Fikroh.com - Sejak Indonesia merdeka hingga hari ini, perjalanan bangsa ini seakan tidak menunjukkan perbaikan yang berarti. Jika ditelusuri lebih dalam, salah satu penyebab kemunduran tersebut ialah kuatnya budaya politik balas budi atau patronase. Sistem ini lahir dari pola hubungan antara pemimpin dengan para pendukungnya yang kemudian diberi imbalan berupa jabatan.
Apa itu Politik Balas Budi?
Politik balas budi adalah praktik dalam dunia politik ketika seorang pemimpin atau pejabat memberikan jabatan, fasilitas, atau keuntungan tertentu kepada pihak yang sebelumnya telah membantu atau mendukungnya, bukan berdasarkan kompetensi atau profesionalitas, melainkan semata-mata karena loyalitas atau jasa di masa lalu.
Dalam praktiknya, presiden, gubernur, bupati, hingga pejabat daerah bertindak sebagai patron, sementara mereka yang diberi posisi dalam kabinet atau jabatan tertentu menjadi klien. Masalahnya, pengangkatan pejabat tersebut sering kali bukan berdasar profesionalitas, kompetensi, ataupun integritas, melainkan pada loyalitas dan kepentingan transaksional. Maka tak heran jika kabinet pemerintahan tampak gemuk karena banyak pihak menuntut balas jasa.
Dampak seriusnya, pejabat yang menempati posisi strategis justru tidak memiliki kecakapan dalam bidangnya. Keputusan yang diambil pun sering terkesan asal-asalan, bahkan lebih parah, mereka mencari celah untuk meraup keuntungan pribadi. Akibatnya, praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme semakin mengakar di negeri ini.
Islam secara tegas melarang pola pengangkatan jabatan yang tidak dilandasi oleh kompetensi. Al-Qulyubi menyatakan:
Artinya: “Haram bagi imam (pemimpin) mengangkat seseorang yang bukan ahlinya (tidak kompeten), padahal ada orang yang ahli. Haram pula bagi orang yang tidak ahli menerima jabatan tersebut, dan pengangkatannya tidak sah.” (Hasyiyah Qalyubi, Beirut: Darul Fikri, 1995, Juz 4, hlm. 298).
Pernyataan ini menegaskan bahwa baik pemimpin maupun orang yang menerima jabatan tanpa kompetensi sama-sama menanggung dosa. Imam Nawawi juga menambahkan penjelasan mengenai tanggung jawab seorang pemimpin dalam memilih pejabat:
Artinya: “Jika imam mengetahui kelayakan seseorang, maka ia boleh mengangkatnya. Jika belum tahu, ia wajib mencari tahu keadaannya. Namun jika ia tetap mengangkat orang yang tidak memenuhi syarat, padahal ia tahu keadaannya, maka pemimpin itu berdosa, orang yang diangkat juga berdosa, dan keputusan hukumnya tidak sah sekalipun sesuai dengan kebenaran.” (Raudlatut Thalibin, Beirut: Al-Maktab Al-Islami, 1991, Juz 11, hlm. 97).
Lebih jauh, Islam juga memberikan standar keterampilan yang seharusnya dimiliki seorang pejabat: sabar, teliti, lemah lembut, cerdas, waspada, pandai menulis, sehat panca inderanya, fasih bahasa negeri tempat ia memimpin, qana’ah, jujur, berakal sempurna, berwibawa, serta tenang. (Khatib Asy-Syarbini, Mughni Al-Muhtaj, Beirut: Darul Kutub Ilmiah, 2000, Juz 6, hlm. 265).
Meski sulit menemukan figur dengan keterampilan lengkap, setidaknya pengangkatan pejabat mesti berlandaskan kompetensi yang mumpuni, bukan semata karena balas jasa politik. Pemimpin yang adil dan cerdas akan melahirkan masyarakat yang makmur. Hal ini sebagaimana diilustrasikan oleh Imam Al-Ghazali:
Artinya: “Tidakkah engkau melihat, bila suatu negeri digambarkan makmur, penduduknya hidup dalam keamanan, kenyamanan, ketentraman, dan kebahagiaan, maka hal itu menunjukkan keadilan raja, kecerdasannya, ketepatannya dalam keputusan, serta baiknya niat terhadap rakyatnya.” (At-Tibr Al-Masbūk fī Naṣīḥatil Mulūk, Beirut: Darul Kutub Ilmiah, 1988, hlm. 52).
Dengan demikian, jelas bahwa kesejahteraan masyarakat adalah cermin dari kualitas pemerintahannya. Indeks korupsi rendah, supremasi hukum tegak, demokrasi berjalan sehat, dan meningkatnya kualitas pendidikan, ekonomi, serta kesehatan, semuanya hanya bisa terwujud melalui pemimpin yang amanah dan pejabat yang kompeten.
Oleh karena itu, Islam mengharamkan sistem politik balas budi. Sebab pola tersebut hanya akan menciptakan lingkaran dosa, melemahkan pemerintahan, dan pada akhirnya merugikan rakyat. Wallāhu a‘lam.
Dalam istilah akademik, politik balas budi juga disebut sebagai patronase politik. Pola ini melibatkan hubungan antara patron (pemberi perlindungan/dukungan, biasanya pemimpin) dan klien (penerima keuntungan, biasanya pendukung atau relawan politik).
Ciri-ciri politik balas budi:
- Pengangkatan jabatan karena loyalitas – bukan karena keahlian atau kompetensi, melainkan karena hubungan kedekatan atau jasa.
- Kabinet atau struktur pemerintahan gemuk – karena banyak orang yang harus “dibalas jasanya”.
- Berkurangnya profesionalitas – pejabat yang terpilih sering kali tidak punya kemampuan di bidang yang ditugaskan.
- Rawan KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme) – sebab jabatan dilihat sebagai imbalan yang bisa digunakan untuk mencari keuntungan pribadi.
- Menghambat reformasi dan pembangunan – karena kepentingan rakyat tersisihkan oleh kepentingan kelompok tertentu.
Dampak negatif politik balas budi:
- Merusak tata kelola pemerintahan, sebab jabatan strategis tidak diisi oleh orang yang ahli.
- Menghambat pembangunan, karena keputusan lebih banyak diwarnai kepentingan kelompok, bukan rakyat.
- Menyuburkan korupsi, karena pejabat merasa punya hak mengambil keuntungan pribadi setelah berjasa memenangkan pemimpin.
- Mengikis kepercayaan publik terhadap negara dan pemimpin.
Dampak seriusnya, pejabat yang menempati posisi strategis justru tidak memiliki kecakapan dalam bidangnya. Keputusan yang diambil pun sering terkesan asal-asalan, bahkan lebih parah, mereka mencari celah untuk meraup keuntungan pribadi. Akibatnya, praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme semakin mengakar di negeri ini.
Islam secara tegas melarang pola pengangkatan jabatan yang tidak dilandasi oleh kompetensi. Al-Qulyubi menyatakan:
يَحْرُمُ عَلَى الْإِمَامِ تَوْلِيَةُ غَيْرِ أَهْلٍ مَعَ وُجُودِ الْأَهْلِ وَيَحْرُمُ الْقَبُولُ أَيْضًا وَلَا تَنْفُذُ تَوْلِيَتُهُ
Artinya: “Haram bagi imam (pemimpin) mengangkat seseorang yang bukan ahlinya (tidak kompeten), padahal ada orang yang ahli. Haram pula bagi orang yang tidak ahli menerima jabatan tersebut, dan pengangkatannya tidak sah.” (Hasyiyah Qalyubi, Beirut: Darul Fikri, 1995, Juz 4, hlm. 298).
Pernyataan ini menegaskan bahwa baik pemimpin maupun orang yang menerima jabatan tanpa kompetensi sama-sama menanggung dosa. Imam Nawawi juga menambahkan penjelasan mengenai tanggung jawab seorang pemimpin dalam memilih pejabat:
إِنْ عَرَفَ الْإِمَامُ أَهْلِيَّتَهُ وَلَّاهُ، وَإِلَّا فَيَبْحَثُ عَنْ حَالِهِ، فَلَوْ وَلَّى مَنْ لَمْ تَجْتَمِعْ فِيهِ الشُّرُوطُ مَعَ الْعِلْمِ بِحَالِهِ، أَثِمَ الْمُوَلِّي وَالْمُتَوَلِّي وَلَمْ يُنَفَّذْ قَضَاؤُهُ وَإِنْ أَصَابَ، هَذَا هُوَ الْأَصْلُ فِي الْبَابِ
Artinya: “Jika imam mengetahui kelayakan seseorang, maka ia boleh mengangkatnya. Jika belum tahu, ia wajib mencari tahu keadaannya. Namun jika ia tetap mengangkat orang yang tidak memenuhi syarat, padahal ia tahu keadaannya, maka pemimpin itu berdosa, orang yang diangkat juga berdosa, dan keputusan hukumnya tidak sah sekalipun sesuai dengan kebenaran.” (Raudlatut Thalibin, Beirut: Al-Maktab Al-Islami, 1991, Juz 11, hlm. 97).
Lebih jauh, Islam juga memberikan standar keterampilan yang seharusnya dimiliki seorang pejabat: sabar, teliti, lemah lembut, cerdas, waspada, pandai menulis, sehat panca inderanya, fasih bahasa negeri tempat ia memimpin, qana’ah, jujur, berakal sempurna, berwibawa, serta tenang. (Khatib Asy-Syarbini, Mughni Al-Muhtaj, Beirut: Darul Kutub Ilmiah, 2000, Juz 6, hlm. 265).
Meski sulit menemukan figur dengan keterampilan lengkap, setidaknya pengangkatan pejabat mesti berlandaskan kompetensi yang mumpuni, bukan semata karena balas jasa politik. Pemimpin yang adil dan cerdas akan melahirkan masyarakat yang makmur. Hal ini sebagaimana diilustrasikan oleh Imam Al-Ghazali:
أَمَا تَرَى أَنَّهُ إِذَا وُصِفَ بَعْضُ الْبِلَادِ بِالْعِمَارَةِ وَأَنَّ أَهْلَهُ فِي أَمَانٍ وَرَاحَةٍ وَدَعَةٍ وَغِبْطَةٍ فَإِنَّ ذَلِكَ دَلِيلٌ عَلَى عَدْلِ الْمَلِكِ وَعَقْلِهِ وَسَدَادِهِ وَحُسْنِ نِيَّتِهِ فِي رَعِيَّتِهِ، وَمَعَ أَهْلِ وِلَايَتِهِ
Artinya: “Tidakkah engkau melihat, bila suatu negeri digambarkan makmur, penduduknya hidup dalam keamanan, kenyamanan, ketentraman, dan kebahagiaan, maka hal itu menunjukkan keadilan raja, kecerdasannya, ketepatannya dalam keputusan, serta baiknya niat terhadap rakyatnya.” (At-Tibr Al-Masbūk fī Naṣīḥatil Mulūk, Beirut: Darul Kutub Ilmiah, 1988, hlm. 52).
Dengan demikian, jelas bahwa kesejahteraan masyarakat adalah cermin dari kualitas pemerintahannya. Indeks korupsi rendah, supremasi hukum tegak, demokrasi berjalan sehat, dan meningkatnya kualitas pendidikan, ekonomi, serta kesehatan, semuanya hanya bisa terwujud melalui pemimpin yang amanah dan pejabat yang kompeten.
Oleh karena itu, Islam mengharamkan sistem politik balas budi. Sebab pola tersebut hanya akan menciptakan lingkaran dosa, melemahkan pemerintahan, dan pada akhirnya merugikan rakyat. Wallāhu a‘lam.