Fkroh.com - Solo – Polemik seputar riwayat pendidikan Wali Kota Surakarta sekaligus Wakil Presiden terpilih, Gibran Rakabuming Raka, kembali menjadi perbincangan hangat. Kali ini, isu mencuat di media sosial yang menyebut bahwa putra sulung Presiden Joko Widodo tersebut pernah menempuh pendidikan di SMA Santo Yosef Solo. Namun, pihak sekolah dengan tegas membantah klaim tersebut dan menyatakan tidak ada catatan yang menunjukkan Gibran pernah menjadi siswa di sana.
Kepala SMA Santo Yosef Solo, FX Suharyanto, menegaskan bahwa pihaknya telah melakukan pengecekan menyeluruh terhadap arsip sekolah, baik yang berbentuk manual maupun digital. Dari hasil penelusuran itu, tidak ditemukan nama Gibran Rakabuming Raka dalam daftar siswa mereka.
“Kami sudah membuka data lama maupun baru, dan tidak ada nama Gibran. Jadi kami pastikan, beliau bukan alumnus SMA Santo Yosef Solo,” tegas Suharyanto kepada wartawan, Rabu (18/9).
Ia menambahkan, SMA Santo Yosef Solo sejak lama memiliki sistem pencatatan yang rapi. Setiap lulusan maupun siswa yang pernah terdaftar tercatat dengan baik, sehingga kecil kemungkinan ada data yang hilang. Karena itu, kabar yang menyebut Gibran sebagai mantan siswa di sekolah tersebut dianggap tidak berdasar.
Riwayat pendidikan Gibran memang beberapa kali menjadi bahan perdebatan publik. Sebelumnya, di berbagai kesempatan, Gibran diketahui mengenyam pendidikan dasar di SD Negeri 16 Mangkubumen Lor, Solo, lalu melanjutkan ke SMP Negeri 1 Surakarta. Setelah itu, ia disebut melanjutkan sekolah menengah di Singapura sebelum meneruskan kuliah di luar negeri.
Namun, narasi berbeda kerap muncul di media sosial. Ada yang menyebut dirinya pernah bersekolah di beberapa SMA di Solo, termasuk SMA Santo Yosef. Kabar-kabar semacam ini seringkali berkembang tanpa verifikasi yang jelas, lalu menjadi konsumsi publik yang memunculkan tanda tanya.
Menurut pengamat pendidikan lokal, isu semacam ini muncul karena keterbatasan informasi resmi yang dipublikasikan secara terbuka. “Masyarakat haus kejelasan, terutama jika menyangkut figur publik sebesar wakil presiden terpilih. Begitu ada celah informasi, rumor mudah sekali tumbuh liar,” kata Dwi Ratnawati, dosen komunikasi di salah satu universitas di Solo.
Klarifikasi dari Kepala SMA Santo Yosef Solo diharapkan mampu meredam spekulasi. Suharyanto mengimbau agar masyarakat berhati-hati dalam menerima dan menyebarkan informasi yang belum tentu benar.
“Kami tidak ingin sekolah kami diseret-seret dalam isu politik atau perdebatan publik yang tidak jelas sumbernya. Informasi soal pendidikan seseorang sebaiknya langsung merujuk pada data resmi, bukan kabar berantai,” ucapnya.
Sejumlah alumni SMA Santo Yosef juga menyayangkan munculnya isu tersebut. Menurut mereka, nama baik sekolah semestinya tidak dijadikan bahan spekulasi politik. “Saya lulusan angkatan 2005. Setahu saya memang tidak pernah ada Gibran di daftar siswa. Jadi rumor ini jelas menyesatkan,” ujar Aditya, seorang alumni.
Di sisi lain, warganet tetap terbelah. Ada yang menganggap isu ini bagian dari upaya mendiskreditkan Gibran, sementara sebagian lain menilai hal itu menunjukkan kurangnya transparansi soal riwayat pendidikannya.
Sebagai wakil presiden terpilih, Gibran kini berada di bawah sorotan publik yang lebih tajam. Segala hal terkait dirinya—mulai dari gaya komunikasi, sikap politik, hingga riwayat pendidikan—mudah sekali menjadi bahan perbincangan.
Pengamat politik Universitas Sebelas Maret, Arif Kurniawan, menilai isu pendidikan ini meski terlihat sederhana, sebenarnya bisa berdampak terhadap persepsi publik. “Transparansi riwayat pendidikan adalah salah satu indikator kepercayaan publik. Kalau ada ruang abu-abu, lawan politik bisa memanfaatkannya sebagai bahan kritik,” jelasnya.
Ia menambahkan, klarifikasi dari pihak sekolah memang penting untuk meluruskan, namun pemerintah maupun tim komunikasi Gibran juga perlu bersikap proaktif. “Kalau riwayat pendidikannya jelas dan konsisten dipublikasikan, rumor semacam ini akan mati dengan sendirinya,” lanjut Arif.
Kasus ini juga menunjukkan betapa mudahnya isu tidak terverifikasi berkembang di era digital. Dengan akses media sosial yang luas, klaim tanpa dasar bisa cepat menyebar dan membentuk opini. Karena itu, literasi informasi publik menjadi kunci.
SMA Santo Yosef Solo menegaskan keterbukaannya terhadap siapa pun yang ingin memverifikasi data. Hal ini diharapkan dapat menjadi contoh bagaimana lembaga pendidikan bersikap dalam menghadapi hoaks atau kabar tak berdasar.
Penutup
Dengan bantahan tegas dari Kepala SMA Santo Yosef Solo, kabar bahwa Gibran Rakabuming Raka pernah bersekolah di sana terbukti tidak benar. Meski demikian, polemik ini memperlihatkan bagaimana sosok Gibran, sebagai wakil presiden terpilih, akan terus menjadi sorotan publik, termasuk pada aspek-aspek pribadi seperti latar belakang pendidikannya.
Isu ini sekaligus mengingatkan masyarakat untuk lebih kritis dalam menerima informasi, serta pentingnya transparansi dari para pejabat publik demi menjaga kepercayaan rakyat.
Kepala SMA Santo Yosef Solo, FX Suharyanto, menegaskan bahwa pihaknya telah melakukan pengecekan menyeluruh terhadap arsip sekolah, baik yang berbentuk manual maupun digital. Dari hasil penelusuran itu, tidak ditemukan nama Gibran Rakabuming Raka dalam daftar siswa mereka.
“Kami sudah membuka data lama maupun baru, dan tidak ada nama Gibran. Jadi kami pastikan, beliau bukan alumnus SMA Santo Yosef Solo,” tegas Suharyanto kepada wartawan, Rabu (18/9).
Ia menambahkan, SMA Santo Yosef Solo sejak lama memiliki sistem pencatatan yang rapi. Setiap lulusan maupun siswa yang pernah terdaftar tercatat dengan baik, sehingga kecil kemungkinan ada data yang hilang. Karena itu, kabar yang menyebut Gibran sebagai mantan siswa di sekolah tersebut dianggap tidak berdasar.
Isu Pendidikan Gibran yang Kerap Dipertanyakan
Riwayat pendidikan Gibran memang beberapa kali menjadi bahan perdebatan publik. Sebelumnya, di berbagai kesempatan, Gibran diketahui mengenyam pendidikan dasar di SD Negeri 16 Mangkubumen Lor, Solo, lalu melanjutkan ke SMP Negeri 1 Surakarta. Setelah itu, ia disebut melanjutkan sekolah menengah di Singapura sebelum meneruskan kuliah di luar negeri.
Namun, narasi berbeda kerap muncul di media sosial. Ada yang menyebut dirinya pernah bersekolah di beberapa SMA di Solo, termasuk SMA Santo Yosef. Kabar-kabar semacam ini seringkali berkembang tanpa verifikasi yang jelas, lalu menjadi konsumsi publik yang memunculkan tanda tanya.
Menurut pengamat pendidikan lokal, isu semacam ini muncul karena keterbatasan informasi resmi yang dipublikasikan secara terbuka. “Masyarakat haus kejelasan, terutama jika menyangkut figur publik sebesar wakil presiden terpilih. Begitu ada celah informasi, rumor mudah sekali tumbuh liar,” kata Dwi Ratnawati, dosen komunikasi di salah satu universitas di Solo.
Respons Pihak Sekolah dan Masyarakat
Klarifikasi dari Kepala SMA Santo Yosef Solo diharapkan mampu meredam spekulasi. Suharyanto mengimbau agar masyarakat berhati-hati dalam menerima dan menyebarkan informasi yang belum tentu benar.
“Kami tidak ingin sekolah kami diseret-seret dalam isu politik atau perdebatan publik yang tidak jelas sumbernya. Informasi soal pendidikan seseorang sebaiknya langsung merujuk pada data resmi, bukan kabar berantai,” ucapnya.
Sejumlah alumni SMA Santo Yosef juga menyayangkan munculnya isu tersebut. Menurut mereka, nama baik sekolah semestinya tidak dijadikan bahan spekulasi politik. “Saya lulusan angkatan 2005. Setahu saya memang tidak pernah ada Gibran di daftar siswa. Jadi rumor ini jelas menyesatkan,” ujar Aditya, seorang alumni.
Di sisi lain, warganet tetap terbelah. Ada yang menganggap isu ini bagian dari upaya mendiskreditkan Gibran, sementara sebagian lain menilai hal itu menunjukkan kurangnya transparansi soal riwayat pendidikannya.
Dampak Politik dan Persepsi Publik
Sebagai wakil presiden terpilih, Gibran kini berada di bawah sorotan publik yang lebih tajam. Segala hal terkait dirinya—mulai dari gaya komunikasi, sikap politik, hingga riwayat pendidikan—mudah sekali menjadi bahan perbincangan.
Pengamat politik Universitas Sebelas Maret, Arif Kurniawan, menilai isu pendidikan ini meski terlihat sederhana, sebenarnya bisa berdampak terhadap persepsi publik. “Transparansi riwayat pendidikan adalah salah satu indikator kepercayaan publik. Kalau ada ruang abu-abu, lawan politik bisa memanfaatkannya sebagai bahan kritik,” jelasnya.
Ia menambahkan, klarifikasi dari pihak sekolah memang penting untuk meluruskan, namun pemerintah maupun tim komunikasi Gibran juga perlu bersikap proaktif. “Kalau riwayat pendidikannya jelas dan konsisten dipublikasikan, rumor semacam ini akan mati dengan sendirinya,” lanjut Arif.
Pentingnya Literasi Informasi
Kasus ini juga menunjukkan betapa mudahnya isu tidak terverifikasi berkembang di era digital. Dengan akses media sosial yang luas, klaim tanpa dasar bisa cepat menyebar dan membentuk opini. Karena itu, literasi informasi publik menjadi kunci.
SMA Santo Yosef Solo menegaskan keterbukaannya terhadap siapa pun yang ingin memverifikasi data. Hal ini diharapkan dapat menjadi contoh bagaimana lembaga pendidikan bersikap dalam menghadapi hoaks atau kabar tak berdasar.
Penutup
Dengan bantahan tegas dari Kepala SMA Santo Yosef Solo, kabar bahwa Gibran Rakabuming Raka pernah bersekolah di sana terbukti tidak benar. Meski demikian, polemik ini memperlihatkan bagaimana sosok Gibran, sebagai wakil presiden terpilih, akan terus menjadi sorotan publik, termasuk pada aspek-aspek pribadi seperti latar belakang pendidikannya.
Isu ini sekaligus mengingatkan masyarakat untuk lebih kritis dalam menerima informasi, serta pentingnya transparansi dari para pejabat publik demi menjaga kepercayaan rakyat.