Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Siapa Pengganti Abu Ubaidah bin Al-Jarrah Setelah Wafatnya?

Kamis | September 04, 2025 WIB | 0 Views

Siapa Pengganti Abu Ubaidah bin Al-Jarrah Setelah Wafatnya?

Fikroh.com - Abu Ubaidah bin al-Jarrah adalah seorang sahabat Nabi dan panglima Muslim, termasuk di antara sepuluh sahabat yang dijanjikan masuk surga. Nabi Muhammad ﷺ memberinya julukan “Amîn al-Ummah” (Orang Kepercayaan Umat). Ia termasuk golongan yang pertama masuk Islam, kemudian berhijrah ke Habasyah dan selanjutnya ke Madinah, serta turut serta dalam seluruh peperangan bersama Nabi. Pada masa Khalifah Umar bin Khattab, ia diangkat sebagai panglima penaklukan Syam dan berhasil menaklukkan Damaskus serta kota-kota lainnya. Ia wafat pada tahun 18 H akibat wabah Tha‘un ‘Amwâs dan dimakamkan di Ghawr Yordania.

Pendahuluan: Sosok Abu Ubaidah bin al-Jarrah

Dalam catatan sejarah Islam, nama Abu Ubaidah bin al-Jarrah memiliki tempat yang sangat istimewa. Beliau adalah salah satu dari al-‘Asharah al-Mubashsharah bil-Jannah, sepuluh sahabat Nabi ﷺ yang dijamin masuk surga. Rasulullah ﷺ bahkan pernah menyebutnya sebagai Amîn al-Ummah, yaitu orang yang paling amanah di antara umat Islam. Julukan ini bukanlah gelar kosong, melainkan pengakuan langsung dari Nabi terhadap ketulusan, kejujuran, dan keteguhan hati Abu Ubaidah.

Selain dikenal karena sifat pribadinya, Abu Ubaidah juga tampil sebagai panglima besar dalam ekspedisi militer kaum Muslimin. Pada masa kekhalifahan Abu Bakar ash-Shiddiq, beliau berperan penting dalam menaklukkan wilayah-wilayah yang memberontak setelah wafatnya Rasulullah ﷺ. Sementara pada masa Umar bin Khattab, Abu Ubaidah diberi amanah untuk memimpin pasukan dalam penaklukan Syam, sebuah wilayah strategis yang menjadi pintu gerbang menuju Bizantium.

Konteks Sejarah: Syam Pasca Penaklukan

Wilayah Syam—meliputi Damaskus, Hims, Palestina, dan sekitarnya—merupakan kawasan yang sangat vital pada abad ke-7 Masehi. Dari sisi politik, Syam adalah benteng Bizantium yang sejak lama menjadi pusat administrasi penting. Dari sisi ekonomi, tanah Syam subur dan menjadi jalur perdagangan internasional. Dari sisi agama, wilayah ini memiliki makna spiritual karena menjadi tempat bersejarah bagi para nabi terdahulu.

Ketika kaum Muslimin menaklukkan Syam, mereka tidak hanya menghadapi kekuatan militer Bizantium, tetapi juga harus menata sistem pemerintahan baru di atas wilayah yang luas dan beragam penduduknya. Khalifah Umar bin Khattab mempercayakan hal ini kepada Abu Ubaidah bin al-Jarrah sebagai panglima tertinggi pasukan Muslim di Syam.

Sebelumnya, posisi itu dipegang oleh Khalid bin Walid, sang Saifullah al-Maslul (Pedang Allah yang terhunus). Namun Umar melihat bahwa Abu Ubaidah memiliki kelebihan dalam hal kepemimpinan yang tenang, bijaksana, dan tidak mudah memancing gejolak. Umar khawatir karisma militer Khalid yang begitu besar bisa menimbulkan fitnah di kalangan rakyat, maka ia mengangkat Abu Ubaidah sebagai pemimpin utama.

Tha‘un ‘Amwâs dan Wafatnya Abu Ubaidah

Tahun 18 H/639 M, sebuah peristiwa besar mengguncang Syam. Wabah pes yang kemudian dikenal sebagai Tha‘un ‘Amwâs menyebar cepat di wilayah tersebut. Nama wabah ini diambil dari sebuah desa bernama ‘Amwâs di Palestina, tempat awal merebaknya penyakit tersebut.

Sejarawan Islam seperti Ibn Katsir dalam al-Bidâyah wa an-Nihâyah mencatat bahwa ribuan pasukan Muslim menjadi korban wabah ini. Angka kematian sangat tinggi, bahkan menyentuh puluhan ribu. Dalam situasi genting itu, Abu Ubaidah tetap berdiri sebagai panglima. Meski tahu dirinya ikut terjangkit, ia tidak meninggalkan pasukan.

Ketika pasukannya ketakutan, Abu Ubaidah menenangkan mereka dengan kalimat yang sarat iman:
"Sesungguhnya wabah ini adalah rahmat Allah bagi kalian. Dengan ini Allah mewafatkan orang-orang saleh di antara kalian dan menjadi sarana ampunan bagi orang-orang mukmin."

Akhirnya, Abu Ubaidah wafat karena wabah tersebut. Wafatnya beliau menjadi kehilangan besar bagi umat Islam. Khalifah Umar bin Khattab bahkan menangis tersedu-sedu ketika menerima kabar itu dari Syam. Dalam riwayat disebutkan, Umar berdoa: “Ya Allah, rahmatilah umat Islam. Sungguh, aku mencintai Abu Ubaidah sebagaimana aku mencintai diriku sendiri.”

Pengganti Sementara: Mu‘adz bin Jabal

Setelah wafatnya Abu Ubaidah, tongkat estafet kepemimpinan sementara jatuh kepada Mu‘adz bin Jabal, sahabat Nabi yang dikenal luas ilmunya. Rasulullah ﷺ pernah bersabda tentangnya: “Orang yang paling tahu tentang halal dan haram di antara umatku adalah Mu‘adz bin Jabal.” (HR. at-Tirmidzi).

Namun, kepemimpinan Mu‘adz hanya berlangsung singkat. Tak lama setelah menjabat, ia juga terkena wabah tha‘un dan akhirnya wafat. Kejadian ini semakin memperparah krisis kepemimpinan di Syam. Dalam waktu yang berdekatan, dua sahabat besar gugur.

Khalid bin Walid dan Stabilitas Militer

Dalam kondisi penuh duka itu, satu sosok tetap berdiri teguh: Khalid bin Walid. Meski ia telah dicopot dari jabatan panglima tertinggi oleh Umar, Khalid tidak pernah berhenti berjihad. Ia menerima keputusan tersebut dengan lapang dada dan tetap menjadi prajurit yang loyal.

Ketika Abu Ubaidah wafat, Khalid tampil sebagai penggerak utama dalam menjaga stabilitas pasukan. Ia mengatur strategi militer, memastikan Syam tetap aman dari ancaman Bizantium, dan memulihkan moral prajurit yang terpuruk akibat wabah. Perannya sangat vital, meski tidak secara resmi memegang jabatan tertinggi.

Kesetiaan Khalid menjadi teladan kepemimpinan: jabatan bukanlah tujuan, melainkan sarana untuk mengabdi kepada Allah dan umat. Inilah yang membuat Khalid tetap dihormati oleh pasukan, bahkan ketika ia tidak lagi memegang otoritas formal.

Kebijakan Umar: Penunjukan Mu‘awiyah bin Abi Sufyan

Dari Madinah, Umar bin Khattab mengikuti perkembangan di Syam dengan penuh perhatian. Setelah wafatnya Abu Ubaidah dan Mu‘adz, ia tahu bahwa Syam membutuhkan pemimpin baru yang kuat, visioner, dan mampu menata wilayah secara administratif.

Umar akhirnya menunjuk Mu‘awiyah bin Abi Sufyan sebagai gubernur Syam. Mu‘awiyah adalah sahabat muda, anak dari Abu Sufyan, yang sebelumnya sudah menjadi komandan penting di bawah Abu Ubaidah. Ia dikenal cerdas, diplomatis, dan piawai dalam urusan pemerintahan.

Langkah Umar terbukti bijak. Mu‘awiyah membangun sistem pemerintahan yang teratur, memperkuat infrastruktur, serta menjadikan Syam sebagai pusat kekuatan Islam yang baru. Dari sinilah kelak lahir Dinasti Umayyah, salah satu kerajaan Islam terbesar dalam sejarah.

Dampak Jangka Panjang bagi Sejarah Islam

Peristiwa wafatnya Abu Ubaidah dan penggantinya memiliki dampak yang sangat besar dalam sejarah Islam:

  1. Stabilisasi Syam – Dengan kepemimpinan Mu‘awiyah, Syam menjadi basis politik yang kokoh, bahkan lebih stabil dibanding wilayah lain pada masa itu.
  2. Perubahan Pusat Kekuatan – Dari Madinah sebagai pusat awal, kekuatan Islam berangsur-angsur bergeser ke Syam, hingga akhirnya Damaskus menjadi ibu kota Dinasti Umayyah.
  3. Keteladanan Kepemimpinan – Abu Ubaidah mewariskan amanah, Mu‘adz mencontohkan ilmu, Khalid menampilkan loyalitas, dan Mu‘awiyah memperlihatkan kecerdikan politik. Semua tokoh ini memberi warna dalam kepemimpinan Islam.
  4. Pelajaran tentang Wabah dan Kepemimpinan – Wabah Tha‘un ‘Amwâs menjadi ujian besar. Namun umat tidak runtuh karena pemimpin-pemimpin mereka tetap teguh, dan Umar mampu mengatur transisi dengan tepat.

Pelajaran Kepemimpinan dari Peristiwa Ini

Kisah pergantian kepemimpinan di Syam setelah wafatnya Abu Ubaidah mengajarkan banyak hal:

  • Amanah lebih penting daripada kekuasaan – Abu Ubaidah wafat meninggalkan warisan amanah yang abadi.
  • Ilmu dan ketakwaan adalah landasan kepemimpinan – Mu‘adz bin Jabal memberi teladan tentang pentingnya pengetahuan.
  • Kesetiaan dan pengabdian melebihi jabatan – Khalid bin Walid mengajarkan arti sejati dari loyalitas.
  • Kebijakan strategis menentukan arah sejarah – Umar dengan keputusannya menunjuk Mu‘awiyah berhasil membuka jalan bagi lahirnya kekuatan baru.

Penutup

Wafatnya Abu Ubaidah bin al-Jarrah akibat Tha‘un ‘Amwâs adalah salah satu peristiwa paling mengguncang dalam sejarah awal Islam. Namun, dari tragedi itu lahir sebuah rangkaian kepemimpinan yang sarat hikmah. Mu‘adz bin Jabal sempat mengambil tongkat estafet, Khalid bin Walid menjaga stabilitas, dan akhirnya Umar bin Khattab menunjuk Mu‘awiyah bin Abi Sufyan sebagai gubernur Syam.

Sejarah ini menunjukkan bahwa Islam bukan bergantung pada satu tokoh, melainkan pada prinsip jamaah dan sistem kepemimpinan yang terus bergulir. Dari Syam yang dilanda wabah, Islam justru menemukan jalan menuju ekspansi lebih luas, hingga akhirnya Damaskus menjadi pusat peradaban baru di bawah Dinasti Umayyah.

Abu Ubaidah telah pergi, namun semangat amanah yang ia wariskan tetap hidup. Para sahabat lain melanjutkan perjuangan, membuktikan bahwa tongkat estafet kepemimpinan dalam Islam selalu berpindah, tetapi misinya tetap sama: menegakkan agama Allah di muka bumi.

×
Berita Terbaru Update