Fikroh.com - Prabumulih, Sumatera Selatan – Publik pendidikan dihebohkan dengan kabar pencopotan mendadak Kepala Sekolah Menengah Pertama Negeri (SMPN) 1 Prabumulih oleh Dinas Pendidikan setempat. Kabar tersebut menimbulkan pertanyaan besar: apakah pencopotan kepala sekolah bisa dilakukan secara tiba-tiba, dan bagaimana dasar hukumnya menurut aturan perundang-undangan di Indonesia?
Kepala SMPN 1 Prabumulih, salah satu sekolah favorit di kota tersebut, diberhentikan dari jabatannya melalui surat keputusan resmi. Pencopotan mendadak itu menimbulkan spekulasi di kalangan guru, siswa, hingga orang tua murid. Banyak yang bertanya apakah keputusan tersebut didasari alasan yang sah secara hukum atau hanya pertimbangan politis semata.
Dalam konteks pendidikan nasional, jabatan kepala sekolah memang memiliki posisi strategis. Kepala sekolah bukan sekadar pimpinan administrasi, tetapi juga motor penggerak mutu pendidikan. Karena itu, pemberhentian kepala sekolah harus memiliki landasan hukum yang jelas agar tidak menimbulkan polemik atau ketidakpercayaan publik.
Untuk memahami ketentuan pemberhentian kepala sekolah, pertama-tama perlu dilihat dasar hukum mengenai kedudukan kepala sekolah.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas).
UU ini menegaskan bahwa penyelenggaraan pendidikan di sekolah berada di bawah pimpinan kepala sekolah yang bertanggung jawab atas manajemen pendidikan.
Permendikbud Nomor 6 Tahun 2018 tentang Penugasan Guru sebagai Kepala Sekolah.
Aturan ini menjadi rujukan utama dalam pengangkatan, masa jabatan, evaluasi, dan pemberhentian kepala sekolah.
Karena kepala sekolah pada dasarnya adalah guru yang diberi tugas tambahan, regulasi kepegawaian juga berlaku terhadap mereka.
Dengan dasar hukum ini, jelas bahwa pencopotan kepala sekolah tidak bisa dilakukan sembarangan, melainkan harus mengikuti prosedur dan alasan yang sah.
Menurut Permendikbud Nomor 6 Tahun 2018, ada beberapa alasan resmi yang bisa menjadi dasar pemberhentian kepala sekolah, di antaranya:
Masa jabatan berakhir.
Kepala sekolah memiliki masa jabatan selama 4 tahun dan bisa diperpanjang jika memenuhi kriteria. Jika masa jabatan selesai, ia otomatis diberhentikan dari tugas tambahan tersebut.
Mencapai batas usia pensiun.
Karena kepala sekolah berstatus guru, mereka tetap tunduk pada batas usia pensiun guru PNS, yakni 60 tahun.
Permintaan sendiri.
Kepala sekolah bisa mengundurkan diri dengan alasan tertentu, misalnya kesehatan, keluarga, atau alasan pribadi lain.
Tidak lagi memenuhi syarat.
Misalnya tidak mampu mengikuti perkembangan pendidikan, tidak lagi memiliki sertifikat kepala sekolah, atau tidak melaksanakan tugas dengan baik.
Melanggar kode etik atau disiplin PNS.
Jika seorang kepala sekolah melakukan pelanggaran berat, misalnya korupsi dana BOS, kekerasan terhadap siswa, atau pelanggaran etika, ia bisa diberhentikan lebih cepat.
Kebijakan rotasi dan mutasi pejabat fungsional.
Dalam rangka penyegaran organisasi, pemerintah daerah bisa melakukan mutasi kepala sekolah ke sekolah lain, asalkan dilakukan dengan prosedur yang transparan.
Dengan demikian, pencopotan kepala SMPN 1 Prabumulih seharusnya mengacu pada salah satu dari alasan di atas.
Selain alasan, prosedur pemberhentian juga diatur dengan ketat. Menurut Permendikbud No. 6/2018, prosesnya meliputi:
Evaluasi kinerja.
Kepala sekolah wajib dievaluasi secara berkala oleh pengawas sekolah atau dinas pendidikan. Evaluasi mencakup manajemen sekolah, capaian mutu, dan kepemimpinan.
Rekomendasi.
Jika hasil evaluasi menunjukkan ketidaklayakan, maka pengawas memberikan rekomendasi kepada Dinas Pendidikan.
Pertimbangan kepegawaian.
Karena kepala sekolah adalah PNS (bagi yang berstatus ASN), pemberhentian harus sesuai dengan peraturan disiplin ASN.
Penerbitan SK resmi.
Kepala daerah atau pejabat yang berwenang mengeluarkan Surat Keputusan (SK) pemberhentian. SK ini harus mencantumkan dasar hukum dan alasan pemberhentian.
Hak klarifikasi.
Idealnya, kepala sekolah diberi kesempatan klarifikasi atau pembelaan sebelum SK diberlakukan.
Jika salah satu prosedur ini dilewati, maka pencopotan berpotensi dipersoalkan secara hukum.
Pemberhentian kepala sekolah tanpa alasan dan prosedur yang jelas bisa menimbulkan sejumlah masalah:
Dalam praktiknya, pencopotan kepala sekolah kadang tidak murni alasan profesional. Ada faktor-faktor non-hukum yang sering memengaruhi, misalnya:
Jika benar faktor-faktor ini yang mendasari pencopotan, maka keputusan tersebut jelas bertentangan dengan prinsip tata kelola pendidikan yang baik.
Selain aspek hukum, persoalan pencopotan kepala sekolah juga menyangkut etika dan profesionalisme. Kepala sekolah yang berintegritas tentu akan menerima jika diberhentikan karena alasan obyektif, misalnya pelanggaran disiplin atau kinerja buruk. Namun jika pencopotan dilakukan tiba-tiba tanpa penjelasan, hal itu melukai rasa keadilan dan merusak budaya profesionalisme di dunia pendidikan.
Guru dan tenaga kependidikan lain bisa merasa tidak nyaman karena menilai jabatan tidak lagi ditentukan oleh prestasi, melainkan oleh faktor politik. Hal ini berbahaya bagi iklim pendidikan jangka panjang.
Kasus di SMPN 1 Prabumulih seharusnya menjadi pelajaran penting. Pemberhentian kepala sekolah harus benar-benar mengikuti ketentuan hukum yang berlaku. Ada beberapa hal yang bisa dilakukan:
Pencopotan mendadak Kepala SMPN 1 Prabumulih membuka ruang diskusi yang lebih luas tentang tata kelola jabatan kepala sekolah di Indonesia. Menurut Undang-Undang Sisdiknas dan Permendikbud Nomor 6 Tahun 2018, pemberhentian kepala sekolah hanya bisa dilakukan jika ada alasan yang sah, prosedur yang benar, dan melalui mekanisme evaluasi.
Jika pencopotan dilakukan tanpa dasar hukum yang jelas, maka hal itu tidak hanya melanggar aturan, tetapi juga merusak kepercayaan masyarakat terhadap institusi pendidikan. Pada akhirnya, kepala sekolah sebagai ujung tombak mutu pendidikan seharusnya diperlakukan secara adil dan profesional demi menjaga kualitas generasi penerus bangsa.
Kasus Pencopotan yang Mengejutkan
Kepala SMPN 1 Prabumulih, salah satu sekolah favorit di kota tersebut, diberhentikan dari jabatannya melalui surat keputusan resmi. Pencopotan mendadak itu menimbulkan spekulasi di kalangan guru, siswa, hingga orang tua murid. Banyak yang bertanya apakah keputusan tersebut didasari alasan yang sah secara hukum atau hanya pertimbangan politis semata.
Dalam konteks pendidikan nasional, jabatan kepala sekolah memang memiliki posisi strategis. Kepala sekolah bukan sekadar pimpinan administrasi, tetapi juga motor penggerak mutu pendidikan. Karena itu, pemberhentian kepala sekolah harus memiliki landasan hukum yang jelas agar tidak menimbulkan polemik atau ketidakpercayaan publik.
Dasar Hukum Jabatan Kepala Sekolah
Untuk memahami ketentuan pemberhentian kepala sekolah, pertama-tama perlu dilihat dasar hukum mengenai kedudukan kepala sekolah.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas).
UU ini menegaskan bahwa penyelenggaraan pendidikan di sekolah berada di bawah pimpinan kepala sekolah yang bertanggung jawab atas manajemen pendidikan.
Permendikbud Nomor 6 Tahun 2018 tentang Penugasan Guru sebagai Kepala Sekolah.
Aturan ini menjadi rujukan utama dalam pengangkatan, masa jabatan, evaluasi, dan pemberhentian kepala sekolah.
Peraturan Menteri PAN-RB tentang Jabatan Fungsional Guru.
Karena kepala sekolah pada dasarnya adalah guru yang diberi tugas tambahan, regulasi kepegawaian juga berlaku terhadap mereka.
Dengan dasar hukum ini, jelas bahwa pencopotan kepala sekolah tidak bisa dilakukan sembarangan, melainkan harus mengikuti prosedur dan alasan yang sah.
Alasan Kepala Sekolah Bisa Diberhentikan
Menurut Permendikbud Nomor 6 Tahun 2018, ada beberapa alasan resmi yang bisa menjadi dasar pemberhentian kepala sekolah, di antaranya:
Masa jabatan berakhir.
Kepala sekolah memiliki masa jabatan selama 4 tahun dan bisa diperpanjang jika memenuhi kriteria. Jika masa jabatan selesai, ia otomatis diberhentikan dari tugas tambahan tersebut.
Mencapai batas usia pensiun.
Karena kepala sekolah berstatus guru, mereka tetap tunduk pada batas usia pensiun guru PNS, yakni 60 tahun.
Permintaan sendiri.
Kepala sekolah bisa mengundurkan diri dengan alasan tertentu, misalnya kesehatan, keluarga, atau alasan pribadi lain.
Tidak lagi memenuhi syarat.
Misalnya tidak mampu mengikuti perkembangan pendidikan, tidak lagi memiliki sertifikat kepala sekolah, atau tidak melaksanakan tugas dengan baik.
Melanggar kode etik atau disiplin PNS.
Jika seorang kepala sekolah melakukan pelanggaran berat, misalnya korupsi dana BOS, kekerasan terhadap siswa, atau pelanggaran etika, ia bisa diberhentikan lebih cepat.
Kebijakan rotasi dan mutasi pejabat fungsional.
Dalam rangka penyegaran organisasi, pemerintah daerah bisa melakukan mutasi kepala sekolah ke sekolah lain, asalkan dilakukan dengan prosedur yang transparan.
Dengan demikian, pencopotan kepala SMPN 1 Prabumulih seharusnya mengacu pada salah satu dari alasan di atas.
Prosedur Pemberhentian Kepala Sekolah
Selain alasan, prosedur pemberhentian juga diatur dengan ketat. Menurut Permendikbud No. 6/2018, prosesnya meliputi:
Evaluasi kinerja.
Kepala sekolah wajib dievaluasi secara berkala oleh pengawas sekolah atau dinas pendidikan. Evaluasi mencakup manajemen sekolah, capaian mutu, dan kepemimpinan.
Rekomendasi.
Jika hasil evaluasi menunjukkan ketidaklayakan, maka pengawas memberikan rekomendasi kepada Dinas Pendidikan.
Pertimbangan kepegawaian.
Karena kepala sekolah adalah PNS (bagi yang berstatus ASN), pemberhentian harus sesuai dengan peraturan disiplin ASN.
Penerbitan SK resmi.
Kepala daerah atau pejabat yang berwenang mengeluarkan Surat Keputusan (SK) pemberhentian. SK ini harus mencantumkan dasar hukum dan alasan pemberhentian.
Hak klarifikasi.
Idealnya, kepala sekolah diberi kesempatan klarifikasi atau pembelaan sebelum SK diberlakukan.
Jika salah satu prosedur ini dilewati, maka pencopotan berpotensi dipersoalkan secara hukum.
Implikasi Hukum
Pemberhentian kepala sekolah tanpa alasan dan prosedur yang jelas bisa menimbulkan sejumlah masalah:
- Gugatan hukum. Kepala sekolah bisa mengajukan keberatan ke Badan Pertimbangan ASN (BAPEK) atau Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
- Ketidakstabilan sekolah. Pergantian mendadak bisa mengganggu ritme sekolah, terutama dalam masa ujian atau penerimaan siswa baru.
- Turunnya kepercayaan publik. Jika masyarakat menilai keputusan diwarnai kepentingan politik, maka kredibilitas pemerintah daerah akan dipertanyakan.
Potensi Faktor Non-Hukum
Dalam praktiknya, pencopotan kepala sekolah kadang tidak murni alasan profesional. Ada faktor-faktor non-hukum yang sering memengaruhi, misalnya:
- Pertimbangan politik lokal. Kepala sekolah dianggap dekat dengan kelompok politik tertentu sehingga diganti setelah ada pergantian pejabat daerah.
- Kedekatan personal. Kepala sekolah diganti karena ada orang lain yang lebih dekat dengan pengambil kebijakan.
- Isu internal sekolah. Perselisihan antara kepala sekolah dengan guru atau komite sekolah yang kemudian menjadi tekanan bagi pemerintah daerah.
Jika benar faktor-faktor ini yang mendasari pencopotan, maka keputusan tersebut jelas bertentangan dengan prinsip tata kelola pendidikan yang baik.
Perspektif Etika dan Profesionalisme
Selain aspek hukum, persoalan pencopotan kepala sekolah juga menyangkut etika dan profesionalisme. Kepala sekolah yang berintegritas tentu akan menerima jika diberhentikan karena alasan obyektif, misalnya pelanggaran disiplin atau kinerja buruk. Namun jika pencopotan dilakukan tiba-tiba tanpa penjelasan, hal itu melukai rasa keadilan dan merusak budaya profesionalisme di dunia pendidikan.
Guru dan tenaga kependidikan lain bisa merasa tidak nyaman karena menilai jabatan tidak lagi ditentukan oleh prestasi, melainkan oleh faktor politik. Hal ini berbahaya bagi iklim pendidikan jangka panjang.
Harapan Perbaikan
Kasus di SMPN 1 Prabumulih seharusnya menjadi pelajaran penting. Pemberhentian kepala sekolah harus benar-benar mengikuti ketentuan hukum yang berlaku. Ada beberapa hal yang bisa dilakukan:
- Transparansi. Pemerintah daerah perlu menjelaskan secara terbuka alasan pencopotan agar tidak menimbulkan spekulasi.
- Konsistensi aturan. Semua kepala sekolah harus diperlakukan sama sesuai regulasi, tidak boleh ada diskriminasi.
- Penguatan sistem evaluasi. Evaluasi kinerja kepala sekolah harus dilakukan secara objektif, terukur, dan terdokumentasi.
- Perlindungan profesi guru. Organisasi profesi guru dan kepala sekolah perlu memperjuangkan agar anggotanya tidak menjadi korban kepentingan politik.
Penutup
Pencopotan mendadak Kepala SMPN 1 Prabumulih membuka ruang diskusi yang lebih luas tentang tata kelola jabatan kepala sekolah di Indonesia. Menurut Undang-Undang Sisdiknas dan Permendikbud Nomor 6 Tahun 2018, pemberhentian kepala sekolah hanya bisa dilakukan jika ada alasan yang sah, prosedur yang benar, dan melalui mekanisme evaluasi.
Jika pencopotan dilakukan tanpa dasar hukum yang jelas, maka hal itu tidak hanya melanggar aturan, tetapi juga merusak kepercayaan masyarakat terhadap institusi pendidikan. Pada akhirnya, kepala sekolah sebagai ujung tombak mutu pendidikan seharusnya diperlakukan secara adil dan profesional demi menjaga kualitas generasi penerus bangsa.
