Fikroh.com - Dalam dunia politik Indonesia, isu penonaktifan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sering menjadi sorotan publik. Pertanyaan yang kerap muncul adalah: apakah anggota DPR yang dinonaktifkan tetap menerima gaji dan tunjangan? Jawabannya adalah ya, mereka masih berhak atas hak keuangan tersebut. Hal ini diatur secara jelas dalam peraturan perundang-undangan, meskipun status mereka sementara tidak aktif dalam tugas legislatif. Artikel ini akan membahas secara lengkap mengenai aturan hukum, mekanisme penonaktifan, serta contoh kasus terkini pada tahun 2025, untuk memberikan pemahaman yang mendalam bagi pembaca yang mencari informasi tentang "anggota DPR dinonaktifkan gaji" atau "hak keuangan DPR nonaktif".
Apa Itu Status Dinonaktifkan bagi Anggota DPR?
Status dinonaktifkan atau pemberhentian sementara bagi anggota DPR bukanlah pemecatan permanen. Ini adalah langkah yang diambil oleh partai politik atau DPR sendiri ketika seorang anggota terlibat dalam kontroversi, pelanggaran etik, atau kasus hukum yang belum final. Berbeda dengan Pergantian Antar Waktu (PAW), yang merupakan penggantian permanen, penonaktifan bersifat sementara dan tidak menghilangkan status keanggotaan secara keseluruhan.
Menurut Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3), DPR tidak secara eksplisit mengenal istilah "nonaktif". Namun, praktik ini sering dilakukan oleh partai politik melalui maklumat internal, sambil menunggu proses hukum atau etik selesai. Ketua Badan Anggaran DPR, Said Abdullah, pernah menyatakan bahwa karena UU MD3 tidak mengatur penonaktifan, maka hak keuangan anggota tersebut tetap dibayarkan selama mereka masih tercatat sebagai anggota DPR.
Dasar Hukum Hak Keuangan Anggota DPR yang Dinonaktifkan
Hak keuangan anggota DPR yang dinonaktifkan dijamin oleh beberapa peraturan utama:
1. Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib DPR
Pasal 19 ayat (4) secara tegas menyatakan: "Anggota yang diberhentikan sementara tetap mendapatkan hak keuangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan." Ini mencakup gaji pokok, tunjangan keluarga, tunjangan pangan, tunjangan jabatan, dan uang paket. Aturan ini memastikan bahwa selama status keanggotaan belum dicabut secara permanen, hak finansial tetap berlaku.
2. UU MD3 (Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018)
UU ini mengatur pemberhentian anggota DPR, tetapi tidak ada ketentuan yang menghentikan hak keuangan selama masa penonaktifan. Pemberhentian permanen hanya terjadi melalui PAW, yang memerlukan persetujuan partai dan DPR. Selama proses itu belum selesai, anggota dinonaktifkan masih dianggap sebagai bagian dari DPR dan berhak atas gaji yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
3. Peraturan Lain yang Relevan
Hak keuangan juga diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 75 Tahun 2000 tentang Gaji Pokok Pimpinan dan Anggota DPR, yang diperbarui sesuai inflasi dan kebijakan pemerintah. Pada 2025, gaji pokok anggota DPR diperkirakan sekitar Rp 4,2 juta per bulan, ditambah tunjangan yang bisa mencapai puluhan juta rupiah, termasuk tunjangan komunikasi, perumahan, dan transportasi.
Alasan di balik aturan ini adalah untuk menjaga prinsip praduga tak bersalah, di mana anggota DPR tidak boleh kehilangan haknya sebelum ada putusan hukum yang inkrah. Namun, hal ini sering dikritik karena dianggap tidak adil bagi rakyat yang membiayai gaji tersebut melalui pajak.
Contoh Kasus Terkini pada Tahun 2025
Pada awal September 2025, isu ini kembali ramai dibahas setelah Partai NasDem menonaktifkan dua anggotanya, Ahmad Sahroni dan Nafa Urbach, melalui maklumat DPP. Penonaktifan ini dilakukan per 1 September 2025 karena pernyataan kontroversial mereka yang memicu polemik nasional. Selain itu, Eko Patrio dan Uya Kuya dari partai lain juga dinonaktifkan dengan alasan serupa.
Menurut laporan media, meskipun dinonaktifkan, keempat anggota ini tetap menerima gaji dan tunjangan penuh. Liputan6.com menyatakan bahwa status nonaktif tidak menghentikan hak keuangan, karena mereka masih tercatat sebagai anggota DPR sambil menunggu keputusan partai terkait PAW. Kritik muncul dari netizen di platform X (sebelumnya Twitter), yang menyebut hal ini sebagai "lawak" karena anggota yang bermasalah masih digaji oleh rakyat.
Kasus serupa pernah terjadi sebelumnya, seperti pada Edward Tannur pada 2023, di mana dia tetap digaji meskipun dinonaktifkan akibat kasus hukum. Ini menunjukkan konsistensi penerapan aturan, meskipun sering memicu perdebatan tentang reformasi DPR.
Dampak dan Kritik terhadap Aturan Ini
Meskipun aturan ini melindungi hak individu, banyak pihak mengkritiknya karena dianggap tidak mencerminkan akuntabilitas. Publik sering bertanya: mengapa rakyat harus membayar gaji anggota DPR yang tidak aktif karena kesalahan mereka sendiri? Beberapa saran reformasi termasuk merevisi UU MD3 untuk menghentikan hak keuangan selama masa penonaktifan, atau mempercepat proses PAW.
Di sisi lain, pendukung aturan ini berargumen bahwa tanpa jaminan hak keuangan, anggota DPR rentan terhadap tekanan politik yang tidak adil. Pada akhirnya, perubahan hanya bisa dilakukan melalui amandemen undang-undang oleh DPR itu sendiri.
Kesimpulan: Transparansi dan Reformasi Diperlukan
Secara keseluruhan, anggota DPR yang dinonaktifkan memang tetap menerima gaji dan tunjangan, sesuai Pasal 19 ayat (4) Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2020 dan UU MD3. Ini bukan pemecatan, melainkan pemberhentian sementara yang tidak menghilangkan hak finansial. Namun, isu ini menyoroti kebutuhan reformasi untuk meningkatkan akuntabilitas DPR terhadap rakyat.
Jika Anda mencari informasi lebih lanjut tentang "gaji anggota DPR nonaktif" atau kasus spesifik seperti Sahroni dan Nafa Urbach, pastikan untuk memeriksa sumber resmi seperti situs DPR RI atau media terpercaya. Artikel ini diharapkan membantu pembaca memahami topik ini secara mendalam, sambil mendukung pencarian terkait hak keuangan legislator Indonesia.
Posting Komentar untuk "Meski Dinonaktifkan Anggota DPR Tetap Menerima Gaji Penuh"