Fikroh.com - Indonesia sering membanggakan diri sebagai bangsa yang menjunjung tinggi pendidikan. Pemerintah menggelontorkan anggaran triliunan rupiah setiap tahun, dengan janji “mencerdaskan kehidupan bangsa” sebagaimana amanat konstitusi. Guru diposisikan sebagai ujung tombak. Anak-anak bangsa dipercayakan pada tangan mereka untuk dibentuk menjadi manusia cerdas, berakhlak, dan siap bersaing di era global.
Namun, di balik semua retorika itu, ada sebuah ironi yang begitu mencolok: guru diwajibkan menempuh pendidikan minimal S1 atau D4 untuk dapat diakui sebagai tenaga pendidik resmi, sedangkan untuk menjadi anggota DPR, lembaga legislatif tertinggi yang membuat aturan bagi 270 juta rakyat, syarat pendidikan formalnya hanyalah lulusan SMA atau sederajat.
Di sinilah letak paradoks besar negeri ini. Profesi yang “mencetak” generasi masa depan dituntut berstandar akademik tinggi, tetapi profesi yang menentukan arah kebijakan bangsa justru diberi standar minimal yang rendah.
Peraturan tentang guru jelas diatur dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Di sana disebutkan, guru profesional adalah mereka yang memiliki kualifikasi akademik minimal S1/D4. Syarat ini wajib, mutlak, dan tidak bisa ditawar. Bahkan guru honorer yang telah puluhan tahun mengajar tetap terancam tersingkir bila tidak memiliki ijazah sarjana.
Sementara itu, dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, syarat untuk menjadi calon anggota DPR jauh lebih longgar. Pasal 240 ayat (1) huruf d menyebutkan, calon legislatif hanya perlu berpendidikan paling rendah tamat SMA/MA/sederajat. Tidak ada tuntutan untuk sarjana, tidak ada keharusan memiliki latar belakang akademik tertentu, bahkan tidak ada tes khusus untuk memastikan kapasitas intelektual mereka.
Akibatnya, seorang guru yang setiap hari mengajar matematika atau bahasa Indonesia di pelosok negeri harus berjuang kuliah S1 dengan biaya sendiri agar statusnya diakui. Sementara seorang calon anggota legislatif bisa masuk DPR hanya dengan modal ijazah SMA, dukungan partai, dan dana kampanye.
Ironi semakin terasa ketika seorang mantan murid bisa duduk di DPR hanya bermodal SMA, lalu ikut membuat aturan yang mengikat guru yang dulu mendidiknya—guru yang dipaksa kuliah S1.
Jika logika pemerintah adalah “kompetensi harus dijamin lewat pendidikan formal”, maka standar itu seharusnya berlaku konsisten. Guru mengajar 30 anak di kelas harus S1, tetapi anggota DPR yang membuat undang-undang untuk 270 juta orang tidak diwajibkan kuliah?
Kesalahan guru berdampak pada satu kelas. Tetapi kesalahan DPR dalam membuat undang-undang bisa berdampak pada seluruh bangsa. Lalu, mengapa syarat anggota DPR justru lebih longgar?
Jawabannya sederhana: politik di Indonesia lebih mengandalkan popularitas dan elektabilitas, bukan kualitas. Yang penting dikenal publik, punya modal finansial, serta mendapat restu partai, sudah cukup untuk duduk di kursi parlemen.
Bandingkan dengan negara-negara lain.
Indonesia sebaliknya. Undang-undang memberi celah bagi siapa saja, dan partai cenderung lebih memilih calon yang populer atau bermodal besar ketimbang berpendidikan tinggi.
Tidak heran bila kualitas produk legislatif sering menuai kritik. Kita menyaksikan lahirnya undang-undang yang tumpang tindih, pasal-pasal yang multitafsir, hingga kebijakan kontroversial yang menimbulkan polemik.
Publik kerap bertanya: apakah rendahnya standar pendidikan DPR berpengaruh pada kualitas kerja mereka? Jawaban jujurnya: iya. Meskipun ada anggota DPR yang pintar dan mumpuni, sistem rekrutmen yang longgar membuka pintu bagi mereka yang tidak memiliki kapasitas memadai.
Ironisnya, DPR kerap ikut campur dalam kebijakan pendidikan. Mereka bisa memutuskan kurikulum, menentukan alokasi anggaran, bahkan menetapkan syarat guru. Dengan kata lain, orang yang tidak kuliah bisa memutuskan bahwa guru wajib kuliah.
Guru sering menjadi korban regulasi yang tidak berpihak. Kurikulum berubah-ubah sesuai selera politik menteri atau partai berkuasa. Sertifikasi menjadi beban administrasi yang rumit. Syarat akademik dipatok tinggi, tetapi kesejahteraan tetap rendah.
Sementara itu, anggota DPR menikmati gaji puluhan juta rupiah, tunjangan melimpah, fasilitas mewah, dan kekebalan politik, tanpa harus melewati standar akademik yang sama.
Ini bukan hanya ironi, tapi penghinaan terhadap logika keadilan.
Mengkritik saja tidak cukup. Ada sejumlah langkah konkret yang bisa ditempuh agar ketimpangan ini tidak terus berlangsung:
1. Naikkan Syarat Pendidikan DPR
Undang-undang Pemilu perlu direvisi. Minimal syarat anggota DPR harus lulusan S1. Alasannya sederhana: mereka membuat aturan yang kompleks, membahas anggaran triliunan rupiah, dan menentukan arah bangsa. Tidak masuk akal jika standar akademik mereka lebih rendah dari profesi yang mereka atur.
2. Perketat Rekrutmen Partai Politik
Partai harus bertindak sebagai lembaga kaderisasi, bukan sekadar mesin pencetak caleg populer. Seleksi internal perlu diperketat dengan uji kelayakan dan kepatutan, verifikasi rekam jejak pendidikan, serta tes integritas. Dengan begitu, partai benar-benar menyaring calon terbaik, bukan sekadar calon terpopuler.
4. Transparansi Kompetensi Calon
Setiap calon legislatif wajib membuka riwayat hidup akademik, pengalaman kerja, dan publikasi karya. Dengan transparansi ini, rakyat bisa menilai kompetensi calon secara objektif, bukan sekadar dari baliho atau slogan kampanye.
5. Keadilan untuk Guru
Di sisi lain, regulasi untuk guru juga perlu dievaluasi. Syarat S1 memang penting, tetapi jangan sampai menyingkirkan mereka yang berpengalaman puluhan tahun. Pemerintah bisa mengakui kompetensi praktis melalui rekognisi pengalaman kerja (RPL), sehingga guru senior tetap dihargai tanpa dipaksa kuliah formal.
Ironi bahwa guru wajib S1 sementara anggota DPR cukup SMA adalah cermin buram ketidakadilan sistemik di Indonesia. Profesi yang mencerdaskan bangsa diperas dengan standar akademik tinggi, sementara profesi yang membuat undang-undang diberi kelonggaran luar biasa.
Jika kita serius ingin bangsa ini maju, maka standar pendidikan anggota DPR harus dinaikkan, partai harus memperketat seleksi, dan rakyat harus diberi akses informasi yang jujur tentang kompetensi calon.
Di sisi lain, kebijakan terhadap guru harus lebih adil: bukan sekadar menuntut, tapi juga menyejahterakan.
Bangsa ini tidak bisa terus-menerus menyerahkan masa depan pada orang yang hanya bermodal popularitas. Kita membutuhkan wakil rakyat yang bukan hanya bisa berteriak di panggung kampanye, tetapi juga bisa berpikir, menganalisis, dan bertanggung jawab pada sejarah.
Guru mencetak manusia. DPR mencetak kebijakan. Jika guru wajib sarjana, wajar jika DPR pun wajib sarjana. Kalau tidak, ironi ini akan terus menjadi luka logika yang mencoreng wajah demokrasi Indonesia.
Namun, di balik semua retorika itu, ada sebuah ironi yang begitu mencolok: guru diwajibkan menempuh pendidikan minimal S1 atau D4 untuk dapat diakui sebagai tenaga pendidik resmi, sedangkan untuk menjadi anggota DPR, lembaga legislatif tertinggi yang membuat aturan bagi 270 juta rakyat, syarat pendidikan formalnya hanyalah lulusan SMA atau sederajat.
Di sinilah letak paradoks besar negeri ini. Profesi yang “mencetak” generasi masa depan dituntut berstandar akademik tinggi, tetapi profesi yang menentukan arah kebijakan bangsa justru diberi standar minimal yang rendah.
Standar Ganda dalam Regulasi
Peraturan tentang guru jelas diatur dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Di sana disebutkan, guru profesional adalah mereka yang memiliki kualifikasi akademik minimal S1/D4. Syarat ini wajib, mutlak, dan tidak bisa ditawar. Bahkan guru honorer yang telah puluhan tahun mengajar tetap terancam tersingkir bila tidak memiliki ijazah sarjana.
Sementara itu, dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, syarat untuk menjadi calon anggota DPR jauh lebih longgar. Pasal 240 ayat (1) huruf d menyebutkan, calon legislatif hanya perlu berpendidikan paling rendah tamat SMA/MA/sederajat. Tidak ada tuntutan untuk sarjana, tidak ada keharusan memiliki latar belakang akademik tertentu, bahkan tidak ada tes khusus untuk memastikan kapasitas intelektual mereka.
Akibatnya, seorang guru yang setiap hari mengajar matematika atau bahasa Indonesia di pelosok negeri harus berjuang kuliah S1 dengan biaya sendiri agar statusnya diakui. Sementara seorang calon anggota legislatif bisa masuk DPR hanya dengan modal ijazah SMA, dukungan partai, dan dana kampanye.
Ironi semakin terasa ketika seorang mantan murid bisa duduk di DPR hanya bermodal SMA, lalu ikut membuat aturan yang mengikat guru yang dulu mendidiknya—guru yang dipaksa kuliah S1.
Logika Terbalik
Jika logika pemerintah adalah “kompetensi harus dijamin lewat pendidikan formal”, maka standar itu seharusnya berlaku konsisten. Guru mengajar 30 anak di kelas harus S1, tetapi anggota DPR yang membuat undang-undang untuk 270 juta orang tidak diwajibkan kuliah?
Kesalahan guru berdampak pada satu kelas. Tetapi kesalahan DPR dalam membuat undang-undang bisa berdampak pada seluruh bangsa. Lalu, mengapa syarat anggota DPR justru lebih longgar?
Jawabannya sederhana: politik di Indonesia lebih mengandalkan popularitas dan elektabilitas, bukan kualitas. Yang penting dikenal publik, punya modal finansial, serta mendapat restu partai, sudah cukup untuk duduk di kursi parlemen.
Kontras dengan Negara Lain
Bandingkan dengan negara-negara lain.
- Singapura: mayoritas anggota parlemen adalah lulusan universitas bergengsi, banyak dari mereka bergelar doktor. Partai politik di sana sangat selektif dalam memilih kandidat.
- Jerman: budaya politik menempatkan pendidikan sebagai syarat sosial. Hampir semua anggota Bundestag memiliki latar belakang akademik kuat, meski undang-undang tidak eksplisit mengatur minimal S1.
- Amerika Serikat: tidak ada syarat pendidikan formal untuk Kongres, tetapi sistem partai dan tekanan publik memastikan hanya mereka dengan kapasitas tinggi yang bisa bertahan.
Indonesia sebaliknya. Undang-undang memberi celah bagi siapa saja, dan partai cenderung lebih memilih calon yang populer atau bermodal besar ketimbang berpendidikan tinggi.
Dampak Nyata
Tidak heran bila kualitas produk legislatif sering menuai kritik. Kita menyaksikan lahirnya undang-undang yang tumpang tindih, pasal-pasal yang multitafsir, hingga kebijakan kontroversial yang menimbulkan polemik.
Publik kerap bertanya: apakah rendahnya standar pendidikan DPR berpengaruh pada kualitas kerja mereka? Jawaban jujurnya: iya. Meskipun ada anggota DPR yang pintar dan mumpuni, sistem rekrutmen yang longgar membuka pintu bagi mereka yang tidak memiliki kapasitas memadai.
Ironisnya, DPR kerap ikut campur dalam kebijakan pendidikan. Mereka bisa memutuskan kurikulum, menentukan alokasi anggaran, bahkan menetapkan syarat guru. Dengan kata lain, orang yang tidak kuliah bisa memutuskan bahwa guru wajib kuliah.
Pendidikan Jadi Korban Politik
Guru sering menjadi korban regulasi yang tidak berpihak. Kurikulum berubah-ubah sesuai selera politik menteri atau partai berkuasa. Sertifikasi menjadi beban administrasi yang rumit. Syarat akademik dipatok tinggi, tetapi kesejahteraan tetap rendah.
Sementara itu, anggota DPR menikmati gaji puluhan juta rupiah, tunjangan melimpah, fasilitas mewah, dan kekebalan politik, tanpa harus melewati standar akademik yang sama.
Ini bukan hanya ironi, tapi penghinaan terhadap logika keadilan.
Jalan Keluar: Dari Kritik ke Solusi
Mengkritik saja tidak cukup. Ada sejumlah langkah konkret yang bisa ditempuh agar ketimpangan ini tidak terus berlangsung:
1. Naikkan Syarat Pendidikan DPR
Undang-undang Pemilu perlu direvisi. Minimal syarat anggota DPR harus lulusan S1. Alasannya sederhana: mereka membuat aturan yang kompleks, membahas anggaran triliunan rupiah, dan menentukan arah bangsa. Tidak masuk akal jika standar akademik mereka lebih rendah dari profesi yang mereka atur.
2. Perketat Rekrutmen Partai Politik
Partai harus bertindak sebagai lembaga kaderisasi, bukan sekadar mesin pencetak caleg populer. Seleksi internal perlu diperketat dengan uji kelayakan dan kepatutan, verifikasi rekam jejak pendidikan, serta tes integritas. Dengan begitu, partai benar-benar menyaring calon terbaik, bukan sekadar calon terpopuler.
3. Pendidikan Politik Wajib
Calon anggota DPR perlu mengikuti pendidikan politik formal yang berisi etika legislatif, dasar hukum, manajemen pemerintahan, serta wawasan kebangsaan. Pendidikan ini menjadi prasyarat sebelum mereka duduk di kursi parlemen.
Calon anggota DPR perlu mengikuti pendidikan politik formal yang berisi etika legislatif, dasar hukum, manajemen pemerintahan, serta wawasan kebangsaan. Pendidikan ini menjadi prasyarat sebelum mereka duduk di kursi parlemen.
4. Transparansi Kompetensi Calon
Setiap calon legislatif wajib membuka riwayat hidup akademik, pengalaman kerja, dan publikasi karya. Dengan transparansi ini, rakyat bisa menilai kompetensi calon secara objektif, bukan sekadar dari baliho atau slogan kampanye.
5. Keadilan untuk Guru
Di sisi lain, regulasi untuk guru juga perlu dievaluasi. Syarat S1 memang penting, tetapi jangan sampai menyingkirkan mereka yang berpengalaman puluhan tahun. Pemerintah bisa mengakui kompetensi praktis melalui rekognisi pengalaman kerja (RPL), sehingga guru senior tetap dihargai tanpa dipaksa kuliah formal.
Penutup
Ironi bahwa guru wajib S1 sementara anggota DPR cukup SMA adalah cermin buram ketidakadilan sistemik di Indonesia. Profesi yang mencerdaskan bangsa diperas dengan standar akademik tinggi, sementara profesi yang membuat undang-undang diberi kelonggaran luar biasa.
Jika kita serius ingin bangsa ini maju, maka standar pendidikan anggota DPR harus dinaikkan, partai harus memperketat seleksi, dan rakyat harus diberi akses informasi yang jujur tentang kompetensi calon.
Di sisi lain, kebijakan terhadap guru harus lebih adil: bukan sekadar menuntut, tapi juga menyejahterakan.
Bangsa ini tidak bisa terus-menerus menyerahkan masa depan pada orang yang hanya bermodal popularitas. Kita membutuhkan wakil rakyat yang bukan hanya bisa berteriak di panggung kampanye, tetapi juga bisa berpikir, menganalisis, dan bertanggung jawab pada sejarah.
Guru mencetak manusia. DPR mencetak kebijakan. Jika guru wajib sarjana, wajar jika DPR pun wajib sarjana. Kalau tidak, ironi ini akan terus menjadi luka logika yang mencoreng wajah demokrasi Indonesia.