Fikroh.com - Dalam sebuah pertemuan resmi, K.H. Ulil Abshar Abdalla, atau yang akrab disapa Gus Ulil, hadir mewakili Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Dalam diskusi tersebut, ia melontarkan kelakar tentang “sogokan yang dibenarkan” yang ia sebut sebagai “Sogokan Hasanah.”
Istilah ini muncul sebagai respons atas pernyataan seorang anggota DPR yang menyebut bahwa pemberian izin pengelolaan tambang kepada ormas Islam, termasuk NU, adalah bentuk sogokan politik agar ormas tersebut tidak lagi bersikap kritis terhadap kebijakan pemerintah. Menanggapi hal tersebut, Gus Ulil menyatakan bahwa pemberian izin tambang tidak bisa dikategorikan sebagai sogokan. Namun, jika pun tetap disebut sogokan, maka hal itu—menurutnya—adalah “sogokan yang baik.” Dari sinilah istilah “Sogokan Hasanah” lahir, yang menyiratkan bahwa pemberian tersebut, meskipun dilabeli sogokan, dianggap membawa manfaat.
Artikel ini bertujuan mengulas secara kritis istilah “Sogokan Hasanah” dengan membandingkannya pada kerangka fikih Islam, maqashid syariah, serta implikasinya terhadap isu pengelolaan tambang yang menjadi latar diskusi.
Landasan Teoritis Fikih dalam Pandangan Gus Ulil
Paradigma fikih yang sering digunakan oleh Gus Ulil dikenal fleksibel. Ia kerap menekankan bahwa salah satu ciri khas fikih adalah kelenturannya dalam merespons realitas sosial. Namun, fleksibilitas ini bukanlah tanpa batas.
Dalam teori maqashid syariah yang dikembangkan oleh ulama klasik seperti Imam al-Ghazali dan al-Syatibi, kelenturan hukum Islam harus selalu berada dalam bingkai jalb al-maslahah (mendatangkan kemaslahatan) dan dar’ al-mafsadah (menolak kerusakan). Ash-Syatibi dalam Al-Muwafaqat menegaskan bahwa fleksibilitas syariat tidak boleh mengorbankan prinsip-prinsip dasar keadilan dan keberlanjutan.
Sarjana kontemporer, Khaled Abou El Fadl, juga menyoroti pentingnya integritas moral dalam penafsiran hukum Islam. Dalam bukunya The Search for Beauty in Islam, ia mengkritik pendekatan fikih pragmatis yang kerap mengabaikan nilai-nilai universal Islam dan lebih condong melayani kepentingan politik sesaat.
Jika ditinjau dari sudut ini, istilah “Sogokan Hasanah” tampak menunjukkan penggunaan fleksibilitas fikih secara berlebihan untuk melegitimasi sesuatu yang justru berpotensi merusak, bukan mendatangkan maslahat.
Tambang: Antara Maslahat Khilafiyah dan Mafsadat Ittifaqiyyah
Salah satu pokok persoalan dalam diskusi “Sogokan Hasanah” adalah soal pengelolaan tambang. Dalam praktiknya, tambang sering kali menimbulkan dampak ekologis dan sosial yang serius.
- Kerusakan lingkungan: Menurut laporan United Nations Environment Programme (UNEP), sektor pertambangan merupakan salah satu penyumbang utama deforestasi, hilangnya keanekaragaman hayati, dan pencemaran.
- Ancaman kesehatan: Studi Global Mining Institute menunjukkan bahwa limbah tambang yang mengandung logam berat, seperti merkuri dan arsenik, dapat meracuni sumber air minum masyarakat, menyebabkan penyakit kronis, bahkan kelainan bawaan.
- Keadilan sosial: Manfaat ekonomi tambang sering kali hanya dirasakan segelintir kelompok, sementara masyarakat sekitar menanggung kerugian ekologis dan kesehatan.
Dalam perspektif fikih, ada kaidah:
المصالح المرسلة لا يحتج بها في مفسدة متفق عليها
"Maslahat yang bersifat dugaan tidak dapat dijadikan alasan untuk mengabaikan kerusakan yang telah disepakati."
Dengan demikian, meskipun ada manfaat ekonomi yang diperdebatkan (maslahat khilafiyah), kerusakan lingkungan dan sosial yang ditimbulkan tambang bersifat ittifaqiyyah (disepakati). Maka, justifikasi fikih untuk mendukung pengelolaan tambang yang merusak jelas bertentangan dengan maqashid syariah, khususnya hifzh al-bi’ah (pemeliharaan lingkungan) dan hifzh an-nafs (perlindungan jiwa).
Dengan demikian, meskipun ada manfaat ekonomi yang diperdebatkan (maslahat khilafiyah), kerusakan lingkungan dan sosial yang ditimbulkan tambang bersifat ittifaqiyyah (disepakati). Maka, justifikasi fikih untuk mendukung pengelolaan tambang yang merusak jelas bertentangan dengan maqashid syariah, khususnya hifzh al-bi’ah (pemeliharaan lingkungan) dan hifzh an-nafs (perlindungan jiwa).
Risywah dalam Fikih: Antara Haram dan Pengecualian
Istilah “sogokan” yang dipakai Gus Ulil seharusnya ditinjau dari konsep risywah dalam fikih. Mayoritas ulama, termasuk Imam An-Nawawi dalam Al-Majmu’ dan Imam Ramli dalam Nihayat al-Muhtaj, menegaskan bahwa risywah hukumnya haram karena merusak keadilan.
Namun, ada pengecualian terbatas: ketika seseorang terpaksa memberi sesuatu agar bisa mendapatkan haknya atau terhindar dari kezaliman. Dalam kondisi demikian, pemberi tidak menanggung dosa, tetapi penerima tetap berdosa.
Dengan kata lain, risywah tidak pernah dianggap sebagai sesuatu yang “baik.” Kalaupun ada kelonggaran, hal itu murni dalam situasi darurat, bukan untuk melegitimasi kebijakan politik atau pengelolaan sumber daya yang berpotensi menimbulkan mafsadat besar.
Menimbang Ulang Konsep “Sogokan Hasanah”
Berdasarkan kerangka maqashid syariah dan pandangan fikih para ulama, istilah “Sogokan Hasanah” tampak problematis, baik secara terminologis maupun substantif.
- Secara terminologis, sogokan atau risywah tetap berada dalam wilayah keharaman, meskipun dalam kondisi darurat ada toleransi khusus.
- Secara substantif, penggunaan istilah ini untuk membela pemberian tambang kepada ormas Islam justru menyalahi prinsip maqashid syariah, karena mafsadat tambang lebih nyata dan luas daripada maslahatnya.
- Secara moral-politik, legitimasi terhadap “sogokan” merusak kepercayaan publik dan berpotensi menurunkan standar etika ormas Islam dalam relasinya dengan negara.
Penutup
Fleksibilitas fikih memang memberikan ruang adaptasi dalam menghadapi realitas sosial. Namun, fleksibilitas itu harus senantiasa berada dalam koridor maqashid syariah: menegakkan keadilan, menjaga lingkungan, dan melindungi kesejahteraan manusia.
Istilah “Sogokan Hasanah” yang dicetuskan Ulil, meskipun lahir dalam konteks kelakar, tetap menimbulkan masalah serius bila dijadikan argumen normatif. Sebab, ia berpotensi menjustifikasi praktik risywah yang secara prinsipil dilarang dalam Islam, sekaligus mengabaikan kerusakan nyata yang ditimbulkan oleh praktik tambang.
Dengan demikian, penggunaan istilah tersebut kurang tepat, baik dari sudut pandang fikih maupun moral. Apa pun bentuknya, risywah tetaplah merusak tatanan sosial dan melemahkan kepercayaan publik. Wallahu a’lam bisshawab.
