaui batas negara dan agama.
Benang Merah: Keadilan yang Tak Lekang Zaman
Jika Hilful Fudhul adalah cermin awal dari kesadaran moral masyarakat Arab terhadap keadilan, maka Global Sumud Flotilla adalah pantulannya di era modern. Keduanya lahir dari satu sumber nilai yang sama: keengganan manusia beriman untuk membiarkan kezaliman berdiri tanpa perlawanan.
Kedua peristiwa ini menunjukkan bahwa keadilan bukan milik satu zaman. Ia adalah fitrah universal yang hidup dalam hati manusia yang beriman dan berakal. Ketika dunia modern terjebak dalam politik kepentingan dan standar ganda, gerakan seperti Global Sumud Flotilla mengingatkan kembali bahwa keberpihakan terhadap yang tertindas adalah warisan spiritual para nabi dan pejuang moral sejak zaman dahulu.
Penutup: Dari Mekkah untuk Dunia
Dari rumah Abdullah bin Jud’an di Mekkah hingga lautan Mediterania menuju Gaza, satu pesan terus bergema: kebajikan tidak boleh diam melihat kezaliman.
Hilful Fudhul mengajarkan prinsip keadilan yang abadi, dan Global Sumud Flotilla mewarisi semangat itu dalam konteks global modern.
Di tengah dunia yang kerap bisu terhadap penderitaan Palestina, aksi solidaritas lintas bangsa seperti GSF adalah bentuk nyata dari Hilful Fudhul masa kini — perjanjian moral manusia untuk tidak berpaling dari kebenaran.
Sebab, sebagaimana sabda Nabi ﷺ, jika keadilan dipanggil untuk ditegakkan, seorang mukmin sejati tidak akan menolak hadir — bahkan di lautan yang bergelora.
